Inklusivitas dalam lingkungan akademik merupakan konsep yang semakin mendapatkan perhatian berbagai perguruan tinggi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Data survei terbaru memberikan gambaran yang lebih konkret tentang situasi inklusivitas pada lingkungan akademik di Indonesia.
Menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 2023, ditemukan bahwa meskipun ada peningkatan kesadaran mengenai pentingnya inklusivitas, masih terdapat sejumlah tantangan signifikan yang dihadapi oleh berbagai kelompok minoritas di kampus.
Sebagai contoh, survei tersebut menunjukkan bahwa sekitar 43 persen mahasiswa dengan disabilitas melaporkan mengalami diskriminasi atau kurangnya aksesibilitas di lingkungan akademik.
Lebih jauh lagi, survei dari International Journal of Sociology of Education pada tahun 2024 menemukan bahwa kesenjangan antara kebijakan inklusif dan implementasinya di lapangan masih cukup lebar. Meskipun banyak universitas telah mengadopsi kebijakan inklusif secara resmi, tetapi dalam praktiknya, hanya sekitar 50 persen dari responden yang merasa bahwa kebijakan tersebut benar-benar diimplementasikan dengan efektif.
Hal ini menunjukkan bahwa masih ada pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa kebijakan inklusif benar-benar diterapkan dan dirasakan oleh seluruh anggota komunitas kampus.
Dalam upaya menciptakan lingkungan akademik yang adil dan setara, inklusivitas menjadi salah satu pilar utama yang harus diperjuangkan. Inklusivitas tidak hanya berfungsi sebagai simbol keberagaman, tetapi juga sebagai cerminan dari komitmen institusi pendidikan terhadap keadilan sosial dan kesetaraan.
Kampus yang inklusif adalah kampus yang mampu menciptakan lingkungan di mana semua individu, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, budaya, agama, gender, atau kemampuan, merasa diterima dan dihargai.
Dari sudut pandang sosiologi, inklusivitas tidak hanya dilihat sebagai kebijakan administratif atau sekadar upaya untuk memenuhi kuota keberagaman, tetapi upaya untuk mengubah struktur sosial yang ada di lingkungan akademik.
Teori Konflik, misalnya, mengajukan bahwa ketidaksetaraan dan diskriminasi dalam sistem pendidikan seringkali mencerminkan dan memperkuat struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Melalui lensa teori ini, kampus yang tidak inklusif dapat dilihat sebagai cerminan dari ketidaksetaraan sosial yang lebih luas di luar kampus.
Oleh karena itu, untuk menciptakan kampus yang benar-benar inklusif, diperlukan upaya untuk mengatasi ketidaksetaraan ini dengan menciptakan struktur dan budaya kampus yang mendukung keadilan sosial.
Teori Interaksi Simbolik juga memberikan kontribusi penting dalam memahami inklusivitas di lingkungan akademik. Teori ini menekankan pentingnya interaksi sehari-hari dalam membentuk identitas individu dan kelompok. Dalam konteks kampus, interaksi antara mahasiswa, dosen, dan staf administratif memainkan peran penting dalam menciptakan lingkungan yang inklusif.
Setiap tindakan, bahasa, dan simbol yang digunakan dalam interaksi ini dapat berkontribusi pada rasa inklusif atau eksklusif. Dengan demikian, teori ini menekankan pentingnya komunikasi yang inklusif dan sensitif terhadap keberagaman.
Salah satu tantangan utama dalam mewujudkan kampus inklusif adalah mengatasi prasangka dan stereotip yang masih ada di kalangan mahasiswa, dosen, dan staf. Prasangka ini sering kali tidak disadari dan dapat memengaruhi interaksi sehari-hari serta keputusan yang diambil oleh individu di lingkungan akademik.
Selain itu, tantangan lainnya adalah menciptakan akses yang merata bagi semua individu. Ini mencakup aksesibilitas fisik bagi mahasiswa dengan disabilitas, akses ke sumber daya pendidikan yang adil bagi mahasiswa dari latar belakang ekonomi yang berbeda, serta akses ke dukungan psikologis dan sosial bagi mahasiswa yang mungkin mengalami marginalisasi.
Pendekatan sosiologis menekankan pentingnya memahami kebutuhan spesifik dari setiap kelompok dan merancang kebijakan serta program yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut secara efektif.
Namun demikian, ada peluang besar untuk menciptakan perubahan positif. Salah satu cara untuk memanfaatkan peluang ini adalah melalui penguatan komunitas dan solidaritas di kalangan mahasiswa. Gerakan mahasiswa dapat memainkan peran penting dalam mendorong perubahan budaya di kampus dengan beberapa pendekatan strategis.
Pertama, mahasiswa dapat membangun aliansi dan kemitraan dengan berbagai kelompok dan organisasi di kampus yang memiliki visi serupa. Melalui kolaborasi ini, mereka dapat memperluas jangkauan dan dampak inisiatif inklusif, menciptakan platform yang lebih luas untuk suara-suara yang sering terpinggirkan.
Kedua, advokasi yang efektif sangat penting dalam mendukung perubahan ini. Mahasiswa dapat menyusun dan menyampaikan petisi, menyelenggarakan forum diskusi, dan melibatkan pihak-pihak terkait dalam dialog konstruktif. Dengan pendekatan ini, mereka dapat meningkatkan kesadaran tentang isu-isu inklusif di kalangan komunitas kampus dan menekan pihak pengelola kampus untuk menerapkan kebijakan yang lebih adil dan mendukung.
Ketiga, pengembangan program-program pelatihan dan workshop tentang kesadaran budaya, keragaman, dan inklusi dapat menjadi alat yang efektif dalam mengedukasi mahasiswa dan staf. Program-program ini tidak hanya memperluas pemahaman tentang berbagai identitas dan pengalaman, tetapi juga mendorong tindakan konkret untuk menciptakan lingkungan yang lebih ramah dan mendukung.
Melalui strategi-strategi ini, mahasiswa tidak hanya berperan sebagai pengamat, tetapi sebagai agen perubahan aktif yang berkontribusi pada pembangunan kampus yang lebih inklusif. Dengan tekad dan kolaborasi, mereka memiliki kemampuan untuk mengubah kultur kampus, mengatasi kesenjangan sosial, dan menciptakan lingkungan akademik yang lebih adil dan merata.
Andi Nurlela
Dosen Departemen Sosiologi FISIP Unhas