Anwar Jimpe Rachman, pendiri Tanahindie sekaligus penulis buku Rock in Celebes: 100 Tahun Musik Populer Makassar, adalah salah satu pionir dalam dunia tulis menulis dan seni di Kota Makassar. Buku tersebut berfokus pada perkembangan musik di Makassar dan Rock in Celebes, salah satu festival musik tahunan terbesar di Indonesia Timur.
Akrab disapa Jimpe, ia bercerita telah memulai karirnya sejak berstatus sebagai mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Hasanuddin (Unhas), tepatnya di semester empat tahun 1996. Penulis sekaligus peneliti ini mulai menulis di Pedoman Rakyat dan sesekali di Harian Fajar. Hingga kini tulisannya telah banyak terbit di berbagai media cetak hingga elektronik lainnya.
Memasuki semester sepuluh, Jimpe mulai berpikir untuk mencari pekerjaan yang bisa dikerjakan tanpa atasan dan kantor yang mengikat. Di situlah ia menemukan bahwa menjadi penulis adalah jawabannya.
“Apa bisa orang bekerja di rumah? Iya bisa, jawabannya adalah dengan menulis. Di situlah titik saya berpikir untuk menjadi penulis,” ungkap Jimpe.
Awalnya Jimpe masih harus bekerja sebagai jurnalis di sebuah media dan menghadapi fakta bahwa dirinya masih harus datang ke kantor untuk bekerja. Baru pada tahun 2008, usai menikah, Jimpe akhirnya dapat bekerja di rumahnya sendiri sebagai seorang penulis.
Dalam karirnya sebagai penulis, Jimpe telah menerbitkan banyak buku, di antaranya Hidup di Atas Patahan. Buku pertamanya yang menceritakan tentang perjalanannya ke Bengkulu, Jambi, Sinjai Barat, dan Kepulauan Kei Maluku Tenggara itu ditulis setelah ia melakukan penelitian kebencanaan pada tahun 2012.
Tahun 2013, Jimpe kembali menerbitkan buku keduanya, Chambers: Makassar Urban Culture Identity. Buku yang terbit hasil kerja samanya dengan Distro Chambers Makassar ini membahas persoalan ekonomi kreatif, kebudayaan anak muda, jaringan, dan musik anak muda Makassar. Sepuluh tahun kemudian, Jimpe akhirnya menerbitkan buku Rock In Celebes: 100 Tahun Musik Populer Makassar, yang menurutnya merupakan penyempurna buku sebelumnya dengan fokus khusus pada musik.
Selain menjadi penulis, semasa kuliah, Jimpe bersama teman-temannya juga mendirikan lembaga non profit yang berfokus pada kajian budaya populer dan perkotaan, yaitu Tanahindie. Tanahindie merupakan bentuk respons Jimpe dan teman-temannya terhadap runtuhnya masa orde baru yang sebelumnya mengekang kebebasan berpendapat.
Saat itu, seluruh informasi kebanyakan bersumber dari Jakarta melalui siaran TV, koran, dan berbagai media umum lainnya sehingga berdirinya Tanahindie adalah sebagai media alternatif untuk menyajikan berita terkait budaya Makassar, pakaian, sinetron, musik, dan film saat itu yang tidak dimuat di media umum tadi.
Jimpe sebagai pelopor nama Tanahindie sendiri mengeluh terkait kesalahan penulisan nama yang sering dilakukan media lain. Tanahindie kerap ditulis terpisah antara “Tanah” dan “Indie”, yang sebenarnya merupakan satu kata, Tanahindie. Tipografi Tanahindie yang saat ini terpasang di laman mereka masih merupakan orisinal belum pernah diedit.
Dengan banyaknya buku yang terkumpul di markas baru Tanahindie, Jimpe kemudian memutuskan mendirikan Perpustakaan Kampung Buku di halaman rumahnya sekaligus menjadi seorang pustakawan. Perpustakaan ini dikembangkan tidak hanya dengan membeli buku secara pribadi, tetapi juga menerima sumbangan buku. Perpustakaan ini terkadang menyumbang dan meneruskan titipan buku ke perpustakaan yang baru berdiri, terutama di daerah kabupaten.
Dekatnya dunia kepenulisan dengan seni membuat Jimpe pun turut turun menoreh karir dalam bidang seni. Berawal dari dirinya yang kerap mewakili sekolah dasarnya dalam kontes menyanyi, hingga akhirnya ia memperoleh uang pertama hasil kerjanya sendiri saat SMP, upah menyanyi di orkes kecapi.
Bentuk kecintaan Jimpe terhadap seni juga ia tuangkan dalam tulisannya berbentuk luapan kekecewaannya terhadap pertunjukan seni khususnya musik di Kota Makassar. Jimpe menyoroti media-media di Kota Makassar yang hanya berfokus pada 4W (What, Who, Where, When) dan melupakan 1H (How) dalam naskah beritanya.
Akibat tulisannya mengenai seni, Jimpe pun dipanggil untuk menjadi kurator seni di Jakarta Biannale 2016, Pameran Sulawesi Pa’rasanganta yang diadakan oleh Bentara Budaya Jakarta 2019, Cushcush gallery 2020, dan beberapa pameran lainnya.
Berkat itu, sejak tahun 2017, Jimpe kemudian menjadi direktur Makassar Biennale, sebuah acara internasional yang diadakan setiap dua tahun. Mengusung tema maritim, Makassar Biennale menjadi ajang peristiwa, forum, dialog, dan berbagai kegiatan budaya dengan seni rupa sebagai elemen utamanya.
Bentuk cintanya terhadap pekerjaannya menjadikannya tidak pernah menganggap hal yang dihadapi selama bekerja sebagai rintangan ataupun masalah. Menurutnya, melihat dan menikmati hal-hal yang berbau seni adalah suatu hal yang menyenangkan.
“Saya rela kerja bahkan berkorban material dan waktu, tapi sebenarnya kalau cinta, tidak ada yang perlu dikorbankan. Kita tidak akan pernah merasa berkorban,” tutur Jimpe.
Khaila Thahirah