Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia mencatat, ada 41 kasus kekerasan yang terjadi di Papua sejak 1 Januari hingga bulan Juni tahun ini. Sebanyak 25 kasus di antaranya merupakan peristiwa kontak senjata dan penembakan.
Data selama setengah tahun tersebut menjadi gambaran dari dinamika konflik yang terjadi di wilayah Papua saat ini. Kekerasan hingga pelanggaran HAM menjadi isu yang melekat pada wilayah itu.
Lalu bagaimana sebenarnya itu terjadi dan solusi apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikannya? Berikut petikan wawancara khusus reporter PK identitas Unhas, Najwa Hanana, bersama dosen Fakultas Hukum Unhas, Prof Dr Iin Karita Sakharina SH MA, Senin (22/4).
Bagaimana konflik di Papua bermula?
Sebenarnya kekerasan di Papua itu sejarahnya panjang. Konflik ini sudah terjadi sejak tahun 1960-an ketika Papua menjadi wilayah NKRI. Setelahnya, muncul Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Sejak itu mereka akhirnya tidak berhenti untuk menyatakan ingin memisahkan diri dari negara kedaulatan republik Indonesia. Di sinilah awalnya terjadi permusuhan.
Walaupun sampai hari ini Papua sudah diberikan otonomi khusus (Otsus) untuk Orang Asli (OAP), tetapi dianggap bahwa otonomi yang diberikan ini tidak bisa meredam konflik. Keinginan-keinginan dari OAP muncul karena anggapan bahwa pemerintah mendiskriminasi mereka dalam hal ekonomi.
Tapi di satu sisi, kita juga melihat sebenarnya sudah diberikan banyak sekali fasilitas-fasilitas untuk OAP ini, terutama dalam hal pengembangan sumber daya manusianya.
Pelanggaran HAM seperti apa yang terjadi di Papua?
Kalau pelanggarannya ya karena banyak kekerasan terjadi. Kalau kita baca di media-media itu pelanggarannya sebenarnya berimbang. Dari pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bertugas di sana itu juga jadi korban, mereka luka-luka.
Namun, meskipun berita-berita banyak di media, tapi itu kan harus melalui penyelidikan juga. Kalau kami sebagai orang hukum itu tidak bisa based on berita di media. Kita harus bicara berdasarkan keputusan hakim.
Misalnya, pelanggaran HAM berat atau against humanity maka Komnas HAM harus bisa membuat rekomendasi yang nanti diserahkan kepada kejaksaan agung untuk penyelidikan lanjutan. Dan itu semua perlu bukti, sehingga ketika kita berbicara hukum, kita tidak bisa langsung mengatakan kekerasan di Papua itu adalah pelanggaran HAM atau tidak. Jadi perlu adanya putusan hakim.
Bagaimana konflik di Papua ini jika dilihat dari hukum humaniter internasional?
Kalau dilihat dari hukum humaniter itu konfliknya harus antar negara. Sementara konflik di Papua itu bisa dikatakan hanya konflik internal.
Jadi apa bedanya dengan konflik di Myanmar?
Kalau di Myanmar itu konflik melibatkan etnis yang tidak diakui oleh pemerintahnya. Etnis Rohingya adalah orang Myanmar tapi tidak diakui dan mereka jadi seperti orang asing yang bertamu di negaranya sendiri.
Kalau kasus di Papua itu beda. Konflik Papua bukan karena tidak diakui etnisnya, tapi muncul karena adanya protes ke pemerintah. Respons yang diberikan oleh aparat TNI juga akhirnya menyebabkan kasus ini menjadi meluas, dan di situlah terjadi banyak penganiayaan terhadap warga sipil dan sebagainya.
Langkah seperti apa yang harus dilakukan agar konflik di Papua selesai. Apakah kemerdekaan adalah jalan yang tepat?
