Fluktuasi harga jagung masih menjadi tantangan utama bagi industri pakan ternak di Indonesia. Hal itulah yang diungkapkan oleh Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) yang diwakili oleh Ketua PT New Hope Indonesia, Tevi Melviana, dalam International Conference Phinisi X 2024, Sabtu (14/09).
Dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak (Humanika) Unhas ini, Tevi mengatakan bahwa fluktuasi harga jagung secara signifikan mempengaruhi biaya produksi dan harga jual produk akhir. Ia mengungkap bahwa 85 persen biaya produksi pakan ternak berasal dari jagung.
Ketergantungan yang tinggi pada jagung membuat industri sangat rentan terhadap perubahan harga komoditas tersebut. Salah satu faktor yang menyebabkan fluktuasi harga jagung antara lain cuaca ekstrem.
“Ketika terjadi musim kemarau panjang atau musim hujan yang ekstrem, produksi jagung akan terganggu dan berdampak pada ketersediaan serta harga jagung di pasaran,” jelas Tevi.
Selain faktor cuaca, kebijakan pemerintah terkait impor jagung juga turut mempengaruhi harga. Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan produksi jagung dalam negeri melalui program swasembada jagung. Namun, upaya ini masih menghadapi sejumlah kendala, seperti rendahnya produktivitas petani jagung dan terbatasnya infrastruktur pendukung.
“Meskipun pemerintah telah berupaya meningkatkan produksi jagung dalam negeri, namun kita masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan industri,” tambahnya.
Situasi tantangan yang akan dihadapi Indonesia saat ini adalah ketersediaan bahan pakan yang semakin sulit. Sebab, semua bahan tersebut digunakan sebagai kebutuhan makanan manusia, pakan ternak, dan juga bahan bakar. Hal ini kemudian memicu persaingan.
“Jadi masukan kepada pemerintah, alangkah baiknya stok jagung juga mempunyai gudang seperti beras agar bahan pakan bisa dioptimalkan,” tutup Tevi penuh harap.
Afifah Khairunnisa