Terbit pada tahun 1952 dengan judul Nijushi no Hitomi, novel karangan Sakae Tsuboi ini seketika menjadi best seller dan sempat diangkat menjadi sebuah film berjudul Twenty-Four Eyes pada 1954. Novel ini menceritakan tentang kehidupan di sebuah desa kecil selama Perang Dunia II melalui kisah seorang guru dan dua belas muridnya yang berlatar di Tanjung Laut Seto, Pulau Shodo, Jepang.
Cerita dimulai pada tahun 1928, ketika Hisako Oishi, seorang guru muda yang penuh semangat tiba di sebuah desa untuk mengajar di sekolah dekat Desa Tanjung, sebuah desa nelayan yang miskin. Miss Oishi mendapatkan tugas untuk mengajar anak kelas satu dan tinggal di desa pohon pinus seberang desa. Ia harus menempuh perjalan sejauh delapan kilo meter untuk sampai di sekolah tempatnya mengajar, yang hanya memiliki dua orang guru.
Sebulan pertama mengajar di desa tersebut, Miss Oishi belum bisa mengambil hati para orangtua murid kelas satu bahkan masyarakat sekitar. Mereka menganggap Miss Oishi berpenampilan modern dan kebarat-baratan pada masa itu, menggunakan kemeja putih dan jas hitam serta mengendarai sepeda.
Paruh awal cerita ini, Miss Oishi harus menyesuaikan diri dengan kehidupan di desa dan metode pengajaran yang baru. Ia sebenarnya merupakan sosok guru inovatif dan penuh kasih sayang yang berusaha mengenal dekat keduabelas muridnya. Tidak hanya mengajarkan mata pelajaran akademik, tetapi Miss Oishi juga mengajarkan nilai-nilai kehidupan, seperti keberanian, kerja keras, dan empati.
Namun, suatu ketika terjadi badai di desa kecil tersebut yang menyebabkan banyak rumah warga desa mengalami kerusakan. Di saat yang bersamaan, Miss Oishi juga jatuh sakit sehingga tak bisa datang mengajar dan mengharuskannya beristirahat sampai berbulan-bulan. Hal ini membuat para murid kelas satu dan masyarakat merasa kehilangan. Sosok guru yang selalu ceria dan menyapa warga desa ketika melintas, kini tak terdengar lagi suara kayuhan sepedanya.
Suatu hari, salah satu murid Miss Oishi berinisiatif untuk mengunjunginya meski harus menempuh perjalanan tanpa kendaraan dan tanpa izin dari orangtua. Dengan kondisi yang tidak memungkinkan untuk mengajar kembali di Desa Tanjung, Miss Oishi dengan berat hati mengajar di sekolah utama, yakni mengajar murid kelas lima.
Seiring berjalannya waktu, tahun-tahun penuh mimpi itu perlahan-lahan digantikan oleh kenyataan hidup yang pahit dan menyakitkan. Perang mengubah segalanya dengan kejam, menghancurkan dunia kecil yang dahulu mereka kenal. Di masa ini lah suasana perang Jepang mulai terasa karena berdampak besar bagi murid sekolah dan masyarakat desa. Kehidupan semakin sulit, fasilitas pemerintah sudah tidak bisa diakses lagi. Bahkan beberapa murid terpaksa meninggalkan desa untuk melanjutkan hidup, dan berbagai masalah lainnya.
Beberapa dari mereka harus menghadapi kehilangan anggota keluarga yang gugur di medan perang. Sementara yang lain harus berjuang untuk bertahan hidup di tengah kesulitan ekonomi yang semakin parah. Anak-anak ini, bersama guru mereka, terpaksa belajar menyesuaikan diri dengan realitas baru yang ditimbulkan oleh perubahan zaman. Tragedi dan kehilangan menjadi bagian dari perjalanan hidup mereka, yang menggambarkan betapa rapuhnya masa kanak-kanak dan harapan di tengah kekejaman perang.
Melalui narasi Sakae Tsuboi, Miss Oishi perlahan dikisahkan membawa pengaruh tidak hanya dalam pengajaran akademik, tetapi juga membentuk karakter dan moral murid-muridnya. Novel ini juga menunjukkan bagaimana empati dan dukungan emosional dapat membantu individu mengatasi tantangan hidup. Miss Oishi sering kali menjadi tempat bernaung bagi murid-muridnya, memberikan dukungan secara pribadi semasa konflik berlangsung.
Menariknya, novel ini juga seolah menceritakan tentang sikap anti perang, juga sudut pandang seorang guru yang merasa ketidakadilan terjadi ketika seorang anak yang harusnya menempuh pendidikan tetapi akhirnya harus menanggung nasib hidup dan mati di medan perang. Mirip dengan kisah Totto Chan: The Little Girl in The Window, buku ini juga mencerminkan kehidupan pedesaan Jepang yang sederhana dan sempurna untuk mengeksplorasi tema-tema besar seperti pendidikan dan perubahan sosial.
Jika sobat iden mencari bacaan yang heartwarming, atau karya yang kaya akan nilai nilai kemanusiaan dan refleksi sosial, maka novel dengan tebal 248 halaman ini akan menjadi bacaan yang tepat dan membawamu ke realitas pendidikan anak-anak semasa perang dunia!
Afifah Khairunnisa