Sulawesi Selatan menjadi wilayah yang memiliki berbagai macam keunikan tradisi dan budaya. Salah satunya adalah tradisi Menreq Bola yang dapat ditemui dalam masyarakat Bugis.
Menreq bola yang berarti “naik rumah” menjadi tradisi yang dilaksanakan hampir setiap masyarakat Bugis saat memasuki rumah baru. Tradisi ini merupakan bentuk izin kepada leluhur untuk menempati ruang, serta menjadi bentuk syukur kepada sang pencipta.
Pelaksaan Menreq Bola biasanya dipimpin oleh Panrita Bola, yakni seseorang yang ahli dalam membuat rumah. Selain Panrita, pelaksanaan Menreq Bola juga dapat dipimpin oleh pemuka adat bissu dan sanro.
Tradisi ini menjadi menarik karena ritualnya yang begitu sakral. Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa alat atau artefak yang digunakan sebagai bagian dari tradisi. Hal inilah yang kemudian diteliti oleh Mahasiswi Doktor Fakultas Ilmu Budaya Unhas, Sari Hidayati.
“Selalu ada artefak-artefak yang disediakan sebagai syarat untuk naik rumah baru. Misalnya menggantungkan pisang utuh di tiang rumah, bikin kue onde-onde, dan lain sebagainya,” kata Dosen Pembimbing Sari, Prof Dr Nurhayati Rahman MHum, Senin (19/08).
Dalam disertasinya, Sari berupaya menjelaskan eksistensi tradisi Menreq Bola di Desa Corawali, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru, Sulsel. Melalui teori semiotika Barthes, ia berupaya menganalisis terkait penggunaan artefak dan makna di balik tradisi tersebut.
Beragam makna di balik penggunaan artefak
Tradisi yang telah dilaksanakan secara turun temurun ini penuh dengan makna dan simbol. Hal tersebut tergambar dalam setiap artefak yang digunakan. Artefak dapat berupa alat, kuliner, buah-buahan, dan ramuan yang disajikan selama tradisi berlangsung.
Onde-onde adalah salah satunya. Makanan berbentuk bola yang terbuat dari beras ketan ini memiliki dua makna, yakni harapan kesuksesan dan lambang kasih sayang atau hubungan yang harmonis dalam keluarga.
Dari teknik memasaknya, pesan yang hendak disampaikan yakni “naik ke permukaan”. Baik digoreng maupun direbus, onde-onde selalu mengapung. Dengan dihidangkannya kue ini dalam tradisi Menreq Bola, maka tersimpan harapan akan “naik ke permukaan” yang berarti kesuksesan dan kesejahteraan bagi pemilik rumah.
“Banyak penganan yang harus disiapkan seperti kue-kue. Dan makanan tersebut adalah simbol dari doa,” kata Nurhayati.
Selain onde-onde, masih banyak kuliner lainnya yang turut dihidangkan, seperti beddaq, gilling killing, dokoq-dokoq cangkuling, beppa otoq, dan lapisiq. Semuanya memiliki makna dan pengharapan tersendiri, yakni harapan kesuksesan, kesejahteraan dan kebahagiaan, kedermawanan, penerimaan sosial, pemujaan terhadap alam, dan simbol peningkatan status sosial.
Menurut kepercayaan Bugis, terjalin hubungan timbal balik antara manusia dan roh nenek moyang. Jika manusia memberikan penghormatan yang semestinya melalui makanan, maka roh nenek moyang akan memberikan perlindungan. Sebaliknya, jika penghormatan diabaikan, keseimbangan ini akan terganggu dan dapat berakibat buruk bagi manusia.
Kepercayaan masyarakat Bugis tidak hanya terbatas pada benda-benda pangan dan non pangan dalam tradisi Menreq Bola. Percikan air Passili’ juga ikut melengkapai pelaksanaan ritual.
Air Passili’ dikenal sebagai air yang suci seperti air surgawi yang telah dibacakan mantra oleh Panrita Bola. Menurut kepercayaan Bugis, air passili’ digunakan untuk mencegah gangguan ghaib atau membersihkan roh jahat yang terdapat di rumah baru.
“Ini selaras dengan hakikat air yang berfungsi untuk mensucikan. Jadi, air itu akan dipercikkan di setiap sudut rumah oleh sanro,” jelasnya.
Tidak hanya artefak, tata cara pelaksanaan tradisi ini juga menyimpan maknanya sendiri. Pelaksanaan ritual Menreq Bola yang dilakukan sebanyak tiga kali diyakini menjadi simbol dari tiga tingkatan dunia. Tingkatan tersebut yaitu dunia atas, dunia tengah, dunia bawah.
Dunia atas dihuni para dewa. Sementara dunia bawah dihuni para dewi. Para dewa dan dewi kemudian menikah dan melahirkan manusia di dunia tengah.
Pelaksanaan ritual hanya diperuntukkan untuk rumah panggung yang menjadi ciri khas suku Bugis. Untuk rumah batu yang dianggap sebagai rumah modern, maka seluruh persyaratannya berbeda. Pemilik rumah hanya perlu melaksanakan barzanji. Namun, mereka tetap harus menyediakan artefak sebagai representasi kebaikan oleh masyarakat Bugis.
Tantangan pelaksanaan tradisi
Dalam pelaksanaan Menreq Bola, tradisi ini juga menghadapi tantangan. Seseorang yang memiliki sifat keislaman yang fanatik cenderung menolak tradisi ini. Mereka menganggap hal yang dilakukan oleh masyarakat Bugis, tetapi tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW tergolong dalam kategori haram dan musyrik.
Padahal dalam prosesnya, Islam maupun tradisi lokal tersebut telah mengalami proses sinkretisme atau penyatuan. Saat masyarakat Bugis belum mengenal agama Islam, seluruh artefak merupakan persembahan kepada para dewa. Gelombang Islamisasi mengubah tujuan dari tradisi tersebut.
“Setelah proses Islamisasi oleh para ulama, seluruh artefak dalam ritual itu menjadi representasi doa,” ujar dosen pembimbing mahasiswa pascasarjana itu.
Nurhayati berharap, dengan adanya penelitian ini, maka budaya tersebut dapat tetap bertahan di tengah dunia yang semakin modern. Tradisi menjadi warisan leluhur yang perlu dijaga dan dilestarikan. Selain itu, tradisi ini dapat menjadi motivasi untuk memanfaatkan potensi lokal dalam pengelolaan artefak.
“Seperti mengolah sumber daya lokal menjadi artefak dalam mendukung kesehatan manusia, misalnya mengolah ikan, sayur-sayuran, dan buah-buahan,” tutupnya.
Ismail Basri