Perang Israel dan Palestina kini memasuki bulan ke delapan sejak konflik pecah pada 7 Oktober 2023. Laporan terbaru beberapa media menyebut, Israel masih terus menggempur Hamas di wilayah Rafah, Gaza selatan, dan juga kembali menyerang Khan Yunis di Gaza Tengah.
Perdana Menteri Israel mengatakan, pihaknya akan terus melancarkan serangan di Gaza. Tujuannya, untuk menghancurkan Hamas secara total. Perang yang tak berkesudahan ini telah menimbulkan banyak korban jiwa dan menjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Jumlah korban jiwa di Gaza terus bertambah. Hingga saat ini, jumlah korban tewas di Gaza mencapai 39.175 menurut laporan Reuters, Kamis (25/07).
Lalu, bagaimana upaya perundingan kedua pihak saat ini? Dan bagaimana prospek perdamaian bagi kedua pihak di masa depan? Berikut petikan wawancara khusus Redaktur identitas Unhas, Zidan Patrio, bersama Dosen Hukum Internasional Unhas sekaligus Duta Besar Republik Indonesia untuk Federasi Rusia periode 2008-2011, Prof Hamid Awaluddin SH LLM MA PhD, Rabu (24/07).
Sudah delapan bulan konflik Israel Palestina ini terjadi. Bagaimana menurut Anda?
Konflik yang paling lama dalam sejarah dunia adalah konflik Arab-Israel, dan itu menyangkut masalah tanah dan wilayah. Karena menyangkut wilayah berarti itu masalah martabat dan harga diri.
Yang membedakan konflik Palestina saat ini, Palestina seorang diri melawan Israel plus menghadapi Amerika. Dulu Palestina dibantu. Misalnya dalam perang 1967, yang berperang itu adalah Mesir, Yordania, dan Suriah untuk melawan Israel. Jadi memang Hamas saat ini seorang diri melawan Israel.
Bagaimana bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan Israel di Gaza?
Perang sekarang bukan lagi adu kekuatan semata, tetapi ada pembantaian yang terjadi. Israel dengan segala keperkasaan militernya menghantam Hamas, namun yang ikut kena dampak adalah warga sipil.
Di sana terjadi pembantaian dengan dua kategori. Kategori pertama adalah kategori kejahatan kemanusiaan. Di mana kejahatan kemanusiaan itu? Menutup jalan makanan dan obat-obatan untuk masuk. Artinya, dia ingin musnahkan warga Palestina.
Kategori kedua adalah kejahatan perang. Membunuh orang tak berdosa, wanita, dan seluruhnya. Dalam perspektif ini, International Criminal Court (ICC) benar melayangkan surat penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sebagai pelaku kejahatan perang dan pelaku genosida. Karena genosida secara definisi adalah pembunuhan secara sistematis, membunuh, menciderai, melukai, orang atau kelompok berdasarkan ras dan etnis. Yang jelas ras Arab dan etnis Palestina.
Netanyahu mengatakan bahwa kita tidak akan berhenti sampai mereka musnah. Itu namanya etnic cleansing. Jelas-jelas itu adalah genosida dan masuk dalam yurisdiksinya Statuta Roma, Mahkamah Pidana Internasional.
Dalam Statuta Roma dikatakan bahwa Mahkamah Pidana Internasional melindungi semua orang yang mengakui semua yurisdiksinya. Jadi semua yang terjadi di wilayah penandatanganan maka yurisdiksi berlaku di situ. Maka tidak ada keraguan bahwa ini adalah pelanggaran HAM berat dengan kategori genosida dan kejahatan kemanusiaan.
Anda tahu bahwa yang memulai perang adalah Hamas pada 7 Oktober. Israel hanya melakukan serangan balasan dan membenarkan tindakannya sebagai self defence…
Betul, Israel mengatakan itu adalah self defence. Tetapi dalam hukum internasional, kalau serangan membabibuta (overwhelming) baru bisa menggunakan self defence. Serangan ini juga harus instan. Ini kan bukan lagi serangan instan, sudah 8 bulan. Dan balasan Hamas tidak setimpal dengan apa yang terjadi sekarang.
Dalam prinsip hukum perang, selalu ada yang dikenal dengan proporsionalitas. 40 Ribu orang sudah meninggal sekarang. Kalau kita urut ke belakang, apa yang dilakukan Hamas adalah hanya menuntut haknya, yakni wilayahnya yang direbut oleh Israel.
Pada Februari lalu, ICJ sudah menjatuhkan dakwaan kepada Israel. Namun sejauh ini yang kita lihat seolah-olah hukum internasional itu mengalami impunitas. Menurut Anda?
Impunitasnya itu karena keberpihakan AS. AS memiliki hak veto di PBB, jadi resolusi apapun, selama merugikan Israel dan selama ada Amerika itu susah sekali. Di sinilah kelihatan sekali, bahwa tidak ada ikhtiar serius dari Amerika. Kebijakan luar ngeri Amerika itu pro Israel. Jadi memang agak susah.
Jadi perdamaian kedua pihak ini tidak bisa terjadi tanpa adanya restu dari Amerika?
Yes, Amerika kuncinya. Di saat yang berbarengan, kekuatan dahsyat yang bisa mengimbangi Amerika lagi sulit. Rusia lagi dilanda masalah ekonomi dan perang Ukraina. Satu-satunya yang bisa mengimbangi adalah China. Itulah mengapa China memanggil Hamas dan Fatah untuk bersatu.
