Saat ini, kondisi dunia yang kita kenal telah mengalami transformasi yang sangat pesat. Dalam seratus tahun terakhir, teknologi berkembang tanpa bisa kita bendung. Berbagai penemuan-penemuan baru dan inovatif terus ditemukan setiap tahun, untuk kemudian diperbaharui dan ditingkatkan lagi di tahun-tahun berikutnya.
Perlahan-lahan, akses menuju informasi dan komunikasi menjadi kian mudah. Dunia yang dahulu dipisahkan oleh kondisi geografis dan batas teritorial antar negara kini terhubung dalam satu jaringan raksasa yang kita sebut sebagai globalisasi.
Dengan munculnya fenomena globalisasi yang menghubungkan manusia di seluruh penjuru dunia, membuat interaksi antar individu menjadi sangat mudah dilakukan. Pertukaran budaya maupun masuknya budaya-budaya asing ke dalam suatu negara tertentu menjadi hal yang tidak terelakkan bagi kehidupan sosial-budaya manusia modern saat ini.
Tidak hanya itu, globalisasi juga turut mengintegrasikan pasar global, menghilangkan hambatan serta meningkatkan kompetisi dalam perdagangan internasional. Hal ini tentu telah membangkitkan banyak sektor industri di berbagai belahan dunia.
Sayangnya, konsumsi barang dan permintaan bahan baku global yang tiap hari terus meningkat memaksa manusia harus mengeruk lebih banyak sumber daya alam yang terbatas jumlahnya. Tanpa kita sadari, kerusakan lingkungan mulai terjadi di sekitar kita tanpa bisa kita cegah.
Banyak spesies hewan dan tumbuhan yang menjadi terancam punah karena kerusakan habitat alaminya akibat campur tangan manusia. Namun, bukan hanya bumi kita saja yang terkena dampaknya, melainkan juga manusia, pihak yang justru paling bertanggung jawab atas krisis lingkungan dan perubahan iklim yang terjadi di planet ini.
Hal yang lebih ironis ialah fakta bahwa terjadi ketidakadilan dalam tindakan mitigasi dan adaptasi iklim yang tengah terjadi pada masyarakat global. Beberapa negara yang meraup banyak keuntungan dari hasil eksploitasi sumber daya alam memiliki penanganan mitigasi yang baik.
Sedangkan, banyak negara terbelakang maupun kelompok masyarakat miskin dan minoritas justru menderita dampak dari perubahan iklim yang bukan hasil perbuatan mereka. Ketidakadilan ini di kemudian hari lantas melahirkan konsep “Climate Justice”. Sebuah upaya untuk memastikan bahwa dampak perubahan iklim dan tindakan mitigasi iklim yang terjadi didistribusikan secara adil di seluruh masyarakat global.
Gerakan climate justice menjadi penting untuk disoroti karena melihat kondisi planet kita yang kian mengkhawatirkan. Menurut laporan terakhir dari IPCC (The Intergovernmental Panel on Climate Change) bulan Maret 2023, pemerintah harus dengan tegas segera mengurangi emisi karbondioksida di atmosfer yang menjadi penyebab utama perubahan iklim di planet ini.
Bahkan jika perlu, mempercepat transisi menuju energi hijau atau terbarukan. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres bahkan memperingatkan perubahan iklim saat ini sebagai bom waktu iklim yang terus berdetak. Ia juga mendesak kepada negara negara maju untuk berkomitmen memangkas emisi seminimal mungkin.
Salah satu poin utama yang bisa kita sorot dari konsep climate justice adalah terjadinya ketimpangan antar negara dalam konteks penanganan perubahan iklim. Negara-negara maju yang mengambil andil sebagai produsen emisi terbesar dunia memiliki sistem mitigasi dan penanganan perubahan iklim yang baik.
Bahkan banyak dari negara-negara tersebut berada dalam wilayah yang tidak begitu terkena efek perubahan iklim yang signifikan. Namun, dampak yang dihasilkan dari emisi tersebut tetap saja menghantam seluruh dunia. Termasuk negara-negara berkembang yang memproduksi jauh lebih sedikit emisi dan tidak memiliki sistem mitigasi yang memadai.
Climate justice menuntut agar negara-negara atau korporat yang menjadi penghasil karbon dengan pendapatan tinggi tersebut untuk mengambil tanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan perubahan iklim yang mereka buat.
Dan juga memberi bantuan kepada negara-negara berpendapatan rendah maupun kelompok masyarakat rentan yang menjadi korban perubahan iklim yang paling parah, seperti transfer teknologi, bantuan keuangan, dan kerja sama internasional untuk memerangi perubahan iklim.
Selanjutnya, climate justice juga menaruh perhatian besar terhadap nasib generasi penerus kita mendatang. Fakta bahwa bumi yang kita tinggali saat ini kelak pasti akan kita wariskan pada anak dan cucu kita nanti. Namun, mewariskan dunia yang tengah sekarat tentu akan menjadi sebuah ketidakadilan bagi generasi mendatang.
Bagaimana mungkin kita mengalihkan tanggung jawab kita dalam menjaga lingkungan kepada generasi berikutnya. Serta membiarkan mereka menanggung dampak perubahan iklim yang merupakan dosa orang tua dan kakek-nenek mereka.
Muhammad Fadhel Basri
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Unhas
angkatan 2022