“Ucapan akan segera hilang dan musnah, sementara tulisan akan abadi dan dikenang sepanjang waktu.”
Kurang lebih begitu makna sebuah peribahasa latin yang selalu tertanam dalam kepalaku. Semua orang punya ceritanya masing-masing. Begitu pula bagaimana cara mereka menyampaikannya kepada orang lain. Kebanyakan orang mungkin lebih leluasa meluapkan suka-dukanya secara langsung. Namun bagiku, tulisan adalah cara terbaik untuk mengungkap sekaligus mengabadikannya.
Aneh tapi sungguh, aku bisa menjadi orang lebih jujur hanya dengan menulis. Aku pun tak habis pikir, bagaimana bisa tulisan dapat sejujur itu dibanding diucapkan lantang padahal subjek kasus ini adalah orang yang sama. Apa mungkin inilah buah dari kebiasaanku sejak lama?
Sejak masih duduk di bangku SD, aku senang menulis, mengabadikan momen-momen berharga dalam kata demi kata. Entah itu di buku diary atau sekadar catatan kecil yang disematkan di ponsel. Tak sedikit pula rahasia yang kutuangkan di atas kertas sebab aku yakin kertas tak akan ingkar, berbeda dengan manusia.
Beranjak SMP, kegemaranku pada tulisan memuncak. Semua teman kelas mendukung hobiku. Aku bahkan mendapatkan rekan menulis di sana. Berada di lingkungan yang senantiasa mendorong semangatku itu, seperangkat tulisan pun kupersembahkan kepada mereka. Sebuah novel yang kemudian menjadi bahan nostalgia kami sejak kelulusan.
Memasuki SMA, aku sudah tak begitu aktif menulis. Semangat itu padam sepenuhnya setelah sibuk berorganisasi. Belum lagi aku mulai tak punya cukup waktu untuk membaca di luar dari materi pembelajaran.
Selama meninggalkan kebiasaanku itu, semua baik-baik saja. Pelajaran bisa kupahami baik, aku mendapat sejumlah teman dekat, juga hadirnya orang Jepang yang benar-benar mewarnai masa putih abu-abuku. Ya, semuanya baik-baik saja hingga akhirnya pandemi Covid-19 datang.
Seminggu-dua minggu pertama terasa seperti hari libur biasa, apalagi minggu itu memang dijadwalkan libur untuk mensterilkan sekolah demi berlangsungnya Ujian Sekolah para senior. Namun hari demi hari, angka pasien penyakit itu meningkat dan terus meningkat. Pembelajaran dan aktivitas kantor lantas dilaksanakan sepenuhnya di rumah.
Terkurungnya aku di rumah membuat segala rutinitas jadi berantakan. Aku tak lagi sibuk dengan organisasi. Aku bahkan punya banyak sekali waktu yang tak tahu harus dihabiskan dengan melakukan apa. Aku mulai mencari hobi baru selama itu. Menggambar, melukis, memasak, menjahit, bahkan bermain musik. Semua sudah kulakukan berulang, tapi tak ada satupun yang berhasil membuatku puas lebih dari menulis.
Di penghujung 2020, aku baru tahu ada gerakan menulis bersama se-Indonesia. Itulah #30haribercerita. Gerakan ini dilakukan dengan membagikan sehari satu tulisan kita selama 30 hari di Januari. Pada hari-hari tertentu, akan ditentukan sebuah tema dan itulah yang membuatnya sedikit menantang. Info ini kudapatkan dari status media sosial guru Bahasa Indonesia. Mengingat aku pernah gagal dalam komitmen menulis pada tantangan serupa, aku memutuskan untuk kembali menulis.
“Barangkali ide yang dulunya sampai bertumpahan itu dapat tertampung kembali di kepalaku,” pikirku.
Kisah 2021 akhirnya kubuka dengan menulis selama 30 hari berturut-turut. Memulai kembali kebiasaan menulis setiap hari, rasanya begitu kikuk. Padahal aku hanya menuliskan hal-hal acak, ternyata cukup sulit juga memutuskan akan menulis apa. Ditambah, tulisan yang diunggah di media sosial Instagram-ku itu harus disertai foto terkait. Terkadang, aku bahkan rela menulis ulang hanya untuk menyesuaikan potret penyertanya.
Jujur, awalnya aku berpikir cara berceritaku ini hanya akan menjadi sampah di beranda orang-orang. Membayangkan orang lain juga berpikir demikian, aku sempat bermaksud mengarsip semua tulisanku dan berhenti di pertengahan. Namun setelah mendapati pesan teman-teman yang menunggu kisah lainnya di kolom komentar, aku tak bisa bertindak selain tetap melanjutkan tantangan di Januari itu.
Hingga sekarang, aku masih rutin mengikuti #30haribercerita setiap awal tahun. Kalau ditinggalkan, rasa-rasanya ada yang kurang meskipun aku sibuk di bulan itu. Bagaimana tidak, Januari selalu kunanti tiap tahunnya hanya karena event ini. Setiap kejadian-kejadian penting akan kusimpan dalam benak lalu kubagikan dalam rentang bulan tersebut.
Mula-mula, aku memang menarget ingin membangkitkan jiwa penulis yang telah bersemayam sekian tahun dalam diriku. Namun nyatanya, setelah rajin menulis seperti ini sekali pun, ide-ide itu tetap beku. Setidaknya, aku masih bisa berkarya di sini, PK identitas Unhas, walau tak lagi menghasilkan fiksi seperti dulu.
Aku tertawa membaca kalimat di atas. Setidaknya, kataku. Padahal nyatanya, aku masih merindukan diriku di 2018. Aku rindu tulisan itu bisa menyuarakan isi kepalaku tanpa terkecuali.
Nurul Fahmi Bandang
Mahasiswa Fakultas Keperawatan Angkatan 2021
sekaligus Reporter PK identitas Unhas 2024