Fatah dan Hamas untuk sekarang ini bersepakat atas hasil pertemuan Beijing. Mereka dipersatukan oleh China. Jadi memang sedikit pola perangnya berubah.
Seberapa besar potensi China dalam menjadi mediator?
Sangat besar. Karena dia sekarang powerfull. Ingat, China itu punya ambisi mengambil alih perang super power ini dalam percaturan politik internasional karena kekuatan ekonominya dahsyat sekali.
Putaran negosiasi antara Israel dan Hamas masih terus terjadi tetapi belum ada tanda-tanda akan terjadi gencatan senjata. Itu bagaimana prospeknya?
Tadi malam saya mengontak petinggi Hamas. Dalam perjalanan pulang dari Amerika, Netanyahu katanya akan mampir. Dan di situ akan menjadi batu uji, apakah Israel mau duduk berunding atau tidak.
Kedua, yang akan menjadi batu uji ke depan adalah apakah kesepakatan Beijing akan dilaksanakan oleh Fatah, yang dipimpin Mahmoud Abbas. Salah satu kesepakatan itu kedua pihak melakukan rekonsiliasi dengan cara mewujudkan pemerintahan bersama. Selama ini pemerintahan dijalankan oleh Fatah, meskipun pada 2007 Hamas yang terpilih yakni Ismail Haniyeh. Kita akan lihat dua atau tiga minggu ke depan, apakah Fatah akan merekonsiliasi dengan Hamas.
Kita bisa melihat lagi pada konflik 2014 bahwa rekonsiliasi ini akan mengundang ketidaksetujuan dari pihak Israel dan menimbulkan konflik baru. Akankah terjadi hal serupa?
Memang, Israel ini sebenarnya senang kalau mereka tidak akur antara Hamas dan Fatah, karena kekuatannya berkurang. Dengan korban yang begitu banyak, di mana Mahmoud Abbas dikritik dari berbagai arah, saya kira akan ada upaya dari pihak Fatah untuk rekonsiliasi dengan Hamas.
Bagaimana peran Indonesia dalam konflik ini?
Saya bertemu dengan pimpinan Hamas itu sekitar lima minggu lalu di Malaysia. Lalu ditindaklanjuti pertemuan Israel dan Jusuf Kalla bersama pemimpin tertinggi Hamas itu 13 Juli kemarin di Doha. Mereka secara eksplisit meminta kami, tim dari Indonesia, untuk mediasi.
Dan sebenarnya kalau kita lihat, pada 2023 bulan Juli, saya dan Jusuf Kalla sudah siap berangkat ke Israel mau bertemu dengan Mahmod Abbas dan Benjamin Netanyahu. Tapi tiba-tiba waktu itu Abbas tidak bisa karena dia lagi ke Mesir, tertunda sampai ada gempuran Hamas pada 7 Oktober.
Jadi kita itu mengupayakan terus. Mereka memilih kita karena mereka anggap kita ini adalah negara dengan populasi muslim terbesar. Kedua, kredibilitas Jusuf Kalla. Jadi tidak ada kaitannya sebenarnya dengan status jabatan. Dan saya yang selalu mendampingi dan diminta untuk berunding.
Netanyahu masih kukuh untuk membasmi Hamas di Gaza, apakah ada kemungkinan Indonesia untuk masuk di situ?
Kemungkinan itu selalu ada. Kenapa Netanyahu bersikukuh karena inilah yang menjadi alasan untuk memenangkan pemilu berikutnya. Seolah-olah dia pahlawan melawan Palestina dan ingin membebaskan 132 tawanan yang disekap oleh Hamas. Makanya dia ingin menunjukkan bahwa dia tidak mundur sedikit pun.
Jadi kemungkinan upaya mediasi sejauh ini tidak akan tercapai sampai Netanyahu digantikan?
Iya, kebanyakan orang berpikir seperti itu.
Bagaimana harapan Anda terkait konflik ini ke depannya?
Saya hanya berharap penghentian kontak senjata terlebih dahulu. Kita benahi Gaza dulu, karena selama Gaza seperti itu, bara dendam kemarahan itu akan tetap ada.
Dunia harus ikut membantu melakukan rehabilitasi dan pembangunan ulang di Gaza agar orang yang tertindas dan menderita akibat perang ini bisa berkurang. Kalau tidak, generasi baru akan muncul lagi dan menuntut dendam.
Informasi Narasumber:
Prof Hamid Awaluddin SH LLM MA PhD
Tanggal lahir: 5 Oktober 1960
Riwayat Karir:
Saat ini: Dosen Fakultas Hukum, Departemen Hukum Internasional, Universitas Hasanuddin
2008 – 2011: Duta Besar Republik Indonesia untuk Federasi Rusia
2004 – 2007: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Pendidikan:
1986: Sarjana Hukum dari Universitas Hasanuddin, Makassar
1990: Gelar Magister Hubungan Internasional (LL.M)
1991: Magister Hukum (LL.M) dari American University, Washington D.C.
1998: Ph.D dari American University, Washington D.C.
2001: Pelatihan khusus tentang Hak Asasi Manusia dari Universitas Lund, Swedia