Macassan Art Research and Global Encounters (Marege) Institute merupakan pusat studi yang fokus pada relasi Makassar-Australia melalui kajian dan penelitian tentang para pelaut pencari teripang dari Makassar dengan penduduk Australia sejak abad ke-15 Masehi.
Marege Institute ini terbentuk sejak tahun 2023 oleh Dosen Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Negeri Makassar (UNM), Nurabdiansyah Ramli, bersama alumni S2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fikri Yathir, dan Dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Nur Utaminingsih.
Meskipun para pendirinya berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, ketiganya dipertemukan oleh Lily Yulianti Farid, seorang penulis sekaligus research fellow di Global Encounters, Monash Indigenous Study Centre.
Peran Lily dalam memimpin proyek Global Encounters & First Nations Peoples: 1000 Years of Australian History atau Global Encounter Monash (GEM) di Indonesia ini sangat berpengaruh terhadap berdirinya Marege Institute. Fikri mengatakan, Lily memimpin proyek untuk mencari tahu jejak pertemuan yang membangun interaksi budaya para pelaut teripang (Macassan) di Australia Utara.
“Sejarahnya, mulai awal abad ke-17 sampai kira-kira abad ke-20, para pelaut dari Makassar selalu berlayar ke Australia Utara untuk mencari teripang menggunakan perahu Padewakang. Sesampainya di Arnhem Land, Australia, para pelaut ini bermukim di sana hingga beberapa bulan untuk mencari teripang dan membangun interaksi budaya,” jelasnya.
Inisiatif mendirikan pusat studi tentang hubungan Makassar-Australia di Makassar ini kemudian muncul setelah pertemuan ketiga orang tersebut pada Oktober 2022, dalam kegiatan simposium internasional GEM dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Adanya ketimpangan perspektif yang didominasi oleh narasi dari Australia menjadi penggerak terbentuknya Marege Institute. Oleh karena itu, Marege Institute hadir sebagai pusat studi untuk memperbanyak narasi terkait hubungan kedua kebudayaan ini dari Indonesia, khususnya perspektif orang Makassar dengan pendekatan dekolonisasi.
Perspektif dekolonisasi ini sering kali dianggap sinis terhadap narasi-narasi kolonial. Padahal, perspektif tersebut digunakan untuk mengkritisi fakta dalam konteks budaya di Makassar.
Fikri juga mengungkapkan bahwa masih banyak media-media Indonesia bahkan buku-buku sejarah yang tidak memberikan tempat bagi narasi-narasi orang biasa (masyarakat lokal Makassar) dalam konteks hubungan antarbangsa ini.
“Jadi ke depannya, mungkin sekitar lima tahun ke depan ini, kami akan banyak mengeksplorasi topik-topik yang sekiranya jarang atau bahkan tidak pernah diangkat dari narasi-narasi yang selama ini beredar,” ungkapnya.
Sejauh ini, Marege Institute juga telah menjalin kerja sama dengan beberapa universitas di Makassar dan The Global Encounters & First Nations Peoples, Monash University. Marege Institute ini juga telah diperkenalkan ke GEM dan akan menyelenggarakan simposium pada September mendatang.
Kegiatan besar tersebut diorganisir langsung oleh Marege Institute yang bekerja sama dengan UNM dan UIN Alauddin Makassar. Untuk saat ini, Marege Institute sedang menjalankan kelas menulis dengan 10 partisipan yang telah diseleksi. Kumpulan tulisan dari partisipan tersebut nantinya akan dibukukan dan diluncurkan tepat pada simposium mendatang.
Melalui kerja sama yang terjalin, Marege Institute juga berhasil menginisiasi program pengembangan hubungan Indonesia dengan Australia. Program tersebut diantaranya adalah BREEZE: Perth-Makassar Artist Exchange yang bekerja sama dengan PICA (Perth Institute of Contemporary Art), Rumata Artspace, dan UNM yang didukung oleh Project Eleven.
Selain fokus pada penelitian, ke depannya Marege akan bekerja dalam bidang kesenian melalui pameran yang melibatkan Abdi Karya. Tahun depannya, Marege akan mengadakan pameran tentang hubungan Makassar dengan Australia utara bersama Monash University Museum of Arts (MUMA).
“Kami ingin mengeksplorasi isu-isu yang lebih relevan dengan masa kini dan jarang dibahas di pameran-pameran lainnya,” ucap Fikri.
Kurangnya minat dari masyarakat dan kerja sama dari pemerintah terkait hal-hal yang menjadi kajian ini menjadi tantangan Marege Institute. Dengan demikian, meskipun berbasis akademik, Marege Institute selalu berusaha untuk menunjukkan hasil kajiannya dengan bahasa yang sederhana dan menarik.
Sebagai pengelola Marege Institute, Fikri berharap agar Marege bisa terus eksis dan menjalin banyak kerja sama dengan berbagai pihak serta tetap menjaga tujuan utama, yaitu mengangkat cerita-cerita dari Makassar dengan perspektif lokal.
Selain itu, ia juga mengharapkan perhatian dari pemerintah untuk berkontribusi dan memperkaya pengetahuan masyarakat. Meski tidak perlu kerja sama secara langsung, Fikri berharap agar Marege Institute dapat memberikan inspirasi bagi pemerintah untuk lebih aktif lagi mendukung reproduksi pengetahuan dan cerita-cerita lokal yang berasal dari Makassar.
“Makanya kita selalu bilang reproduksi karena ada intervensi-intervensi subjektivitas dan ini menjadi ranah bagi kita untuk bisa berkontribusi dan memperkaya khasanah pengetahuan,” tuturnya.
Jum Nabilah