Pengabdian pertama ialah kepada suami. Pengabdian kedua ialah kepada anak-anak. Pengabdian ketiga ialah kepada bangsa dan negara. Itulah sumpah jabatanku.
Begitulah ucapan Prof Dr Sumarwati Kramadibrata Poli M Lit dua hari sebelum meninggal yang tertulis dalam buku tentang dirinya berjudul ‘Wati dalam Rekaman’. Buku karya sang suami, Prof Wim Poli ini menceritakan perjalanan Wati semasa hidup.
Dalam buku itu pula diketahui, wanita kelahiran Subang 14 Mei 1944 ini ialah sosok perempuan yang sangat dirindukan sivitas akademika Fakultas Ilmu Budaya. Lantaran, jasa dan pengabdiannya membentuk Jurusan Sastra Prancis.
Wati mulai merancang jurusan baru di Unhas ini, saat ia telah menyelesaikan studi Sastra Prancis di Universitas Indonesia. Lalu, ia diamanahkan mengajar di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra (Kini Fakultas Ilmu Budaya).
Suatu ketika, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) kala itu, Prof Daoed Joesoef, menyarankan Wati untuk membentuk Sastra Prancis. Permintaan itu ditanggapi serius oleh Wati. Alhasil, Mendikbud mengeluarkan Surat Keputusan No 8154/0/1983 tentang pembukaan Jurusan Sastra Prancis.
Setelah resmi terbentuk, Wati harus menghadapi kendala yang cukup serius. Di Unhas kala itu, ia adalah satu-satunya dosen yang memiliki latar belakang Sastra Prancis. Akibatnya, ia harus menjabat sebagai ketua jurusan dan menjadi satu-satunya pengajar.
Wati menjalani beban kerja seperti itu selama bertahun-tahun. Pernah sekali, ia harus mengkaji ulang kurikulum karena jumlah peminat Jurusan Sastra Prancis mengalami grafik fluktuatif. Peminatnya berkurang dan sedikit lulusan yang bekerja sesuai konsentrasi keilmuannya.
Kala itu, Wati terus melakukan pembaharuan pada jurusan yang dirintisnya ini. Salah satunya, peningkatan mutu dosen melalui berbagai pelatihan dan studi lanjutan baik di dalam maupun luar negeri.
”Kurikulum tidak ada gunanya, jika tidak diterapkan tenaga pengajar yang bermutu,” tegas Prof Wati, dikutip dari buku ‘Wati dalam Rekaman’.
Upaya meningkatkan mutu dosen, nyatanya tidak sia-sia. Terbukti, kini hampir 80% tenaga dosen di jurusan Sastra Prancis Unhas adalah mantan mahasiswa Wati. Mereka mulai dari lulusan sarjana, magister, hingga doktor.
Atas dedikasinya di dunia pendidikan, Wati pernah menerima penghargaan sebagai Chevalier de l’Ordre Palmes Académiques pada tanggal 27 Juli 1995 oleh pemerintah Prancis dan disetujui oleh Presiden Republik Inodenesia pada 1 Oktober 1996.
Selain itu, Wati juga pernah menghadiri undangan sebagai dosen tamu di Department of Modern Languages, Faculty of Letters and Human Sciences, New Castle University, Australia, pada April tahun 2000.
Lebih lanjut, Wati adalah sosok dosen yang disegani oleh mahasiswanya. Salah satu mahasiswa bimbingannya dari jenjang S1 sampai S3, Dr Muhammad Hasyim mengatakan, ibu dua orang anak ini dikenal disiplin.
Bahkan, saat Wati harusnya berbaring dan istirahat penuh karena sakit parah, ia tetap menerima para mahasiswa untuk berkonsultasi. Beberapa hari sebelum meninggal dunia, Wati juga masih sempat saja memeriksa disertasi mahasiswa S3 di Rumah Sakit. Seperti itulah ia menjalankan sumpahnya yang ketiga, “mengabdi kepada bangsa dan negara”.
Semua pengorbanan dan pengabdian mantan Asisten Direktur Bidang Akademik Program Pascarjana Unhas ini, tak luput dari satu kalimat yang sudah tertambat dalam dirinya, Home is where your heart is. Rupanya Sastra Prancis adalah jalan hidup Wati yang sudah diimpikannya sejak lulus SMA. Dan, tetap mengabdi hingga akhir hidupnya.
Wati meninggal dunia pada 1 Agustus 2017. Kematian Wati meninggalkan kepedihan bagi sivitas akademika Unhas. Salah satunya, ketua IKA Sastra Prancis Unhas, Sultan Rakib.
“Beliau dosen sekaligus guru bagi kami. Bukan hanya mengajarkan sastra dan bahasa, tapi beliau juga banyak mengajarkan falsafah hidup bagi mahasiswa dan para alumninya,” ujar Rakib dalam portal berita Tribuntimur.com, Rabu (2/8/2017).
Penulis: Renita Pausi