Kehadiran teknologi begitu mengubah berbagai aspek di masa sekarang. Yang dulunya kita harus mencari surat kabar untuk mengetahui berita terkini, sekarang semua informasi bahkan bisa meluncur ke genggaman kita dalam waktu singkat. Tak terkecuali materi pengembangan skill dan informasi lowongan kerja.
Meskipun demikian, nyatanya Badan Pusat Statistik (2023) mencatat sekitar sepuluh juta anak muda usia 15 hingga 24 tahun tak bekerja, tak dalam masa pendidikan, juga tak ikut program pelatihan. Besarnya angka ini mengundang tanya, bagaimana bisa Generasi Z yang tumbuh-kembang di era digital justru terhambat dalam mencari pekerjaan?
Simak wawancara khusus Reporter PK identitas Unhas, Nurul Fahmi Bandang, bersama Dosen Sosiologi untuk kajian Kesejahteraan dan Pekerjaan Sosial, Andi Nurlela SSos MSi, Selasa (11/06).
Bagaimana pandangan Anda terhadap fenomena ini?
Saat ini, kita berada di era digital, di mana semuanya serba praktis dan mudah untuk mendapatkan informasi. Namun di sisi lain, ternyata ada fenomena-fenomena yang berkembang dari generasi ke generasi. Salah satunya fenomena yang dihadapi Generasi Z di beberapa belahan dunia seperti Indonesia, Jepang, dan Amerika ini.
Setelah dikaji lebih dalam, ternyata hal-hal praktis inilah yang kemudian memupuk dan membawa dampak ke pola pikir dan perilaku mereka. Hal ini tentu berada di luar prediksi kita. Padahal semua serba ada, segala jenis informasi itu sangat praktis didapatkan. Berbagai macam kemudahan ini justru mendatangkan tantangan berbeda di masyarakat, termasuk fenomena sulitnya Generasi Z mendapatkan pekerjaan ini.
Apa yang menyebabkan Generasi Z susah cari kerja?
Penumpukan praktis yang saya jelaskan sebelumnya adalah salah satu faktor penyebab fenomena ini. Tentu ada berbagai macam faktor lain. Mungkin dari segi Generasi Z itu sendiri, lingkungan, atau lembaga pemberi jasa pekerjaan.
Beranjak ke era digital, tak semua orang bisa menyambut dengan baik hal ini. Misalnya, cara mengukur kesejahteraan. Menurut ilmu kesejahteraan sosial, standar kesejahteraan seseorang dulunya hanya sebatas kebutuhan perut, tetapi sekarang itu sudah bergeser menjadi kesehatan mental. Sebagai contoh, kalau Generasi Z tidak nyaman dengan pekerjaannya, dia pasti pindah.
Lalu bagaimana kecenderungan Generasi Z dalam mencari pekerjaan?
Karena standar kesejahteraan mereka adalah kesehatan mental dan kepuasan diri, Generasi Z cenderung memilih-milih pekerjaan. Apalagi ada yang disebut dengan tuntutan pekerjaan, misalnya harus berpenampilan menarik, jago IT, dan sebagainya. Dari beberapa penelitian, Generasi Z juga sering tidak nyaman dengan suatu kondisi. Mereka akan meninggalkan lingkungan pekerjaan bila merasa tidak sesuai dengan keinginannya.
Bagaimana peran media sosial dalam proses pencarian pekerjaan?
Media sosial adalah wadah memberikan informasi, termasuk pembelajaran terkait skill yang berhubungan dengan pekerjaan bahkan pemberitahuan pembukaan lowongan kerja. Hal ini kembali lagi ke individu masing-masing, apa mau dimanfaatkan informasinya atau tidak.
Bagaimana pandemi Covid-19 mempengaruhi kesempatan Generasi Z mendapatkan pekerjaan?
Sejak pandemi Covid-19, kita kebanyakan bekerja di rumah dan akhirnya terlena dengan hal itu. Makanya, banyak remaja yang lebih senang tinggal di rumah. Terlebih, semua hal juga bisa diakses dari rumah. Giliran mencapai usia produktif, Generasi Z yang sudah terbiasa di rumah jadi ikut menginginkan pekerjaan dari rumah, pekerjaan yang tidak terikat. Hal ini pula yang ikut mempengaruhi kecenderungan mereka dalam mencari pekerjaan.
Menurut Anda, bagaimana program pelatihan dan magang mendukung Generasi Z memasuki dunia kerja?
Sebenarnya, magang ataupun program pra-kerja yang dihadirkan pemerintah itu sangat bagus. Program ini dapat memberi bekal kepada pesertanya sebelum terjun langsung ke dunia kerja. Tapi, tentu ini kembali lagi ke individu itu sendiri untuk memanfaatkan peluang atau tidak. Di Unhas sendiri, sekarang itu sudah sangat mendukung kegiatan magang, seperti MBKM yang di zaman saya belum ada. Melalui kegiatan ini, mahasiswa bisa mendaftar magang meskipun tidak sesuai dengan jurusannya.
Bagaimana upaya yang perlu dilakukan pemerintah dalam memaksimalkan SDM Indonesia ke depannya?
Pemerintah bisa menyesuaikan dan menyelaraskan antara pendidikan formal dan informal dengan kebutuhan industri dari instansi pemerintah maupun swasta. Jadi, skill, pendidikan, dan tempat bekerja itu sebaiknya harus sinkron. Ketika tidak sinkron, maka akan timbul kesenjangan yang kemudian berdampak menjadi konflik. Entah itu konflik antara rekan kerja atau jajaran atas perusahaan tersebut. Tentu hal ini akan mempengaruhi kualitas output dari yang dikerjakan dan akan berdampak pula ke beberapa hal kemudian. Maka dari itu, pemerintah perlu menyelaraskan latar belakang SDM dengan jenis pekerjaan yang dibuka.
Bagaimana strategi yang sebaiknya dilakukan Generasi Z dalam memaksimalkan peluangnya diterima bekerja?
Berbicara terkait strategi, Generasi Z harus bisa memanfaatkan kemudahan yang diberikan dengan sedemikian rupa untuk mendukung dirinya sendiri dalam lingkungan pekerjaan. Misalnya, dengan adanya teknologi, mereka bisa menggali potensi dirinya dan bila sudah sadar akan itu, mereka sebaiknya mengambil jurusan perkuliahan yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Setelah itu, diaplikasikan ketika mereka sudah bekerja.
Pekerjaan juga tak sepatutnya dipandang lagi sebagai batu loncatan. Sebaliknya, pekerjaan itu dianggap sebagai tempat menciptakan kenyamanan, berkreativitas, dan bukan hanya memenuhi kewajiban saja.
Data Diri Narasumber
Nama: Andi Nurlela SSos MSi
Tempat Tanggal Lahir: Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara, 30 September 1988
Riwayat Pendidikan
S1: Sosiologi, Universitas Hasanuddin, 2010
S2: Sosiologi, Universitas Hasanuddin, 2012