Suatu malam, saya sedang duduk menikmati sebuah pertunjukan seni bersama seorang kawan. Para penampil naik silih berganti ke atas panggung untuk menunjukkan talentanya.
Hingga tiba giliran seorang pria berpakaian perempuan, melambai dan berhias diri, bernyanyi diatas panggung. Orang-orang tertawa dan bersorak mendengar nyanyian dan tingkah lucunya.
Di balik bangku penonton, kawan saya melontarkan pertanyaan kepada saya. “Menurutmu apakah orang itu akan lebih bahagia ketika dia menjadi dirinya sendiri, meskipun ia akan dicaci karena perilakunya, atau apakah dia akan lebih bahagia ketika dia menyesuaikan diri dengan keinginan masyarakat dan meredam intuisinya?” Ujarnya.
Sambil merenung saya menjawab, “Akan lebih baik baginya ketika ia menuruti norma sosial yang ada.” Saya menganggap bahwa norma sosial yang saat ini kita taati, telah berhasil melalui proses sejarah yang panjang, terbentur oleh begitu banyak perlawanan pikiran, namun terbukti bertahan. Itu artinya norma itu mengandung kebenaran dan kemaslahatan.
Setelah pertunjukan selesai, saya pulang dengan sesuatu yang mengusik ketenangan pikiran. Saya merasa tidak puas dengan jawaban itu. Bagaimana mungkin orang bisa bahagia ketika harus terpaksa mengikuti keinginan orang lain?
Bagaimana dengan gerakan feminisme? abolisionisme? Ini adalah gerakan-gerakan yang menentang norma sosial pada masanya dan terbukti berhasil. Di mana kita menarik garis antara norma sosial yang eksis karena kemaslahatan atau karena sekedar tradisi yang sulit dilepaskan?
Di sinilah momen di mana saya tersandung oleh sebuah esai yang ditulis oleh Ralph Waldo Emerson, seorang sastrawan Amerika Serikat. Essay ini berjudul Self-Reliance, atau biasa disebut Kemandirian Pikiran.
Dalam esainya, Emerson mengatakan bahwa kita seringkali terjebak dalam jeratan konformitas dan ketakutan akan mengungkapkan pendapat pribadi. Hal itu sebagian besar disebabkan karena ketidakpercayaan diri terhadap pikiran sendiri dan arus opini massa yang menghendaki kita untuk patuh.
Emerson sangat berani dalam membangun argumennya melawan kepatuhan buta terhadap norma-norma sosial. Baginya, menjadi ‘matang’ dalam arti yang sebenarnya bukanlah tentang menyesuaikan diri dengan apa yang diinginkan masyarakat dari kita, tetapi tentang mempertahankan integritas pribadi dan berani mengikuti intuisi kita sendiri, terlepas dari popularitas atau penolakan.
Tentu saja, itu tidak mudah. Masyarakat seringkali mendorong kita untuk berhenti berpikir sendiri, menggambarkan ketaatan pada norma sebagai tanda kedewasaan. Namun, kita perlu bertanya pada diri sendiri, apakah menjadi “dewasa” berarti mengorbankan kemampuan intuitif dan independen?
Emerson menolak pandangan tersebut dengan tegas. Baginya, langsung menurut terhadap apa yang dikatakan masyarakat adalah bentuk kepengecutan, bukan kedewasaan sejati.
Namun, orang bisa saja mengatakan, “norma berfungsi sebagai alat kontrol sosial, bagaimana jika ada orang yang ingin menyakiti orang lain karena mengikuti intuisinya? Apakah kita harus membenarkan tindakannya?”
Menurut Emerson, menyakiti orang lain tentu saja salah. Tetapi, jika itu adalah benar-benar intuisi moralnya, maka dia mengatakan lebih baik bertindak jujur dan memiliki kesempatan untuk belajar dari kesalahan, mengkalibrasi ulang dan tumbuh daripada berbohong, mengikuti apa yang orang lain katakan demi mendapatkan persetujuan orang.
Emerson mengatakan kita tidak dapat bertumbuh secara moral jika kita tidak jujur secara moral kepada diri sendiri.
Selain pembahasan mengenai norma sosial, saya juga terpaku ketika Emerson mengajak pembaca untuk merenung tentang sumber-sumber pengetahuan. Apakah menjadi cerdas benar-benar hanya tentang menghafal apa yang dikatakan oleh para “pakar” dan “pemikir” terkenal?
Dalam perjalanan menuju kedewasaan intelektual, kita sering kali tergoda untuk mengandalkan pandangan orang lain, para ahli yang dianggap sebagai otoritas dalam bidang tertentu.
Dengan kata lain, untuk menjadi lebih cerdas, yang orang biasa lakukan adalah mencari pendapat ahli-ahli atau sumber eksternal lainnya, kemudian hanya mengulang apapun yang mereka katakan.
Saya adalah pelaku dalam hal ini. Seseorang bertanya kepada saya apa pendapat saya tentang sesuatu, dan yang saya lakukan hanya mengulang jawaban orang pintar yang telah saya hafal minggu lalu.
Emerson menolak cara pandang seperti ini. Baginya, kecerdasan sejati bukanlah tentang mengikuti buta pandangan orang lain, tetapi tentang keberanian untuk mempercayai diri sendiri dan mengeksplorasi pandangan-pandangan yang unik dan asli.
Tetapi jangan salah paham, Emerson tidak melarang mengedukasi diri sendiri dengan membaca buah pikiran orang lain. Anda bebas untuk menyerap semua informasi yang anda inginkan dari sebanyak mungkin yang tersedia untuk anda.
Dia mengatakan bahwa ketika suatu sumber berubah dari memberi tahu fakta-fakta masalah menjadi memberi tahu bagaimana kita seharusnya berkeyakinan atau bertindak tentang fakta-fakta tersebut, disitulah pendidikan berubah menjadi indoktrinasi.
Esai yang ditulis oleh Emerson ini merupakan salah satu esai yang paling berdampak bagi diri saya pribadi. Pandangan Emerson tentang keberanian untuk mempercayai diri sendiri dan berani menantang dogma dan otoritas eksternal seharusnya memberikan inspirasi bagi kita untuk menaruh keyakinan lebih pada diri sendiri dan lebih mengeksplor keunikan kita masing-masing.
Mario Farrasda
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2021
Sekaligus Kru PK identitas Unhas