Gelar budayawan sudah melekat pada sosok Abdi Mahesa, saat ia mendapat undangan sebagai pemateri. Mahasiswa Sastra Daerah Unhas ini kerap kali disebut-sebut sebagai budayawan bugis termuda. Walaupun ia belum resmi dilantik sebagai budayawan. “Saya sebenarnya belum menjadi budayawan, itu hanya julukan orang-orang saja,” katanya sambil tertawa kecil.
Ketertarikannya pada budaya bugis dimulai sejak ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ia rajin membaca aksara lontara hingga mengkajinya. Ketika menduduki bangku kelas dua Sekolah Menengah Atas (SMA), Abdi memilih bergabung ke dalam organisasi kebudayaan yang bernama Sekolah Bugis. Organisasi ini bergerak dalam membangun kesadaran masyarakat terhadap budaya.
“Budaya adalah tanggung jawab yang tak jauh dari kondisi sosial.Sehingga butuh penyegaran dari pemuda untuk membangun kearifan lokal,” katanya.
Setelah lulus SMA, lelaki kelahiran Pare-Pare 18 Mei 1998 ini menyelami ilmu kebudayaan dengan melanjutkan pendidikan di Sekolah Lamellong Yayasan Sulapa’ Eppa’E, Kabupaten Bone. Peserta didik sekolah ini bukan hanya siswa saja, tetapi kebanyakan adalah guru muatan lokal atau bahasa daerah. Sebagian besar pematerinya juga berasal dari tokoh-tokoh budaya dan adat Kabupaten Bone.
“Di sekolah bugis itu, Saya banyak belajar bahasa, aksara, kesuastraan, sejarah dan kebudayaan Bugis-Makassar,” katanya, ketika diwawancarai reporter identitas.
Abdi merupakan alumnus pertama yang lahir dari Sekolah Bugis Lamellong. Ia juga peserta termuda. Saat itu, usianya baru 16 tahun, sedangkan peserta didik lainnya rata-rata sudah berusia 30 tahun. Saat mengemban status sebagai lulusan sekolah itu, ia bertugas sebagai informan sekaligus pemerhati budaya bugis.
“Saat itu, saya banyak menerima undangan permintaan materi dari berbagai organisasi maupun komunitas di Makassar,” ujarnya.
Di era teknologi saat ini, Abdi melihat nilai-nilai budaya, sekarang ini sudah jarang ditemukan pada tindakan maupun pemikiran anak muda. Untuk itu, ia sering mengajar di sekolah-sekolah, memberi kampanye kebudayaan melalui diskusi, dan mengajak masyarakat untuk sadar akan pentingnya nilai-nilai budaya.
Mahasiswa Angkatan 2016 ini juga terlibat dalam penyusunan naskah aksara Bone. Peranannya, sebagai penerjemah setiap aksara bugis yang nantinya akan diterbitkan dalam bentuk buku. Selain itu, ia terlibat dalam penyusunan naskah lontara mengenai sejarah dari Raja Bone pertama hingga terakhir, yang juga merupakan cita-cita departemen sastra daerah.
“Dosen saya menunjuk saya karena sudah terbiasa terlibat secara amatir dengan kegiatan kebudayaan. Saya punya keterampilan lewat pengalaman, dan saya senang bisa dilibatkan untuk membantu dosen-dosen dalam edisi teks tersebut” ujarnya.
Menurutnya, semua hal yang dikerjakannya adalah bentuk tanggungjawab dan kepeduliannya akan budaya. Tak jarang Abdi mengorbankan waktu istirahatnya untuk mengerjakan hal-hal yang bersifat produktif.
“Menikmati pengorbanan, pantang menyerah dan ikhlas dalam berbuat. Bangsa yang besar harus dibangun dengan produktivitas,” tuturnya.
Kedepannya, Abdi ingin menjadi guru. Guru bagi siapa. “Saya hanya ingin mengajar, mengajar dan mengajar,”. Menjadi guru selalu tertanam dalam dirinya. Untuk itu, ia ingin fokus kuliah dan mengkaji kebudayaan lewat diskusi, dan menghadiri undangan permintaan materi dari berbagai lembaga untuk memperluas jaringannya.
Reporter: Fatyan Aulivia