Setiap manusia ingin bermanfaat untuk sesamanya. Tahun-tahun pengabdian dijalani dengan ragam cerita penguat langkah. Lily Yulianti Farid meraih penghargaan Anugerah Kebudayaan 2018 kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru diberikan oleh Kemendikbud pada 26 September.
Alumnus Ilmu Pertanian Unhas ini suka menulis sedari SD. Ketertarikannya pada dunia literasi mengantarnya menjadi jurnalis koran Kompas selama empat tahun (1996 – 2000). Ia pun melanjutkan studi dari program diploma hingga memperoleh gelar PhD di Universitas Melbourme, Australia.
Sejak 2005, Produser Radio Japan NHK World (2004-2008) ini mewadahi pemuda-pemuda Makassar dengan kelas menulis. Pencetus citizen journalism, Panyingkul, menyisihkan sedikit gajinya dan memberikan beasiswa untuk pemuda-pemuda Makassar yang tertarik pada literasi.
“Saya tidak punya uang, tapi saya bisa investasi keilmuan,” ujarnya.
Istri dari Farid Ma’ruf Ibrahim ini, merasa semakin dekat dengan pemuda Makassar. Ia mulai merasa gemes dengan mahasiswa zaman sekarang yang kurang kritis. Kegelisahannya terhadap keadaan mahasiswa Makassar, ia mendirikan sebuah organisasi kebudayaan. Rumata’ Artspace itulah rumah budaya yang dicetus oleh Lily bersama sahabatnya, Riri Riza. Rumah ini terletak di Jalan Bontorompo daerah Gunung Sari, Makassar.
Dari rumah kebudayaan inilah, Lily menyiapkan fasilitas galeri yang bisa digunakan oleh teman-teman untuk pameran, kegiatan komunitas, melakukan pemutaran film, juga belajar membuat event kemudian berjejaring.
Makassar International Writer Festival (MIWF) digawangi dan digagas oleh ibu dari Fawwas Naufal Farid tahun 2011. Festival ini merupakan satu dari dua kegiatan utama Rumata’ Artspace yang diselenggarakan tiap tahun sejak dibentuknya.
Sedang sahabat Lily, Riri yang tertarik dengan dunia perfilman mencetuskan Makassar South East Asian Screen Academy, sekolah bagi para pembuat film yang berasal dari Indonesia timur.
Tak hanya suka bersekolah saja, Lily telah menerbitkan beberapa buku kumpulan cerpen, yaitu Makkunrai (2008), Maiasaura (2008), Family Room (2011), dan Ayahmu Bulan Engkau Matahari (2012). Ia juga menerjemahkan buku biografi tokoh perempuan, Anita Roddick, penggagas Ethical Business dan pendiri The Body Shop, yang berjudul Business as Unusual (Gramedia Pustaka Utama, 2013).
Proyek terakhir Lily pada tahun 2017 lalu, Ia menerjemahkan buku kumpulan esai akademik mengenai hubungan Australia – Indonesia yang berjudul Linking People : Pertalian dan Interaksi Orang Australia dan Orang Indonesia (Kelompok Kompas Gramedia, 2017).
Saat ini, Lily tengah mempersiapkan proyek baru berupa simposium tentang hubungan masyarakat Aborigin dan masyarakat Makassar di bulan Desember nanti.
Selain menerbitkan buku, Lily meraih penghargaan Alumni Award 2016 The Faculty of Arts, The University of Melbourne kategori pengabdian masyarakat atas dedikasinya untuk membantu pendidikan serta membuka kelas menulis sejak 2005 untuk anak-anak muda di Makassar
Menjadi seorang relawan, Lily belajar hal baru ini. Melihat segala pencapaiannya ini bukanlah sesuatu yang harus dikejar demi sebuah ketenaran. Namun ia ingin berkontribusi lebih bagi Indonesia. Dewasa ini, Indonesia sangat butuh orang-orang yang rela memikirkan persoalan bangsa.
“Mahasiswa itu harus peka terhadap isu-isu sosial, bukan hanya rajin berkumpul dengan mahasiswa sejurusan, sefakultas, atau sehimpunannya saja. Tapi dia harus berani lebih peka untuk melihat apa yang terjadi di luar sana . Sehingga dia bisa mengaitkan dirinya dengan segala fenomena yang terjadi di luar,” harap Lily.
Keprihatinan Lily terhadap mahasiswa yang kurang kritis sekarang ini mengharapkan agar kedepannya para tenaga pengajar memberikan ekosistem yang menstimulasi critical thinking tradition di dalam kelas.
“Perlu saatnya, untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis itu dari pihak pengajarnya itu sendiri. Ruang kuliah itu seharusnya diciptakan kembali sebagai tempat bertukar pikiran yang menyenangkan. Bukan sekedar rutinitas mengajar kemudian pulang begitu pun dengan mahasiswanya,” ungkap Lily.
Berbekal pengalamannya menjadi dosen tidak tetap mata kuliah sastra Indonesia di Universitas Melbourne, Lily menguras tenaga dan pikirannya untuk menyediakan dua jam pembelajaran menarik dalam kelas. Misalnya dengan intelektual yang menantang dan suasana menyenangkan. Sehingga proses belajar-mengajar tidak monoton, sebab mahasiswa Australia bebas meninggalkan kelas ketika ia merasa kelas tersebut membosankan juga tidak menarik untuk diikuti.
Lily merasa terpanggil dan perlu berkontribusi secara aktif demi generasi yang diharapkan bisa cerdas dan kritis menghadapi berbagai masalah negara di masa depan. “Kalau bukan karena kemampuan untuk mengolah dengan kritis, saya tidak akan mungkin menjadi seperti saya di hari ini,” jelas Lily.
Madeline Yudith