Begini, dalam hukum internasional, syarat diakuinya suatu negara itu yakni ada tempat atau wilayah, ada pemerintahan, ada warga negara, dan kemudian ada pengakuan negara lain. Unsur ini harus dipenuhi untuk bisa dimerdekakan.
Dalam kasus tertentu, misalnya mengapa Timor Leste bisa dengan mudahnya diberikan hak referendum oleh negara, ya karena wilayah itu punya sejarahnya sendiri. Sementara sejarahnya Papua bergabung ke Indonesia itu berbeda.
Lalu apakah Papua menempati wilayahnya sendiri, itu kan bagian dari wilayah Indonesia juga. Dan apakah dia sudah diakui dalam hukum internasional sebagai organisasi-organisasi pembebasan, kan OPM di Papua hanya diakui secara internal saja. Dia diakui sebagai organisasi pemberontak.
Kita tidak boleh dengan dengan bebas membiarkan Papua lepas. Karena Indonesia juga harus bertanggung jawab atas kelangsungan Papua. Apakah ketika dia dibebaskan bisa bertahan? Pasti banyaklah unsurnya.
Dalam hal dialog, tidak ada perkembangan signifikan untuk konflik ini. Kenapa tidak memberlakukan operasi militer?
Kalau dilakukan operasi militer akan terjadi kasus seperti di Aceh, akan terjadi pelanggaran HAM yang jelas nyata dan sampai hari ini tidak selesai. Kalau seperti itu, maka pemerintah pasti akan lebih mendapat sorotan lagi.
Sekarang juga sudah ada undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan adanya Komnas HAM. Kita tahu bagaimana operasi militer seperti di Aceh jika dilakukan. Akan ada lebih banyak lagi kekerasan. Jadi tentu sangat tidak mungkin diberlakukan. Saya yakin pemerintah juga tidak akan mengambil langkah itu karena akan mendapat sorotan dari masyarakat internasional.
Jadi sebenarnya penyelesaian yang baik itu kayak gimana, Prof?
Yang paling penting adalah mengedukasi masyarakat Papua bahwa kekerasan yang terjadi itu tidak harus direspons dengan suatu cara yang sangat reaktif. Hal ini akhirnya memicu terjadinya konflik yang pasti mengarah pada kekerasan yang menimbulkan korban.
Pemerintah Indonesia juga harus meyakinkan masyarakat Papua, misalnya pemberian otonomi khusus yang harus jelas implementasinya. Pemerintah harus memperlihatkan bahwa ini betul-betul tujuannya untuk kebaikan masyarakat Papua. Dan bahwa kita juga tidak mendiskriminasi Papua, kita menganggap mereka bagian dari wilayah negara Indonesia.
Juga, sudah ada konvensi mengenai penghapusan segala bentuk rasial dan diskriminasi. Itu harusnya betul-betul diimplementasikan di Indonesia, supaya tidak ada lagi orang melihat dari isu ras.
Bagaimana harapan Anda ke depan terkait konflik ini?
Saya berharap konfliknya tidak terjadi lagi. Ketika konflik itu tidak bisa diredam, paling tidak bisa diminimalisir, maka perdamaian akan tercipta.
Hal ini juga mencakup bagaimana kita saling menghormati sesama manusia. Ini kan sebenarnya masalah toleransi, bagaimana penerimaan sehat masyarakat dengan masyarakat lain. Artinya, kita sebagai orang luar Papua juga harus bisa memahami kenapa masyarakat Papua bisa bereaksi sedemikian rupa. tapi di satu sisi kita juga harus bisa fair bahwa apakah pemerintah sudah menjalankan tugasnya dengan baik dalam hal ini.
Data diri narasumber:
Prof Dr Iin Karita Sakharina SH MA
Riwayat Pendidikan:
Hukum Internasional, Fakultas Hukum Unhas (2000)
Theory and Practice of International Human Rights Law, Oslo University, Norwegia (2003)
Program Doktor Ilmu Hukum Unhas (2013)