“Bagi kami petani, hidup dengan kondisi yang serba terbatas hanya bisa terus berharap uluran tangan mereka,” ungkap seorang petani di Kabupaten Maros, Muhammad Ali.
Indonesia terkenal akan sumber daya alam hayatinya. Namun, di balik hal itu terdapat kenyataan yang begitu pahit untuk dibayangkan apalagi jika dilihat. Mereka, para petani, orang yang memiliki peranan penting dalam menjaga ketersediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan setiap orang.
Akan tetapi, apakah kita pernah melirik bagaimana mereka merintih kesulitan untuk mencukupi keperluannya sehari-hari?
Indonesia adalah negara agraris. Dengan kata lain, pertanian memegang peranan penting dalam sistem perekonomian nasional secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan pertanian merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk dilakukan. Hal ini terbukti dengan begitu seriusnya pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan. Target produksi pangan akhirnya menjadi fokus pemerintah karena berkaitan langsung dengan fluktuasi harga dan stabilitas sosial ekonomi. Jelas bahwa jaminan untuk ketersediaan pangan secara jangka panjang adalah isu yang penting.
Seperti yang kita tahu, pangan merupakan komoditas penting dan pasokannya harus dijaga. Baik karena alasan mendesak atau alasan lain, para pemangku kepentingan tampaknya hanya memperhatikan bagaimana peningkatan pangan, namun tidak dengan kesejahteraan petani.
“Siapa sebenarnya yang peduli dengan nasib petani? Kan pada kenyataannya yang terpenting ketersediaan dan harga pangan harus terjangkau”. Mungkin itu pikiran pemerintah.
Petani merupakan tulang punggung sektor pertanian, namun kesejahteraannya masih jauh di bawah harapan. Kebutuhan terpenting manusia berasal dari pertanian. Banyak pekerja di sektor pertanian yang telah membantu memenuhi kebutuhan hidup banyak orang dan oleh karena itu juga mereka seharusnya mendapatkan kesejahteraan yang sebagaimana mestinya. Namun kenyataannya, petani seringkali dirugikan karena rendahnya pendapatan mereka.
Saya sendiri pernah berjumpa dengan seorang petani di Kabupaten Maros. Ia mengatakan, kalau mereka yang bekerja sebagai buruh tani hanya mendapatkan upah berkisar antara Rp. 60.000 hingga Rp. 80.000. Jelas, nominal tersebut tidaklah cukup mengingat kerja keras serta biaya hidup yang terus meningkat.
Bahkan ketika waktu panen tiba, para petani biasanya tidak mendapatkan keuntungan sesuai harapannya. Ditambah faktor cuaca yang bisa saja menambah kerugian para petani. Situasi ini diperparah dengan harga produk pertanian yang seringkali fluktuatif sehingga menyebabkan pendapatan petani tidak menentu. Kondisi seperti ini seringkali membuat kehidupan petani sulit dan menyedihkan.
Petani selalu identik dengan kemiskinan. Berdasarkan data BPS, 17,28 juta masyarakat yang tinggal di pedesaan dan sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani menjalani kehidupan yang sangat berat.
Hal ini seringkali juga menimpa keluarga, terutama anak-anaknya yang harus putus sekolah karena masalah keuangan. Fenomena ini merupakan permasalahan yang kompleks karena tidak hanya berdampak pada perekonomian, namun juga berimbas pada pendidikan generasi penerus bangsa.
Banyak petani yang hidup dalam kondisi ekonomi yang sangat berat untuk mereka jalani. Selain itu, sering terjadi keadaan dimana petani sulit memiliki akses yang memadai terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan. Kondisi ini menyebabkan menurunnya kualitas hidup petani dan keluarganya.
Petani seringkali menghadapi tantangan besar dalam kehidupannya. Permasalahan yang umum dihadapi oleh petani antara lain terbatasnya akses terhadap sumber daya, kurangnya dukungan pemerintah, dan rendahnya harga jual hasil panen sehingga berdampak pada pendapatan mereka yang bekerja sebagai buruh tani.
Salah seorang buruh tani di Kabupaten Wajo pernah bercerita kepada saya. Ia dan keluarganya sangat sulit untuk hanya sekedar memenuhi kebutuhan pokok setiap hari. Bahkan seringkali, ia dan keluarga hanya bisa makan seadanya. Hal ini mengingat, waktu panen yang lama dan adanya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi setiap hari.
Bahkan, anak-anaknya harus berhenti menempuh pendidikan karena persoalan ekonomi keluarga. Ia mengatakan, anaknya tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi karena ketidaksanggupan mencari dana untuk menunjang perkuliahannya nanti.
Pada kenyataannya, tidak sedikit petani yang mengalami hal serupa. Rata-rata mereka yang berprofesi sebagai petani merasakan hal yang sama yakni sulitnya untuk menghidupi diri sendiri terutama mereka yang telah berkeluarga. Namun, beberapa orang terkadang acuh tak acuh dengan nasib mereka.
Satu yang pasti, produksi pangan harus tetap ada untuk mengisi perut mereka yang berada. Orang-orang ini tidak pernah menyadari bagaimana mereka para petani yang begitu sulit untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
Banyak petani yang telah saya jumpai dan mereka selalu mengatakan tentang harapannya kepada mereka para pemangku jabatan. Bahkan seorang istri dari salah satu petani yang pernah saya jumpai bercerita sambil menangis. Ia hanya ingin mereka yang berada di atas singgasana dapat melirik dan memberikan bantuan kepada para petani yang hidup merintih kesulitan.
Otto Aditia
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2022
Sekaligus Reporter PK identitas Unhas 2024