Global Development Learning Network atau biasa disebut GDLN merupakan sebuah pusat pembelajaran yang memiliki fasilitas sistem teknologi informasi dan komunikasi dan inilah yang digunakan Universitas Hasanuddin (Unhas) dahulu untuk menggunakan video conference. GDLN Unhas yang dibentuk bersama Bank Dunia dan jaringan ini bergabung dengan beberapa perguruan tinggi di Indonesia.
Keberadaan GDLN ini bermanfaat untuk menjangkau video conference ke belahan dunia. Tapi, kurangnya informasi keberadaan fasilitas ini menjadi penyebab kurangnya pemanfaatan oleh civitas academica Unhas. GDLN ini berada di lantai tiga gedung Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) yang kini dihuni oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LP2M).
GDLN dibentuk agar civitas academica Unhas dapat berbagi pengetahuan dengan seluruh institusi dari berbagai belahan dunia. GDLN merupakan hibah dari DIKTI. Hal tersebut membuat Unhas adalah satu-satunya kampus di Timur Indonesia yang memiliki fasilitas canggih pada masanya.
Dengan teknologi telekonferensi, civitas academica Unhas dapat bertukar sapa dan berdiskusi dengan siapa saja di berbagai penjuru tanpa hadir di tempat konferensi, di jaman itu adalah suatu kemajuan. GDLN ini bisa dinikmati oleh civitas academica pada 2009.
Unhas dilaporkan pada 2008 lalu hanya dilengkapi dengan IP INHERNET (Internet Protocol International Higher Education Networking) yang berskala nasional, sedangkan untuk GDLN dapat menjangkau ke seluruh penjuru dunia. Fasilitas itu hanya terdapat di empat universitas di Indonesia, seperti di Universitas Indonesia Jakarta (UI), Universitas Hasanuddin Makassar (Unhas), Universitas Riau (Unri), dan Universitas Udayana (Unud).
Identitas melaporkan daftar telekonferensi yang dilakukan dalam dua bulan terakhir yang cenderung menurun. Pada 31 Juli 2009 tercatat 12 orang peserta yang memakai GDLN. Kemudian, pada 15 September 2009 hanya dua orang saja yang menggunakan fasilitas tersebut, pembahasan saat itu adalah Sosialisasi Olimpiade Sains Nasional Perguruan Tinggi 2009.
Beberapa mahasiswa kala itu mengakui kepada identitas soal ketidaktahuannya keberadaan GDLN. Finar, Mahasiswi Perikanan 2005 mengetahui fasilitas ketika berkuliah di ruangan itu. “Saya tahu adanya GDLN ini karena pernah berkuliah di ruangan tersebut, tapi tidak pernah memakainya,” ungkapnya. Tak berbeda jauh dengan Mahasiswa Teknik Sipil 2007, Madi bahkan tidak mengetahui keberadaan GDLN tersebut.
Setali tiga uang, beberapa dosen juga kurang mengetahui keberadaan GDLN. Kurang optimalnya informasi keberadaan GDLN hampir membuat Bank Dunia menarik kembali peralatan video conference di gedung itu akibat kurangnya partisipasi atau aktivitas di GDLN.
Staf Pendukung GDLN kala itu, Andi Dirpan mengungkapkan ketidaktahuannya terhadap mahasiswa yang tidak mengetahui fasilitas tersebut. “Padahal mahasiswa dapat mengikuti seminar nasional dan internasional secara gratis dan mendapat sertifikat yang akan membantu kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa,” tambahnya.
Prosedur penggunaan GDLN sangat sederhana. Civitas academica yang hendak menggunakan telekonferensi cukup mengirimkan surat kepada Direktur GDLN, baik secara pribadi atau kelompok. Setelah itu akan diproses paling lambat dua hari, satu hari sebelumnya dilakukan pemeriksaan koneksi.
Seminar diadakan sebanyak tiga kali sepekan dengan tema yang berbeda di setiap pekannya untuk menggaet civitas academica Unhas lebih dekat dengan GDLN. Jadwal seminar kala itu dapat di akses di website www.unhas.ac.id/gdln (catatan redaksi: tautan sudah tidak aktif). GDLN ini juga dapat digunakan pihak luar Unhas.
Kurangnya penggunaan media massa saat itu, informasi mengenai GDLN ini umumnya tersebar melalui para dekan fakultas, alias mulut ke mulut atau semisalnya. Ketika ada telekonferensi baru dipromosikan melalui koran-koran, website, dan selebaran brosur yang disebar dengan masif.
Fasilitas yang menjadi hak seakan diabaikan oleh mahasiswa saat itu hingga eksistensinya hilang. Andi Dirpan pun berharap fasilitas itu dapat dimanfaatkan dengan baik oleh mahasiswa dan dosen.
Antara manfaat dari penggunaan GDLN, di antaranya: menghemat biaya perjalanan hingga penginapan dan ilmu tambahan yang didapatkan dari pemateri luar negeri. Kendala partisipan fasilitas tersebut pun membayangi nasib GDLN. Unhas mengambil langkah dengan menyebarkan informasi melalui website, pamflet yang ditempel di papan informasi dan menyebarkan surat ke tiap fakultas. Selain itu, dilakukan pendekatan secara personal dengan mahasiswa/dosen agar mengikuti konferensi.
Gangguan koneksi tak dapat dihindari dalam penggunaannya, sehingga gambar dan suara kurang maksimal. Kontrak GDLN antara Unhas dengan Bank Dunia telah habis pada 2008, sehingga Unhas pun menyewa ke pihak luar untuk penggunaan peralatannya. Kantong pun dirogoh dalam-dalam, biaya yang dikeluarkan untuk menyewa peralatan konferensi minimal satu juta rupiah per jam untuk sekali konferensi. Unhas memiliki dua lokasi GDLN, yaitu di Fakultas Ekonomi dan Bisnis dan Pusat Kegiatan Penelitian.
Dengan perkembangan teknologi sekarang ini, mahasiswa sudah menggunakan aplikasi video conference yang dapat digunakan di mana saja.
Penambahan IP Publik pada fasilitas GDLN kala itu merupakan sebuah kemajuan besar bagi Unhas. Namun, perubahan zaman adalah keniscayaan, GDLN Unhas pun kini telah tiada. Tren video conference meningkat seiring kebutuhan perkuliahan jarak jauh sejak pandemi Covid-19. Perkembangan tersebut dengan perlahan menggerus keberadaan GDLN yang terbilang maju pada zamannya.
Sekarang, di manakah GDLN yang sempat berjaya pada masanya itu?
Aliyah Fadhilah