Sebelum akhirnya jadi pemimpin pertama Unhas, Abdoel Gaffar Pringgodigdo aktif dalam bidang politik Indonesia dan pernah menjabat sebagai rektor Unair.
Unhas baru saja selesai merayakan puncak kegiatan dies natalis ke-62 di Gelanggang Olahraga (Gor). Di usia yang boleh dikata paruh baya itu, kampus ini telah dipimpin oleh 12 orang rektor.
Lalu, masih ingatkah kalian sosok yang paling awal memimpin Unhas? Ketika Anda mencari jawabannya di pencarian google, maka nama Abdoel Gaffar Pringgodigdo akan muncul pada layar gawai atau komputer yang Anda gunakan.
Lelaki kelahiran Bojonegoro, 24 Agustus 1904 ini merupakan rektor yang pertama kali memimpin Unhas. Ia menjabat rektor di kampus dengan jargon ayam jantan ini pada periode 1956-1957, tepat 62 tahun silam.
Saudara kandung Ketua Badan Pemeriksa Keuangan di Bogor pada tahun 1957 hingga 1961, Abdoel Kareem Pringgodigdo, ini lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga yang mencintai pendidikan. Tak pelak jika ia dan saudaranya berhasil mengenyam pendidikan di sekolah rakyat bernama Europeeche Lagore School. Abdoel Gaffar belajar di sekolah itu dari tahun 1911 sampai 1918.
Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di Hogere Burger School dan berhasil lulus pada 1923. Seakan tak puas dengan ilmu yang telah ia dapatkan di sana, ia lalu kembali menempuh pendidikan di Universitas Leiden Belanda. Lalu, pada tahun 1927 ia berhasil lulus sebagai sarjana hukum dan mendapatkan sertifikat cum laude dalam bidang ilmu Indologi.
Setelah merasa cukup menimba ilmu di negeri kincir angin itu, ia kemudian kembali ke tanah air. Ia mengawali karir sebagai juru tulis. Berkat latar belakang pendidikan dan ilmu pengetahuan yang dimiliki, dia pun dipercaya menjadi wedana atau pembantu pimpinan wilayah Daerah Tingkat II (kabupaten), Karangkobar yang terletak di bagian timur Kabupaten Purbalingga.
Karir dalam dunia politiknya pun makin menanjak. Saat masa pendudukan Jepang, Pringgodigdo tercatat sebagai salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUKI). Pada masa akhir pendudukan Jepang di tanah air, Pringgodigdo menjadi sekretaris Radjiman Widyoningrat, pemimpin BPUPKI kala itu.
Setelah kemerdekaan diproklamirkan, Pringgodigdo juga menjadi salah satu tokoh di dalam Panitia Lima, sebuah kelompok penanggung jawab perumusan Pancasila. Tak berhenti sampai di situ, saat kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia, Presiden Soekarno menunjuk Abdoel Gaffar sebagai sekretaris negara. Ia menjabat hingga Januari 1950. Selanjutnya, bertugas sebagai seorang komisaris di Sumatera dari bulan Juni sampai September tahun 1948.
Dilansir dari tirto.id, ketika Agresi Militer Belanda II terjadi pada Desember 1948, Abdoel Gaffar ditangkap dan diusir ke Bangka bersama pemimpin Indonesia lainnya. Pada waktu itu banyak arsip-arsip penting milik Indonesia dibakar oleh Belanda. Penyebabnya, Belanda memang belum mengakui kemerdekaan yang berhasil diproklamasikan oleh Presiden dan Wakil Presiden, Soekarno dan Moh Hatta.
Dalam sejarah hidupnya, masih mengutip tirto.id, Abdoel Gaffar merupakan salah seorang anggota Partai Masyumi. Kemudian, pada tahun 1971 ia resmi menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Ia merupakan orang yang cukup berpengaruh di partai tersebut, sehingga ia mewakili Partai Masyumi untuk menjadi menteri kehakiman pada 21 Januari sampai 6 September 1950.
Setelah puas dengan semua capaiannya, Abdoel Gaffar rehat dari panggung politik dan melirik bidang lain yakni pendidikan. Ia memulai lagi semuanya dari awal. Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi tempat pertamanya dalam bidang pengajaran. Di sana ia menjadi dosen ilmu hukum, sesuai dengan kajian ilmu yang telah ia geluti.
Dari UGM, ia kemudian berpindah ke Universitas Airlangga (Unair). Karirnya terbilang cukup cemerlang di sana. Ia berhasil menjadi dekan pertama Fakultas Hukum Unair pada tahun 1953-1954. Setelah memperlihatkan keberhasilannya dalam memimpin Fakultas Hukum, ia kemudian diangkat menjadi rektor Unair dari November 1954 sampai September 1961.
Saat masih menjabat di Unair, ia juga ditugaskan untuk mengisi jabatan rektor di Universitas Hasanuddin. Setelah menyelesaikan pengabdiannya di Makassar, ia pun kembali ke Surabaya dan mengajar di IKIP Surabaya.
Sebagai bentuk totalitas dan kecintaannya terhadap dunia pendidikan, ia bersama dua orang kerabatnya, Kho Siok Hie dan Oey Pek Hong, mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum. Abdoel Gaffar pun meninggal dunia saat berusia 84, tepatnya pada tahun 1988.
Penulis: Khintan