Ujian akhir menanti, persiapan tidak hanya sebatas menguasai materi. Aspek finansial berperan penting dalam memastikan berjalannya proses ujian akhir. Sejumlah rangkaian untuk penyelesaian studi seperti ujian akhir, hingga yudisium membutuhkan biaya yang tidak main-main untuk administrasi dan lainnya.
Bukan hal baru bila persoalan konsumsi penguji, pembimbing serta peserta menjadi perhatian. Walaupun tidak disebutkan dalam Peraturan Akademik mengenai penyediaan konsumsi, namun keluhan uang saat ujian akhir selalu menjadi lagu lama. Biaya yang digelontorkan itu bisa berkisar puluhan hingga ratusan ribu rupiah. “Yang pasti tidak sedikit,” ujar Sumarni mahasiswa Peternakan angkatan 2000.
Identitas melaporkan pada awal November 2004, penerapan biaya ujian di setiap fakultas sangat beragam. Fakultas Sastra pernah memberlakukan pembayaran sekitar Rp 60 ribu setiap mahasiswa. “Kebijakan Fakultas (Sastra) ini agak memberatkan. Tapi apa mau dikata, ini karena tidak ada anggaran dana dari fakultas untuk pelaksanaan ujian meja,” ujar Drs Arifin Usman MHum sebagai Ketua Program D3 Bahasa dan Pariwisata kala itu.
Pungutan yang dilakukan saat mahasiswa ujian akhir ini untuk membiayai hasil cetak tugas-tugas serta perbaikan Liquid Crystal Display (LCD). Hal demikian dilakukan karena tidak adanya biaya dari fakultas untuk kepentingan administrasi saat ujian akhir.
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.06/2007 mengenai Penatausahaan Barang Milik Negara, alat tulis kantor, kertas dan sampul, bahan cetak, komputer dan alat listrik ialah barang milik yang disediakan untuk kepentingan negara. Sehingga alat-alat tersebut ditanggung oleh negara.
Dalam buku Kumpulan Surat Keputusan Rektor Unhas disebutkan syarat untuk ujian akhir antara lain mahasiswa bersangkutan telah mengumpulkan tugas akhir seminar hasil dan persyaratan lainnya. Pasal 7 sampai 11 Peraturan Tata Tertib dan Akademik Unhas telah mengatur ketentuan ujian akhir dan tutup strata.
Senada dengan itu, Wakil Dekan I Bidang Akademik Fakultas Teknik pada saat itu Dr Eng Muh Ramly turut mengatakan bahwa ketegasan dan kejelasan mengenai ujian akhir sendiri telah tertuang dalam peraturan yang disahkan oleh Rektor dan semua fakultas akan melaksanakan sesuai yang tercantum dan diatur oleh kebijakan tersebut.
Identitas awal Mei 2015 kembali melaporkan, dari 14 fakultas yang ada di Unhas ternyata beberapa jurusan di Fakultas Teknik (FT) memberlakukan pungutan biaya bagi mahasiswa yang ingin melakukan ujian akhir. Setiap mata kuliah yang ingin ditutup strata dikenakan biaya 300 ribu rupiah. “Jumlah maksimal SKS yang saya tutup 9 SKS dan saya bayar 300 ribu per mata kuliah, ” ungkap Faisal, mahasiswa Teknik Perkapalan kala itu.
Peraturan Presiden RI No 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) lahir sebagai jawaban dan upaya pemberantasan pungli secara tegas dan terpadu. Unhas pun merespon dengan melayangkan Surat Edaran (SE) yang berisi imbauan, di antaranya adalah kepada para pejabat agar melakukan langkah-langkah pencegahan dan penindakan pungutan liar dalam pelaksanaan tugas maupun pemberian layanan di lingkungan Unhas. Larangan mahasiswa membayar dan membagikan bingkisan pada setiap tahapan penyelesaian studi juga disebutkan dalam SE itu.
Tidak hanya SE saja yang dilayangkan. Pada awal Januari 2017, identitas mencatat Tim Saber Pungli Unhas dibentuk melalui keputusan Rektor pada masanya, Prof Dwia Aries Tina Pulubuhu. Sekretaris Universitas saat itu, Prof Dr Ir Nasruddin Salam MT mengetuai Tim Saber Pungli Unhas itu untuk pertama kalinya.
Dalam beberapa kasus, mahasiswa menganggap pungli adalah wajar dan mahasiswa akan mengusahakan untuk membayar biaya tersebut agar tidak menunda proses ujian akhir. Bagi mahasiswa dengan ekonomi kelas atas, itu hanyalah embel-embel semata. Namun bagi kalangan ekonomi kurang mujur, pengurusan administrasi dan akademik menjadi direpotkan.
Lalu, apakah sobat iden menganggap pungutan untuk ujian akhir sebagai pungutan liar atau memang sebagai bentuk pelayanan administrasi akademik?
Nurul Fitrah