Dalam perbincangan tentang dunia kerja, magang selalu menjadi topik yang sangat menarik. Magang kerap dianggap sebagai jembatan yang menghubungkan dunia pendidikan dengan dunia kerja yang nyata. Kesempatan untuk magang dengan tawaran relasi, pengalaman, hingga peluang untuk menjadi pekerja tetap terlihat sebagai sesuatu yang menjanjikan.
Realitanya, hal ini masih jauh dari angan-angan sebagai pintu masuk ke dunia kerja. Dalam praktiknya, proses magang menjadi sesuatu yang rentan untuk menciptakan kondisi menyerupai perbudakan modern. Di Indonesia, fenomena ini termanifestasi dalam bentuk “Unpaid Internship” atau magang tanpa bayaran.
Dalam banyak kasus, magang tanpa bayaran sering kali menjadi sarana bagi perusahaan untuk memanfaatkan tenaga kerja murah atau bahkan gratis. Dengan mengandalkan pemagang melaksanakan tugas-tugas rutin tanpa memberikan imbalan yang setimpal, perusahaan mungkin berupaya memangkas biaya operasional, namun pada saat yang sama melanggar hak-hak dasar pekerja.
Praktik magang tanpa bayaran cenderung menciptakan sebuah paradoks, dimana meskipun para magang dituntut untuk memenuhi serangkaian kualifikasi dan memberikan kontribusi sebagaimana layaknya yang diharapkan memiliki performa yang cemerlang, namun mereka tidak menerima upah atau kompensasi yang setara dengan kontribusi yang mereka berikan.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah praktik magang tanpa bayaran ini dapat dianggap sebagai bentuk perbudakan modern? Meskipun istilah “perbudakan” mungkin terdengar terlalu dramatis, namun jika kita melihat esensi dari perbudakan sebagai pengeksploitasi tenaga kerja tanpa imbalan yang sesuai, maka praktik magang tanpa bayaran ini termasuk dalam ranah tersebut.
Sebenarnya ada karakteristik dari perusahaan yang menawarkan magang tanpa bayaran, mereka cenderung tidak menawarkan kejelasan mengenai tugas atau tanggung jawab yang akan diemban oleh pemagang. Tanpa deskripsi pekerjaan yang jelas, para pemagang sering kali dibiarkan bingung dan tidak produktif selama masa magang mereka. Hal ini terasa menjadi sebuah investasi yang sia-sia saja.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebenarnya telah dijelaskan tentang aturan magang. Selain regulasi dari Undang-Undang Ketenagakerjaan, hak dan kewajiban peserta magang juga diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri.
Dengan demikian, perusahaan tentunya wajib mengadopsi dan bertanggung jawab atas pemberian hak kepada magang sesuai dengan aturan tersebut. Namun, kenyataannya, banyak perusahaan atau instansi yang tidak mematuhi ketentuan ini, yang berarti peserta magang seringkali dibiarkan tanpa imbalan yang layak selama menjalani program magang.
Dampak dari praktik magang tanpa bayaran sangat merugikan bagi para pemagang itu sendiri. Praktik ini dapat memperburuk ketimpangan dalam akses kesempatan kerja, hanya mereka yang memiliki kemampuan finansial yang stabil yang mampu untuk mengakses kesempatan tersebut, sedangkan yang lain terpaksa memilih untuk tidak magang karena pertimbagan keterbatasan ekonomi karena harus mengeluarkan dana pribadi.
Permasalahan ini menjadi lebih kompleks ketika melihat dampaknya kepada mahasiswa. Sebagian universitas telah menerapkan program magang sebagai mata kuliah wajib. Ironisnya adalah proses magang yang dilakukan sebagai bagian kegiatan akademis di perguruan tinggi, yang kemudian diatur oleh kurikulum pendidikan tidak dapat diklasifikasikan sebagai ‘peserta magang dalam negeri’ sebagaimana yang telah diatur dalam Permenaker No. 6 Tahun 2020.
Hal yang seharusnya menjadi kesempatan untuk belajar dan mengembangkan keterampilan, malah berpotensi menjadi beban tambahan bagi mahasiswa yang kurang mampu secara finansial karena tidak mendapat benefit yang telah dijanjikan sebagai pemagang.
Dalam lingkungan yang menghargai hak-hak pekerja, sudah seharusnya proses magang menjadi pengalaman yang memperkaya dan membangun, bukan sekadar bentuk eksploitasi yang merugikan satu pihak. Pemagang seharusnya lebih cenderung diperlakukan sebagai bagian yang setara dan diberikan tugas untuk berkontribusi lebih professional.
Parktin magang tanpa bayaran ini masih terus merajalela dan telah mengakar dalam budaya organisasi di banyak tempat. Meskipun secara hukum mungkin tidak dapat disamakan dengan perbudakan, namun praktik ini menciptakan ketidakadilan yang mencerminkan pengeksploitasian tenaga kerja tanpa imbalan yang pantas.
Sebagai masyarakat yang menghargai hak-hak pekerja, tentunya kita harus memastikan bahwa setiap orang yang berkontribusi dalam dunia kerja diperlakukan dengan adil dan dihargai sepenuhnya. ‘Paid’ bukan hanya tentang persoalan materi, tetapi kesempatan dan pengalaman yang setara untuk semua.
Nur Muthmainah
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Sekaligus Redaktur PK identitas Unhas