Sebelum reformasi 1998, sejumlah aktivis demokrasi sempat dihadang masuk kampus untuk berbicara dihadapan mahasiswa. Mahasiswa Unhas pun putar otak, cari akal demi berdiskusi dengan para aktivis pro demokrasi.
Di masa pemerintahan Presiden Soeharto atau yang dikenal dengan masa Orde Baru, membuat diskusi bukanlah hal yang mudah. Kira-kira begitulah kenangan mahasiswa Unhas tahun 90an. Seperti yang diungkapkan alumni Fakultas Sastra Unhas, Aslan Abidin, yang lulus dari kampus merah tahun 1997.
Aslan Abidin menyampaikan bahwa di masa Presiden Soeharto mahasiswa Unhas sempat ‘kucing-kucingan’ mendatangkan saudara Soe Hok Gie, yaitu Soe Hok Djin atau yang lebih dikenal dengan nama Arief Budiman.
“Ketika itu, sebelum reformasi, ada kesempatan untuk membawa Arief Budiman, seorang intelektual kritis, masuk ke kampus Unhas. Berhubung beliau dicekal masuk kampus lain untuk berceramah, sehingga terpaksa dibawa masuk sembunyi-sembunyi setelah hari mulai gelap,” tulis Aslan ketika dihubungi identitas.
Arief Budiman saat itu, kata Aslan, mengenakan kaos merah tua berkerah. “Sepertinya karena terburu-buru sehingga ia turun dari mobil penjemput tanpa mengenakan alas kaki,” kenang Aslan yang saat ini bekerja sebagai Dosen di UNM.
Kemudian Arief Budiman berbicara di atas mimbar yang diletakkan dekat pohon beringin-saat ini sudah tak ada-di depan Gedung FIS IV. Sementara mahasiswa duduk di koridor dan undakan pelimbahan air hujan di sekitar gedung tersebut.
Lebih lanjut, Aslan bercerita, Arief Budiman kala itu membakar semangat perjuangan mahasiswa Unhas. Aslan bahkan masih mengingat penggalan kalimat saudara Soe Hok Gie itu, yang berkata: “Kekuasaan Pak Harto pasti berakhir. Sejarah akan datang mengetuk pintumu, masalahnya adalah: apakah anda siap membuka pintu atau tidak?”
Terbitan identitas edisi akhir Oktober 1992 mencatat dan merekam momen ini. Dikutip dari terbitan itu, Arief Budiman menyampaikan bahwa pemerintah takut kalau mahasiswa berpikir bebas. “Yang menjadi kekuatan potensial ‘bila terjadi krisis’… ‘bukanlah persatuan fisik’ tapi lebih pada ‘persatuan ide'” tulis reporter identitas kala itu, mengutip perkataan Arief Budiman.
Aslan menyampaikan, saat itu, mahasiswa yang mengenyam pendidikan di bawah bayang-bayang orde baru mesti memikirkan strategi yang cerdas untuk tetap melaksanakan diskusi. Bagi mereka diskusi merupakan wadah untuk menyalurkan pemikiran kritis sekaligus gerbang untuk menyusun pergerakan menurunkan Soeharto.
Aslan kemudian bercerita bahwa Adnan Buyung Nasution juga pernah coba diselundupkan masuk ke Unhas. Rencananya, mereka ingin membuat diskusi bersama Adnan, kala hari mulai gelap. Sebab biasanya ketika hari gelap, sejumlah intel tidak lagi berjaga. Akan tetapi, di hari itu, mereka masih juga terlihat bersiaga walau malam telah tiba.
“Karena intel masih berjaga, akhirnya, semua mahasiswa diminta pulang ke rumah dan memutar radio EBS (nama radio Fakultas Teknik masa itu). Kemudian Adnan berbicara di radio tersebut,”ungkap Aslan saat diwawancara via WhatsApp, Minggu (6/5).
