Tahun ketiga di bangku kuliah, mahasiswa akan mulai disibukkan dengan berbagai kegiatan, seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan skripsi. Saya pun berencana mempersiapkan diri untuk itu, sebelum notifikasi program beasiswa Indonesian International Student Mobility Award (IISMA) mulai bermunculan.
Padahal, saya telah melupakan ambisi untuk mengikuti pertukaran pelajar ataupun kegiatan kompleks semacamnya menjelang tahun terakhir. Namun, lebih baik mencoba daripada tidak, bukan? Lagi pula, tidak apa-apa untuk kalah.
Tiba masa persiapan, seleksi IISMA ternyata cukup rumit. Agak menyesal juga karena niat mempersiapkan IISMA baru bermunculan di menit akhir. Beruntung pihak fakultas dan Kantor Urusan Internasional kampus sangat kooperatif.
Diumumkan lulus. Saya masih diliputi rasa cemas akibat pandemi, takut kegiatan ini dibatalkan sewaktu-waktu. Untungnya ketakutan saya tidak terjadi. Sebelumnya, saya sama sekali tidak pernah terpikirkan ke Spanyol, lebih memilih universitas di Asia. Namun, siapa yang tahu, akhirnya malah ke Barcelona, salah satu kota yang lebih banyak dikenal karena klub sepakbolanya.
Belajar di Universitat Pompeu Fabra (UPF) ternyata melebihi ekspektasi, waktu begadang saya untuk memilih universitas pun tidak sia-sia. Justru sangat saya syukuri.
UPF menawarkan mata kuliah yang menarik: Analyzing Ethics in The Globalization Era; Politics & Policies Towards 2030; Collective Revolution & Sustainability; dan Great Ideas that Have Shaped Our World. Belajar mengenai etika dan moral, filsafat, serta politik dunia dengan diskusi yang menarik.
Benarkah sikap tidak peduli itu baik? Mengkritisi distributor vaksin Covid? Kerugian terhadap dunia disebabkan oleh orang kaya? Begitulah contoh diskusi di beberapa kelas yang saya hadiri.
Mekanisme belajar UPF secara umum sama saja dengan Indonesia, seperti pemberian materi oleh dosen, kerja kelompok, presentasi, ujian tengah semester dan final, namun penilaian mereka jauh dari kaku, terlebih pengajarnya sangat terbuka. Rasa takut terlihat bodoh oleh dosen atau teman sekelas jauh berkurang. Bahkan di akhir program, salah satu dosen mata kuliah resolusi kolektif memberi kami lolipop Chupa-chups khas Spanyol yang berukuran satu roda besar sebagai salam perpisahan. Memori yang manis sekali.
Pada September, kala pertama kali menginjak Barcelona saya panik karena pukul 19.00 CET mataharinya belum terbenam. Kebiasaan di Indonesia saat memperkirakan jam dengan kehadiran matahari terpaksa harus dihilangkan. Selain itu, walaupun belum memasuki musim dingin, anginnya tetap menusuk tulang.
Kota Barcelona sendiri terkenal dengan budaya Todos los Santos atau All Saints Day untuk merayakan keluarga mereka yang telah meninggal dan La Merce yaitu perayaan kehormatan keagamaan untuk Santa Maria dan Santa Eulalia.
Katakanlah tiga bulan di sana, saya mendapati, Barcelona memiliki kawasan yang dipenuhi warga muslim yang berasal dari Timur Tengah. Variasi makanan halal banyak tersedia, walaupun sedikit lebih mahal tetapi masih bisa dijangkau mahasiswa.
Saya juga sempat berkunjung ke beberapa kota di Eropa, seperti Andorra la Vella, ibukota dari negara Andorra, satu dari 17 negara terkecil di dunia.
Kalian pernah dengar sebelumnya? Sama, saya juga tidak. Terletak antara perbatasan Prancis dengan Spanyol, butuh tiga jam naik bus dari Barcelona. Saking kecilnya, tiga hingga empat jam pun cukup dengan hanya berjalan kaki untuk menjelajahi seisi ibukota tersebut.
Pertukaran pelajar ini juga mengajarkan keahlian untuk bertahan hidup di negara dengan bahasa dan mata uang yang berbeda. Ada saja kejadian yang tidak dapat dihindari.
Singkat cerita, saya dan salah satu teman harus mengeluarkan uang sebesar 80 € (Euro) dalam dua minggu karena masalah sepele, yaitu melupakan kunci apartemen dalam apartemen itu sendiri. Jadinya, pintu terkunci dari dalam, butuh teknisi yang mahal. Tak apa, pelajaran hidup.
Akhir tahun 2021, program berakhir dan tanah air menunggu. Tak terasa tiga bulan di luar negeri terasa sangat singkat. Namun pengalaman yang didapatkan luar biasa dampaknya.
Peningkatan keterampilan sosial dan komunikasi, serta ilmu dari kampus UPF sangat saya syukuri. Lebih daripada itu, jejaring dengan teman-teman internasional dari berbagai negara maupun sesama warga Indonesia yang tinggal di Eropa juga menjadi bagian tak terlupakan.
Tulisan ini memang hanya berisi cuap-cuap pengalaman hidup sementara di Eropa. Tetapi besar harapan saya kepada teman-teman atau siapapun pembaca yang memiliki mimpi untuk belajar, kerja maupun tinggal di luar negeri untuk tetap berusaha dan berdoa supaya bisa mencapainya. Kalimat klise memang, tapi zaman sekarang kesempatan lebih banyak terbuka walaupun kompetisi juga semakin tinggi. Program beasiswa oleh pemerintah Indonesia maupun negara lain hadir dalam berbagai bentuk dan batasannya adalah diri kita sendiri.
Penulis adalah tipe yang cukup senang untuk berbagi pengalaman lebih banyak kepada siapapun yang ingin mendengarkan, jangan cemas untuk bertanya lebih lanjut! Be Bold to Go Abroad #IISMA.
Penulis Meylinda, mahasiswa departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Unhas