Makan dan minum adalah kebutuhan dasar manusia yang esensial untuk menjaga kelangsungan hidup dan kesehatan. Dalam memenuhi kebutuhan ini, setiap individu perlu memperhatikan asupan gizi dari makanan dan minuman yang dikonsumsi karena gizi seimbang sangat penting untuk mendukung fungsi tubuh, meningkatkan kekebalan, dan menjaga energi.
Meskipun begitu, dalam beberapa kasus, perilaku makan dan minum bisa sangat dipengaruhi oleh kondisi mental dan emosional seseorang. Ada orang yang cenderung makan berlebihan saat stres, dan ada pula yang malah kehilangan nafsu makannya. Selain itu, terdapat juga berbagai macam faktor yang melatarbelakangi seseorang mengalami ini, begitupun dengan sikap yang ditunjukkannya.
Karena mengalami hal ini sendiri dan melihat beberapa temannya juga menghadapi masalah serupa, Alumni Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (Unhas) angkatan 2020, Nada Mulya Salsabila mencoba melakukan penelitian bertajuk “Hubungan Common Mental Disorders dan Emotional Eating dengan Status Gizi Mahasiswa“.
Common mental disorders merupakan kondisi dengan melibatkan gejala seperti kecemasan, depresi, dan gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan secara medis. Sementara itu, emotional eating merupakan perilaku makan yang dipicu oleh faktor emosional untuk mengatasi perasaan negatif seperti stres, kelelahan, kesepian, kesedihan, dan lain sebagainya.
Alasan perempuan yang akrab disapa Nadya itu memilih mahasiswa sebagai sampel penelitiannya karena berdasarkan rujukan pustakanya, usia yang paling rentan mengalami stres berada di kisaran 18 – 25 tahun. Hal ini sesuai dengan kebanyakan usia mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di tingkat perkuliahan.
Selain itu, pemilihan Asrama Mahasiswa (Ramsis) sebagai lokasi penelitiannya menggambarkan kondisi kos-kosan mahasiswa yang harus memenuhi semua kebutuhannya sendiri, termasuk urusan makanan. Situasi ini seringkali dapat menyebabkan rasa kesepian hingga stress, terutama bagi mahasiswa baru. Akibatnya, beberapa mahasiswa mencari pelarian melalui makanan ataupun dengan aktivitas lain.
Nadya menemukan, perempuan lebih banyak mengalami emotional eating daripada laki-laki, pasalnya pengalihan stres laki-laki lebih banyak dihabiskan dengan bermain game ataupun berolahraga.
Untuk common mental disorders, Nadya menemukan, mahasiswa dari rumpun Sosial Humaniora (Soshum) yang paling banyak mengalami kasus ini dengan jumlah 48 dari 114 responden. Saat ia mewawancarai salah satu responden, ia menemukan titik terang kalau mahasiswa tersebut pada tahun ketiga memiliki tugas proyek yang mengharuskan dirinya keluar kota dan mengeluarkan biaya besar. Bagi mahasiswa yang kurang mampu dari segi ekonomi tentu hal ini dapat memicu stresnya.
Selain itu, Nadya memiliki cerita dari salah satu responden yang kegiatan kuliahnya tidak padat akan tetapi mengalami stres karena kegiatan di luarnya seperti UKM, organisasi, maupun himpunan, apalagi kegiatannya memiliki struktur yang menjerat dan unsur senioritas tinggi.
Sebanyak 37 dari 41 (90,2 %) mahasiswa rumpun kesehatan mengalami kasus emotional eating. Data tersebut menunjukkan, mahasiswa dari rumpun kesehatanlah yang paling banyak mengalami masalah ini. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, ia menemukan, beban tugas praktikum, terutama yang harus ditulis tangan menjadi salah satu pemicu terjadinya emotional eating.
Selain faktor akademik, fenomena terkait emotional eating ataupun common mental disorder juga dapat dialami oleh orang-orang yang sedang putus cinta. Menurut pandangan Nadya sebagai seorang perempuan dalam menyikapi hal ini, seseorang perlu untuk memiliki teman curhat agar emosi dalam dirinya bisa reda. Apabila masalahnya terus dipendam maka akan menimbulkan stres yang mungkin pelampiasannya ke makanan.
“Masalahnya, ketika seseorang memilih untuk mengatasi stres dengan makan, mereka cenderung memilih makanan yang menyenangkan atau biasa disebut dengan comfort food. Makanan ini sering kali memiliki kandungan tinggi gula dan lemak sehingga tidak sehat,” tutur Nadya saat diwawancarai, Selasa (06/08/2024).
Nadya menambahkan, kasus emotional eating ada dua, yaitu undereating dan overeating. Tidak semua orang yang mengalami emotional eating akan undereating seluruhnya ataupun kebalikannya.
Setelah melakukan penelitian, Nadya menyimpulkan, kasus emotional eating memiliki hubungan yang lebih dekat dengan status gizi mahasiswa dibandingkan common mental disorder. Ia menerangkan bahwa emotional eating pelariannya sudah ke makanan sehingga dapat berpengaruh terhadap status gizi mahasiswa.
Nadya berharap agar penelitian terkait topik kesehatan di kampus dapat terus dikembangkan. Ia juga menyarankan kepada mereka yang menggunakan makanan sebagai pengalihan stres untuk mengontrol kebiasaan tersebut dengan baik dan menghindari konsumsi fast food yang tinggi gula dan lemak. Sebaiknya, pilihlah buah-buahan, jus, smoothie, atau makanan yang dimasak sendiri dari bahan-bahan yang sehat.
Nurfikri