Serupa tapi tak sama, M Nawir, Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra saat itu, juga bercerita tentang kejadian yang ia alami saat masih berstatus mahasiswa Unhas. Ia menyampaikan materi diskusi di masa orde baru merupakan perbincangan yang mengkritik dan merongrong kebijakan pemerintah. Akibatnya, pembahasan semacam itu kerap kali diawasi oleh intel, bahkan dibubarkan.
Meski begitu, jika seorang intel ketahuan menyusup di tengah mimbar bebas, maka mahasiswa akan memburunya seperti seorang pencuri, kata Nawir.
“Pernah sekali didapat Intel lari masuk ruangan tata usaha di lantai bawah rektorat. Intel itu mengunci pintu dari dalam dan sembunyi di kolong meja,” jelasnya kepada identitas, Sabtu (12/5).
Pelarangan Buku
Tidak hanya berdiskusi, orde baru juga membatasi ruang gerak mahasiswa di zaman itu, seperti keinginan untuk membaca sejumlah buku. Hal itu memang menjadi ciri khas masa kepemimpinan The Smiling President.
Berdasarkan data yang dilansir dari kumparan.com, saat Soeharto menjabat presiden, setiap mahasiswa sejak mengisi formulir pendaftaran kuliah, lalu saat memilih bacaan kuliah, sampai melakukan kegiatan ekstrakurikuler, semua dibawah kendali pemerintah.
Masih mengutip kumparan.com, tak kurang dari 2.000 judul buku yang dilarang oleh pemerintahan Soeharto. Buku diperlakukan seperti obat-obatan –disadur sedemikan rupa, dan yang berbahaya akan dibuang jauh-jauh.
Ada jalur birokrasi bagi akademisi yang hendak mengajukan judul buku yang ingin dibaca. Setidaknya izin harus dipenuhi dari berbagai lembaga, mulai dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Koordinasi Intelijen Negara (kini BIN), Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional, sampai Kejaksaan.
Pemerintah kala itu tak segan mendisiplinkan siapapun yang melanggar. Salah satu catatan HRW terkait buku yaitu peristiwa tahun 1989 di mana tiga mahasiswa dipenjara karena menyebarkan novel Pramoedya Ananta Toer yang waktu itu dilarang. Atas “kenakalan” tersebut, mereka dihukum 8-9 tahun penjara.
Aslan mengiyakan hal itu. Ia mengutarakan bahwa Orba melarang beredar buku-buku seperti Marxisme dan buku-buku karya Pram. Tetapi justru buku-buku seperti itulah yang dicari sebagian mahasiswa untuk dibaca. Kesempatan mendapatkan buku-buku seperti itu diperoleh ketika mahasiswa berangkat ke Jawa, biasanya dengan naik kapal Pelni.
Lebih lanjut, ia bercerita bahwa beberapa buku yang dilarang bisa difotokopi dari sesama teman mahasiswa di Jawa. “Terkadang juga ada yang dijual sembunyi-sembunyi fotokopian buku-buku karya Marx, Tan Malaka, dan Pram di Taman Ismail Marzuki Jakarta,” ujar Aslan.
“Kalau pengalaman saya, buku-buku seperti itu dibawa ke Makassar, dengan merobek sampulnya kemudian diselipkan di dalam buku yang tidak dilarang dan diletakkan paling bawah di ransel. Buku tersebut kemudian difotokopi lagi di kampus dan dibaca sembunyi-sembunyi, misalnya di kamar kos,” tulis Aslan dalam chat WhatsApp kepada identitas.
Selanjutnya, Nawir juga bercerita bahwa bukan hanya buku yang dibredel kala itu, tetapi sejumlah majalah dan koran pun turut dilarang beredar. Salah satunya majalah Lektura yang dikelola Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Unhas (sekarang Fakultas Ilmu Budaya Unhas).
“Salah satu majalah mahasiswa yang dilarang terbit itu Lektura yang dikelola Senat Mahasiswa Sastra karena di dalamnya memuat Mimbar Golput,” ujar Nawir.
Begitulah geliat mahasiswa Unhas saat masa orde baru, mesti sembunyi-sembunyi mengadakan diskusi hingga berusaha mencari dan memfotokopi buku untuk dibaca.
Reporter: Khintan