Kisah utamanya berkisar pada pembunuhan enam petinggi Tentara Nasional Indonesia pada 30 September 1965. Dalam film ini, Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai pelaku peristiwa tersebut. Dengan demikian, film ini turut melegitimasi perburuan dan pembunuhan ribuan anggota PKI pada tahun-tahun berikutnya.
Film ini telah mendikte bagaimana peristiwa tersebut dipersepsikan oleh masyarakat Indonesia selama lebih dari 30 tahun. Meskipun terus berkembangnya penafsiran yang menentang ideologi yang disajikan dalam film tersebut, kepercayaan yang mengakar telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Dengan demikian, mayoritas masyarakat Indonesia masih mengambil posisi dominan-hegemonik terhadap film ini dengan meyakini secara kuat bahwa ancaman PKI adalah sesuatu yang perlu ditakuti dan dihentikan.
Dalam kasus ini, mitos yang ingin disampaikan produser kepada penonton adalah bahwa PKI dan elemen atau sub-kelompok afiliasinya adalah orang-orang berbahaya yang mengganggu stabilitas Indonesia. Akibatnya, mayoritas masyarakat Indonesia mengecam politik sayap kiri hingga saat ini.
Pertama-tama, saya akan membahas genre film tersebut. Film “Pengkhianatan G 30 S/PKI” diklasifikasikan ke dalam setidaknya empat genre, yaitu: (1) dokumenter sejarah, genre ini diklasifikasikan oleh Orde Baru, (2) drama, (3) horor, dan (4) propaganda ketiga genre ini diklasifikasikan oleh penonton, terutama mereka yang tidak setuju dengan Orde Baru. Berdasarkan genre-genre yang disebutkan di atas, kita dapat melihat bahwa ketiganya tidak saling cocok.
Dokumenter sejarah
Pilihan ini penting, terutama karena berhasil membangun kesamaan di antara orang Indonesia sebagai bangsa yang dibayangkan, memiliki sejarah yang sama. Dengan demikian, pemilihan genre ini membantu Orde Baru membangun hubungan dengan warga negara Indonesia, pemirsa utamanya. Hubungan yang terjalin ini adalah tujuan intertekstual yang diinginkan oleh Orde Baru.
Dalam film ini, anggota PKI digambarkan sebagai orang yang haus darah dan kejam. Sebaliknya, pemerintah Indonesia digambarkan sebagai orang yang adil dan benar. Misalnya, adegan pembuka film tersebut menggambarkan anggota PKI menyerang orang-orang yang sedang salat subuh di masjid. Mereka membunuh imam (orang yang memimpin salat berjamaah) dan merobek Al-Quran dengan sabit.
Hal ini menyebabkan terbentuknya ketakutan yang mengakar bahwa PKI adalah musuh bersama bagi semua penganut agama di Indonesia.
Film dalam genre dokumenter sejarah mengacu pada peristiwa nyata yang terjadi di masa lalu, dan idealnya harus menggambarkan peristiwa tersebut dengan semua fakta yang dipilah agar memperoleh replika akurat tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Akan tetapi, alur cerita Pengkhianatan G30S/PKI jelas memperlihatkan proses misrepresentasi terhadap PKI dengan mendramatisasi dan mengamplifikasi aspek-aspek tertentu yang terkait dengan “kebrutalan” mereka, dan sekaligus menonjolkan reaksi pemerintah terhadap mereka.
Drama
Genre ini merupakan pendekatan yang bertentangan dengan definisi Orde Baru tentang genre film. Film drama biasanya memiliki tingkat lebayan tertentu untuk menonjolkan cerita atau bagian tertentu dari suatu peristiwa. Fakta ini terlihat jelas dalam film tersebut.
Fakta yang paling kentara adalah film tersebut mengklaim bahwa semua korban disiksa oleh segerombolan anggota PKI sebelum akhirnya ditembak mati. Kenyataannya, tidak ada satu pun jenderal yang disiksa; mereka langsung ditembak mati. Gambaran yang dilebih-lebihkan ini merupakan senjata psikologis yang ampuh yang berhasil membantu penonton membangun rasa takut terhadap PKI dengan demikian, mendukung pembacaan yang disukai produser.
Horor
Genre ini menjadi perspektif yang kontras untuk memahami nilai produksi film ini. Dibandingkan dengan film dokumenter sejarah yang harus menjunjung tinggi objektivitas dan beroperasi berdasarkan skenario berdasarkan fakta, film dalam genre horor dan drama dapat bersifat fiktif dan dilebih-lebihkan.
Film ini tergolong dalam genre ini karena beberapa unsurnya, seperti: (1) musik pengiringnya yang menyeramkan, (2) suasana gelap yang dibangun lewat pencahayaan dan pewarnaan, (3) adegan-adegan berdarah yang kerap dihadirkan sepanjang film, dan (4) latar lokasi yang bertempat di hutan-hutan dan tempat-tempat tua yang dijarah. Selain itu, teriakan dan suara tembakan juga mendominasi dalam film tersebut.
Film Pengkhianatan G30S/PKI dipuji memiliki nilai produksi yang sangat baik. Anehnya, mengingat biaya pembuatan film sebesar 800 juta rupiah (sekitar SGD 80.337) berasal dari pengeluaran pemerintah.
Propaganda Politik
Genre terakhir muncul setelah pembacaan balik mulai menunjukkan keanehan film ini. Kesadaran bahwa Pengkhianatan G 30 S/PKI adalah propaganda berarti ada beberapa penonton yang mulai menentang pembacaan yang disukai produser. Singkatnya, genre “dokumenter sejarah” yang dipilih menggarisbawahi fakta bahwa film ini sangat generik untuk membangun hubungan dengan penonton.
Akan tetapi, genre itu sendiri tidak menjamin keberhasilan film ini sebagai propaganda politik. Pemerintah memastikan bahwa seluruh masyarakat Indonesia mengetahui film ini, dan lebih khusus lagi, mengetahui representasi yang digambarkan dalam film tersebut.
Awalnya, film ini sendiri tidak dirilis melalui saluran komersial karena sifatnya yang sadis. Sebagai gantinya, pemerintah memerintahkan film tersebut untuk ditayangkan di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah. Penayangan tersebut bersifat wajib, dan lembaga-lembaga yang tidak melakukannya akan dikenai sanksi.
Beberapa tahun kemudian, film ini akan diputar setiap tahun sekitar tanggal 30 September melalui saluran TV swasta dan publik. Film ini dijuluki sebagai film Indonesia yang paling banyak disiarkan dan paling banyak ditonton sepanjang sejarah negara ini.
Penulis: Martunas Dosniroha Munthe
Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas,
Angkatan 2021