Siapa yang tidak mengetahui Korea Selatan? Sebuah negara dengan daya tariknya yang berhasil menyihir masyarakat Indonesia di berbagai kalangan. Negeri gingseng ini mempunyai sejuta keunikan dan keberagaman yang menjalar di segala aspek kehidupan.
Mendengar kata Korea, hal yang terlintas di benak khalayak adalah musik K-pop dan dramanya yang memikat hati. Layar ponsel pun dipenuhi dengan idol dengan lagu-lagunya yang menguasai chart musik, hingga gaya hidup dan fashion ala Oppa-Eonni Korea yang kian menjadi tren.
Bukan hal baru, fenomena inilah yang disebut dengan istilah Korean Wave atau dalam bahasa Korea berarti “Hallyu”. Korean Wave merupakan sebuah fenomena tersebarnya budaya pop Korea secara global. Melalui industri kreatifnya, Korea Selatan berhasil menarik perhatian dan secara nyata telah mempengaruhi budaya Tanah Air.
Awal mula masuknya Korean Wave di Indonesia dipelopori oleh sebuah drama korea yang tayang di tahun 2000-an berjudul Endless Love. Alur drama ini bahkan masih melekat di ingatan para penikmat drakor jaman dahulu. Selanjutnya, kehadiran Korean Wave didukung oleh munculnya boyband dan girlband K-pop beberapa tahun kemudian seperti Bigbang, Wonder Girls, SNSD, Super Junior, dan lain sebagainya.
Di satu sisi, alur positif Korean Wave membangun bakat dan kreativitas anak muda Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan keinginan untuk meningkatkan kemampuan bernyanyi dan menari bak seorang idol. Sejalan dengan Suminar (2018) dalam tulisannya yang berjudul “Fenomena Hallyu di Indonesia”, dampak positif Korean Wave dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan tentang bahasa Korea sebagai dorongan memperluas lapangan kerja dalam perdagangan produk-produk Korea yang sedang marak.
Namun disisi lain, tumbuh ancaman akan pergeseran kelestarian identitas dan kearifan budaya lokal yang telah lama terbentuk. Salah satu dampak ini berasal dari rasa fanatik, utamanya fans K-pop yang terlalu melampaui batas dalam mencintai idolanya. Melansir dari laman detikpop, Indonesia merupakan pendengar musik K-Pop terbanyak di platform musik Spotify sepanjang tahun 2023.
Kehadiran budaya Korea kini menimbulkan pertanyaan sekaligus dilema. Apakah Korean Wave yang semakin merajalela ini bisa menjadi akulturasi yang positif atau justru menjadi kolonialisme secara halus?
Berbicara mengenai akulturasi tentu saja tercermin dari perpaduan dua kebudayaan yang pada akhirnya membentuk kolaborasi tanpa menghilangkan budaya aslinya. Pada pengalaman pribadi penulis, Korean Wave membawa pengaruh nyata yang dikemas dalam bentuk pertukaran budaya. Hal ini diterapkan pada salah satu konser K-pop di Jakarta 2023 lalu.
Tepat dua pekan sebelum konser dimulai, promotor konser mengumumkan aturan berbusana dengan bertema batik. Pada hari konser tiba, para penonton dengan semangat memamerkan batik kebanggaannya memadati arena Gelora Bung Karno. Beragam warna dan corak batik tampak seperti pagelaran seni yang indah dipandang mata.
Tak hanya itu, sebuah lagu milik penyanyi Indonesia Kaleb J dibawakan oleh grup bernama WayV. Mereka dengan fasih bernyanyi dengan beberapa lirik yang menggunakan bahasa Indonesia. Anggota dari grup Super Junior juga turut meramaikan dengan menggunakan batik di detik terakhir selesainya konser.
Melihat hal ini bisa dikatakan sebagai salah satu keberhasilan pertukaran budaya. Hanya saja, perlu dipertanyakan kembali akankah penggemar mereka masih ingin memakai batik walaupun tidak diiming-imingi konser Korea?
Di sekitar kita secara sadar dan tak sadar telah banyak produk yang mengatasnamakan negara Korea. Saat ini, brand-brand ternama bahkan memakai istilah Korea ataupun membangun kolaborasi dengan boygroup dan girlgroup sebagai brand ambassador. Tak lain hal ini sebagai strategi marketing karena tingginya minat masyarakat Indonesia jika berhubungan dengan Korea.
Sebagian orang mungkin sempat mendengar istilah kebaya ala Korea. Penyebutan ini boleh jadi terdengar biasa saja, namun jika dibayangkan betapa anehnya kebaya yang notabene sebuah kostum kebanggaan Indonesia harus disandingkan dengan Korea lagi. Lantas, jika semuanya menjadi serba Korea, apakah hal ini adalah sebuah kolonialisme secara halus?
Ada banyak perdebatan apakah fenomena ini merupakan bentuk baru dari kolonialisme budaya yang perlu diwaspadai. Hal ini pun sebenarnya masih mengambang seiring dengan perkembangan zaman. Perlu diketahui, budaya merupakan sesuatu yang dinamis. Tentulah terjadi perubahan pada budaya secara bertahap akibat pengaruh dari budaya luar. Akulturasi adalah hal yang positif, tetapi akan menjadi negatif jika melewati batas-batasnya.
Nabila Rifqah Awaluddin
Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya 2021
Sekaligus Reporter PK identitas Unhas