“Mempelajari bahasa tanpa budaya ibarat meminum teh tanpa gula, begitupun sebaliknya” -Muhammad Syahrun Sjam.
Kalimat bijak ini bukan sekadar prinsip, melainkan cerminan perjalanan hidup seorang Muhammad Syahrun Sjam, dosen Bahasa Korea di Universitas Hasanuddin (Unhas). Tak banyak yang menyangka, karir pria yang akrab disapa Ssaem Syahrun ini berangkat dari pengalaman sederhananya sebagai siswa di kelas bahasa yang dianggap “kelas buangan”.
Ssaem Syahrun mengungkapkan ketertarikannya pada dunia kebahasaan ini justru dimulai saat ia belajar bahasa Jepang. Kala itu, ia mendapat kesempatan magang di perusahaan Jepang, yang secara tak langsung memoles kemampuan linguistiknya. Keunggulannya dalam bahasa Jepang mengantarkannya menjadi pengajar di Balai Latihan Kerja Industri (BLK) Makassar.
Namun, takdir membawanya lebih jauh ketika sebuah program kerja sama dengan Korea membuka peluang baru. Saat itu, tidak ada yang memiliki spesialisasi bahasa Korea, dan Syahrun dipilih untuk mendalaminya. Tujuannya hanya satu, yaitu kembali ke tanah air sebagai pengajar bahasa Korea.
Setelah kembali dari Korea, ia mengisi waktunya dengan mengajar di berbagai kursus di Makassar. Namun, kehidupannya berubah drastis ketika Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas menawarkan posisi sebagai dosen bahasa Korea disertai beasiswa pendidikan. Tawaran itu mengubah arah hidupnya. Setelah berdiskusi dengan keluarga, ia memutuskan menetap di Makassar dan menerima tantangan baru tersebut.
Ssaem Syahrun adalah contoh nyata betapa belajar tak pernah berhenti. Ia menempuh S1 Sastra Inggris di Unhas, diikuti S2 Sastra Indonesia. Meski latar belakang pendidikan formalnya tidak sepenuhnya selaras dengan bahasa Korea, Syahrun tetap gigih. Baginya, kemampuan multibahasa adalah aset yang memperkaya perspektif dan peluang. Hingga kini, ia menguasai lima bahasa, yaitu Indonesia, Inggris, Jepang, Korea, dan Mandarin.
Ia menyebut bahwa kunci untuk mempertahankan kemampuan berbahasa asingnya adalah dengan terus mengajar, yang ia anggap sebagai proses belajar dan berlatih yang berkelanjutan sambil sesekali mengikuti perkembangan berita Korea melalui channel SBS, KBS, dan MBC.
“Jadi ya salah satu cara untuk bisa mengingat bahasa, baik itu bahasa apapun satu-satunya jalan adalah dengan cara mengajar. Karena, mengajar adalah proses belajar dan berlatih,” ungkapnya saat diwawancarai Senin (30/9)
Sebagai satu-satunya dosen bahasa Korea di Unhas, Ssaem Syahrun menghadapi tantangan besar dalam mengajar di kelas dengan jumlah mahasiswa yang besar, bahkan pernah mencapai 86 orang dalam satu kelas.
Owner Ansan Makassar ini memahami bahwa bahasa Korea adalah bahasa yang benar-benar baru bagi sebagian besar mahasiswa, berbeda dari bahasa Inggris yang sudah lebih dikenal. Karena itu, ia menerapkan pendekatan yang kreatif dengan menggabungkan pembelajaran bahasa dan budaya Korea.
Ia bertekad untuk memastikan mahasiswanya mampu berkomunikasi dalam bahasa Korea, minimal pada tingkat dasar. Hasilnya? Para mahasiswanya mampu berkomunikasi dengan penutur asli Korea yang berkunjung ke kampus, sebuah pencapaian yang membuatnya bangga.
Salah satu pencapaian terbesarnya adalah menginisiasi pendirian Korean Corner di Unhas dengan membangun jembatan komunikasi antara kampus dengan Kedutaan Besar Korea. Ia juga berperan dalam mendatangkan native speaker untuk mengajar dan memberikan kuliah umum di Unhas untuk memperkaya pengalaman belajar mahasiswanya.
Kini, selain mengajar, Syahrun aktif dalam penelitian, terutama yang berkaitan dengan pariwisata dan peran bahasa asing. Ia juga sering dipanggil sebagai penerjemah dalam berbagai kegiatan formal seperti penandatanganan MoU antar institusi.
Dalam perjalanan karirnya, Syahrun terinspirasi oleh dua tokoh penting, yaitu Prof Muhammad Darwis, guru besar linguistik di Unhas yang membimbingnya selama S2, dan Prof Shin Yeong Duk, seorang guru besar dari Korea yang berperan besar dalam perkembangan bahasa Korea di berbagai universitas di Indonesia.
Melihat ke depan, Syahrun optimis dengan prospek lulusan bahasa dan sastra. Menurutnya, kemampuan bahasa membuka peluang di berbagai bidang, dari ekonomi hingga hukum. Pesannya untuk mahasiswa yang tertarik dengan bahasa Korea adalah untuk tidak pernah bosan belajar dan selalu memiliki target yang jelas, baik itu mencapai kemahiran berbahasa maupun berkunjung ke Korea.
Syahrun tidak hanya fokus pada pengajaran bahasa, tetapi juga menekankan pentingnya pemahaman budaya. Ia selalu mengajarkan budaya kesopanan Korea kepada mahasiswanya dan meyakini bahwa mempelajari bahasa tanpa budaya ibarat “meminum teh tanpa gula, begitupun sebaliknya”.
Lewat perjalanannya yang inspiratif, Syahrun terus mendorong mahasiswanya untuk tidak pernah bosan mempelajari bahasa Korea, Ssaem Syahrun membuktikan bahwa takdir terkadang memiliki rencana yang tak terduga. Dari “kelas buangan” hingga menjadi pionir pendidikan bahasa Korea di Unhas, perjalanannya menjadi inspirasi bahwa kesungguhan dalam mendalami suatu bidang akan membuka jalan menuju pencapaian yang lebih besar.
Marcha Nurul Fadila Jalil