Masalah air limbah di Indonesia menjadi salah satu permasalahan yang serius. Kebiasaan masyarakat yang masih membuang sampah domestiknya berupa limbah padat dan cair secara langsung tanpa pengelolaan menimbulkan ancaman bagi lingkungan sekitar.
Data yang diunggah oleh Katadata pada 2021 menunjukkan betapa minimnya kapasitas masyarakat dalam pengelolaan limbah air domestik. Sebanyak 57 persen rumah tangga membuang air limbah ke selokan dan sungai. Sementara hanya 1 persen rumah tangga yang membuangnya ke Industri Pengelolaan Air Limbah (IPAL).
Air limbah rumah tangga sendiri merupakan limbah yang berbentuk cair dan berisiko mencemari tanah. Selain itu, limbah air domestik juga dapat merusak ekosistem air, mencemari sumber air masyarakat, menimbulkan penyakit, hingga konsekuensi lingkungan lainnya.
Pulau Kodingareng yang terletak di Makassar, Sulawesi Selatan, juga tengah menghadapi permasalah limbah domestik. Penghuni pulau itu mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Di wilayah itu pula, pengelolaan limbah belum berjalan dengan baik.
Dengan berbagai permasalahan tersebut, kepedulian masyarakat dalam pengelolaan air limbah kini sangat dibutuhkan. Permasalahan yang sedemikian kompleksnya itu jugalah yang menjadi alasan bagi mahasiswa Kesehatan Lingkungan Universitas Hasanuddin, Nurlia Sila, untuk mengangkat penelitian terkait bakteri pengurai bahan pencemar organik pada air limbah domestik di Pulau Kodingareng.
Temuan bakteri pengurai limbah
Penelitian Nurlia difokuskan pada pengidentifikasian bakteri pengurai bahan pencemar organik pada air limbah di pulau Kodingareng. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif observasional dengan analisis deskriptif dari sampel air limbah domestik di enam RW.
Temperatur di enam RW tersebut memungkinkan munculnya bakteri pengurai limbah domestik. Keasaman dan dan temperatur yang berbeda-beda membuat keberadaan bakteri pada setiap titik sangat variatif. RW 1 dan RW 2 mempunyai pH yang lebih asam.
Adapun bakteri yang teridentifikasi yaitu Escherichia coli, Acinetobacter lwoffii, Acinetobacter haemolyticus, Proteus mirabilis, dan Pseudomonas sp. Bahan pencemar organik yang terdiri atas protein, lemak, dan karbohidrat memerlukan penguraian oleh mikroorganisme yang menghasilkan enzim. Enzim tersebut akan mendegradasi bahan pencemar menjadi senyawa yang lebih sederhana.
Di limbah domestik, terdapat cemaran atau mikroba yang merugikan manusia. Cemaran yang paling tinggi di limbah domestik kebanyakan adalah bahan organik. Aktivitas sehari-hari seperti mencuci piring dan bekas minyak nabati menjadi penyumbang bahan organik dalam limbah.
Keberadaan bakteri tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan, berupa abiotik yang tidak hidup dari lingkungan seperti suhu air, pH, biochemical oxygen demand (BOD), kadar oksigen terlarut atau chemical oxygen demand (COD). Serta faktor biotik segala jenis makhluk hidup yang membentuk lingkungan seperti manusia, hewan dan tumbuhan.
Kebereadaan bakteri patogen seperti Ecoli yang dapat mengganggu sistem pencernaan ini bisa menyebabkan penyakit. Namun di sisi lain juga bisa menurunkan limbah domestik dan bermanfaat untuk lingkungan.
Berpotensi untuk dikomersialkan
Eksistensi bakteri pengurai tersebut membuka peluang untuk produk bioremediasi. Bioremediasi adalah proses mengembalikan lingkungan ke bentuk yang semula.
Meski begitu, manfaat bakteri untuk saat ini belum dirasakan secara maksimal. Dibutuhkan sebuah produk bakteri yang bisa melakukan proses bioremediasi itu secara lebih mudah.
“Tujuan kita sebenarnya supaya masyarakat bisa mengaplikasikan bakteri-bakteri ini di rumahnya untuk menguraikan air limbahnya,” ucap Nurlia.
Salah satu contoh kegunaan produk bakteri tersebut sangat berguna untuk saluran pembuangan tinja. Sehingga, ketika dilakukan intervensi lebih awal untuk menurunkan cemaran air limbah yang awalnya dilakukan penyedotan 10 tahun sekali, dengan produk tersebut kemudian bisa menjadi 20 atau 30 tahun sekali.
Dengan adanya produk semacam ini, maka limbah tak akan secara langsung dibuang yang berisiko mencemari lingkungan sekitar. Tetapi diolah terlebih dahulu dan bisa memberikan keuntungan secara ekonomi.
Namun yang perlu diperhatikan lagi adalah karakteristik limbah yang bermacam-macam dan dipengaruhi sumbernya. Sehingga untuk membuat produk semacam ini masih diperlukan upaya penelitian lebih lanjut.
“Harapan ke depannya ada penelitian lanjutan yang betul-betul bisa merealisasikan temuan kita,” tutupnya.
Aliyah Fadhilah