Dua mahasiswa Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unhas, Mohammad Nur Fiqri dan Rezky Ameliyah Arief yang dijatuhi sanksi skorsing 2 semester menampik jika ia pelaku coret-coret dinding kampus. Namun Wakil Rektor (WR) III Unhas yang juga ketua Komisi Disiplin (Komdis) Universitas menganggap bantahan itu sebagai hal biasa.
“Pernahkokah ada orang nassa-nassami kita tangkap terus dia ngaku bilang iye’ pak saya lakukanngi. Pasti semua menolak to ?” ujar WR III Unhas, Dr Ir Abdul Rasyid Jalil Msi ketika wawancara dengan Identitas.
Cido, panggilan akrab Abdul Rasyid Jalil, mengatakan sanksi yang dilanggar oleh 2 mahasiswa itu jelas. Mereka dinilai melanggar Pasal 2 ayat (2),(4) dan (8), tentang Ketentuan Tata Tertib Kehidupan Kampus.
“Yang mereka langgar jelas. Ayat 2 dan 4 itu ringan, yang sedang itu ayat 8. Kalau saya tanyaki orang di pukul 02.45, tengah malam berdua-dua membawa barang-barang seperti itu apa kira-kira yang mau nalakukan?” terang Cido.
“Kampus ini memang tempatnya orang diproses, pintar, cerdas, berkarakter dan lain-lain sebagainya. Saya kalau ada orang di dekat rumahku pukul 2.45 dan mengendap-endap dan saya dapat saya akan melakukan hal yang lebih dari itu, karena saya berpikiran dia akan melakukan hal yang negatif. Apalagi kalau di tangannya ditemukan barang bukti, bisa kamu lihat di mejaku itu barang buktinya,” tambahnya.
Lebih lanjut Cido menjelaskan bahwa kedua mahasiswa yang dijatuhi skorsing memang tidak melalui persidangan dan pemanggilan selama 3 kali, karena pemanggilan itu tergantung kondisi di lapangan.
“Kan kalau OTT (Operasi Tangkap Tangan) untuk apa dipanggil? Kan kalau misal saya dapatko ambil motornya orang, untuk apako saya panggil? Tinggal saya bawako. Jadi aturan itu, jangan terlalu rumit, kecuali kalau orang tidak OTT ya perlu pemanggilan,” kata Cido.
“Yang paling menyedihkan ini ya, maaf ini jam 2.45 laki-laki dan perempuan, kita di rumahki tidur,” tambahnya lagi..
Meski demikian, Cido mengatakan bahwa mahasiswa yang kena skorsing itu bisa mengajukan banding, karena yang dikeluarkan oleh pihak Unhas belum bersifat final. Sanksi yang diberikan dapat diajukan banding oleh pihak yang merasa keberatan dan memiliki cukup bukti kuat.
“Mereka itu punya hak banding, jadi 3 kali dari 7 kali 24 jam dia punya hak. Oleh karena itu bisa karena ada sesuatu yang baru yang dianggap bisa menguatkan dia bisa saja dia ajukan banding, itu hak dia. Itu ruangnya dia. Karena apa yang dikeluarkan pimpinan, apakah itu fakultas atau universitas itu bukan berarti selesai,” jelas Cido.
Menurut Cido, jika pada bandingnya nanti bukti yang meringankan kuat, maka bisa saja skorsing dicabut.
“Semua kemungkinan itu ada, artinya tidak ada yang mutlak. Bisa saja ketika dia banding ada sesuatu yang dia bawa yang menguatkan bahwa dia tidak bersalah, kenapa tidak? Dan di sini juga ada unsur pendidikan. Memberi sanksi itu juga bagian dari pendidikan. Supaya dia tahu apa yang dia lakukan itu salah dan tak diulangi,” terangnya.
Satpam memergoki Fiqri dan Ameliyah saat menempel poster pada Kamis dini hari, 18 Januari, pukul 02.35 Wita.
“Dia menempel pertama di pos parkir MKU, terus dia naik di MKU, lalu di perpustakaan. Di situ mi dilihat sama anggota Satpam. Mereka sempat lari, tapi banyak petugas serbuki. Apalagi menjelang penyaringan rektor. Satu minggu sebelum penyaringan rektor,” kata Mansyur, Kepala Satpam Unhas.
Sebelum keduanya tertangkap, memang satpam Unhas dipusingkan dengan munculnya coret-coret besar di sejumlah dinding kampus. Coret-coret itu dari tinta cat dan pilox. Diantaranya bertuliskan Tuhan Benci Satpam, Satpam Bukan Polisi, Diam Semua Mko Bodo, Still Think dan sebagainya. (*)
Reporter: Andi Ningsih