Judul Film : A Time To Kill
Sutradara : Joel Schumacher
Studio : Regency Enterprises
Penulis Naskah : Akiva Goldsman
Tayang Perdana : 24 Juli 1996
Durasi : 149 menit
“What is it in us that seeks the truth? Is it our minds? Or is it our hearts? I set out to prove a black man could receive a fair trial in the South, that we’re all equal in the eyes of the law. That’s not the truth. Because the eyes of the law are human eyes, yours, and mine and until we can see each other as equals, justice is never going to be evenhanded. It will remain nothing more than a reflection of our own prejudices.” – Pidato pembelaan Jake Brigance ketika membela Carl Lee Hailey di Ruang Sidang.
Amerika Serikat menerapkan prinsip Equality Before the Law, persamaan di depan hukum, tetapi diskriminasi terhadap kulit hitam masih menjadi pemandangan sehari-hari. Bahkan pengadilan hanya menjadi pertarungan antara menang dan kalah, bukan menemukan kebenaran dan keadilan.
Berlatar belakang di Mississippi, film A Time to Kill berkisah tentang persidangan Carl Lee Hailey Samuel L. Jackson), seorang ayah yang putus asa dan main hakim sendiri setelah putrinya yang masih kecil diserang secara brutal oleh dua orang rasis yang kejam.
Di satu sisi, kita pasti setuju bahwa siapapun yang melakukan tindak kejahatan berdasarkan peraturan yang berlaku perlu dijatuhi hukuman. Tetapi, rupanya wajah hukum tidak seabsolut itu.
Terdapat sisi lain di mana hukum dapat ditegakkan menggunakan hati nurani para penegak keadilan. Premis seperti itulah yang dikisahkan dalam A Time to Kill. Film ini akan mengupas lapisan rasisme dan ketidakadilan yang melanda kota tersebut.
Carl Lee sangat terpukul ketika mengetahui gadis kecilnya, Tonya (Rae’Ven Larrymore Kelly) yang masih berusia 10 tahun diperkosa, dianiaya, dan menjadi korban percobaan pembunuhan oleh dua warga kulit putih rasis. Sebagai ayah, hati Carl Lee hancur berkeping-keping melihat anaknya sekarat dengan rahim rusak dan tubuh penuh darah.
Perasaan marah luar biasa berkecamuk dalam diri Carl Lee dan berujung pada aksinya menembak dua pemerkosa Tonya hingga mereka tewas. Ayah gadis itu membunuh para pemerkosa dengan darah dingin dalam perjalanan mereka ke sidang pengadilan dan melumpuhkan seorang wakilnya dalam prosesnya. Kini kasus hukum menjadi berubah haluan, menjadi kasus pemidanaan Carl Lee ke muka pengadilan.
Dengan bermodalkan simpati, Carl Lee menyewa Jake Tyler Brigance (Matthew McConaughey) sebagai kuasa hukumnya. Sedari awal Jake mengetahui kasus pemerkosaan Tonya, ia langsung terbakar dalam kecamuk emosi, hatinya sebagai seorang ayah dari gadis kecil juga ikut merasakan penderitaan dan perasaan marah Carl Lee.
A Time to Kill merupakan film adaptasi novel karya John Grisham, seorang penulis yang juga merupakan pengacara profesional. Novel Grisham ini dihidupkan oleh para pemeran yang luar biasa dan Sutradara Joel Schumacher yang visioner, film ini menggali jauh ke dalam kompleksitas ras, keadilan, dan kompas moral masyarakat.
Dengan perpaduan yang kuat antara ketegangan, emosi yang kuat, dan tema yang menggugah pikiran, film ini diperkuat dengan peran Ellen Roark (Sandra Bullock), seorang mahasiswi hukum yang jenius dan ambisius. Tak lupa pula, peran Harry Rex Vonner (Oliver Platt), sebagai pengacara spesialis perceraian.
Jake berusaha agar timnya ini mampu mengalahkan jaksa penuntut Rufus Buckley (Kevin Spacey) yang terkenal licik dan haus akan publisitas. McConaughey sangat baik membawakan perannya sebagai pengacara yang pasrah sekaligus optimis.
Mata berkaca-kaca, suara begetar, helaan napas panjang, dapat membuat setiap orang tersentuh dengan kemampuan akting Jake. Di luar pertarungan hukum yang menegangkan, A Time to Kill menimbulkan pertanyaan mendalam tentang sifat keadilan, rasisme, dan sejauh mana seseorang akan berusaha untuk melindungi orang yang mereka cintai.
Pada akhirnya, A Time to Kill adalah film menggugah pikiran akan kemenangan jiwa manusia dan dakwaan atas ketidakadilan yang terus melanda masyarakat kita. Film ini menjadi pengingat bahwa keadilan adalah konsep yang kompleks dan memiliki banyak sisi.
Ada saat-saat di mana batas antara benar dan salah menjadi kabur, sehingga meninggalkan pertanyaan yang menggelisahkan bagi kita: Apa yang akan kita lakukan jika dihadapkan pada situasi yang sama?
A Time to Kill mencontohkan kekuatan dan keberanian dalam menghadapi kesulitan. Karakter seperti Carl Lee Hailey dan Jake Brigance menunjukkan keberanian yang tak tergoyahkan saat mereka menavigasi lingkungan yang tidak bersahabat untuk memperjuangkan apa yang mereka yakini benar.
Film ini menginspirasi kita untuk menemukan kekuatan dalam diri kita sendiri untuk melawan ketidakadilan, bahkan ketika rintangannya tampak tidak dapat diatasi. Sutradara Joel Schumacher berhasil merancang penutup film ini, di mana Jake bermonolog ketika mengutarakan pandangan akhirnya dalam ruang sidang.
Semua orang dalam ruang itu tertegun dan tergugah dengan setiap kata yang keluar dari mulut Jake, penonton yang menyaksikan pun sepertinya dapat merinding meresapi kalimat demi kalimatnya. A Time to Kill mengingatkan kita bahwa hukum itu perlu dicari, karena ia terkadang tersembunyi, jauh dari kemampuan kita sebagai manusia untuk melihatnya.
Oleh karena itu kebenaran dan keadilan tidak bisa ditegakkan dengan akal pikiran dan peraturan hukum semata. Hati nurani manusia perlu digunakan untuk mencapai hukum yang setara bagi semua orang.
Mario Farrasda AS