Prof Dr Achmad Ali SH lahir di Makassar pada 9 November 1952. Ia memiliki seorang kakek berprofesi sebagai kiai. Dalam rumahnya, ia tinggal bersama sekitar 20 kerabatnya.
Masa kecil, anak pertama dari tujuh bersaudara pasangan Muhammad Ali Saleh dan Siti Aida ini dekat dengan neneknya. Dilansir dari Republika.co.id, tinggal bersama neneknya meninggalkan kesan mendalam. Hal yang paling dikenang ketika bulan Ramadhan tiba. Saat ia berbuka dengan menu bubur ayam buatan neneknya.
Selain penyayang, ia juga dikenal dengan sifat yang selalu membela keadilan. Terbukti semasa hidup, Achmad Ali pernah berprofesi sebagai pengacara, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Dekan Fakultas Hukum Unhas dua periode, hingga staf ahli Jaksa Agung, Prof Dr Baharuddin Lopa SH.
Sikap membela dan menegakkan hukum sudah tampak sejak ia kuliah Strata 1 di Unhas. Tahun 1977, baru tiga tahun di kampus, dia menjabat sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Hukum. Saat itu, mahasiswa masih membicarakan dan mengkritik kasus Malari 1974. Akibat aksi yang dilakukan, Ali dan rombongan aktivis mahasiswa Unhas ditangkap dan ditahan aparat militer selama enam bulan.
Selain di lembaga fakultas, ia juga pernah menjadi bagian dari Penerbitan Kampus identitas Unhas. Bersama Dahlan Abubakar, Marwah Daud, dan Musbini Musa, ia mengikuti Pendidikan Jurnalistik Unhas pada November 1975. Lalu, dipercayakan sebagai Kepala Humas Unhas ex officio Pemimpin Redaksi identitas pada tahun 1987-1988. Ketika itu, identitas masih naungan Humas Unhas.
Achmad Ali menyelesaikan kuliah strata satu pada tahun 1979. Setelah itu, pria ini berkarir sebagai penasihat hukum atau pengacara. Kemudian, Ali melanjutkan pendidikan Pascasarjana di UGM dan kembali ke Unhas untuk menyelesaikan pendidikan doktornya pada tahun 1998.
Menjalani dunia baru sebagai pengajar di Unhas, ia pernah menjabat Dekan Fakultas Hukum Unhas selama dua periode yakni 1994-2001. Saat itu, Guru Besar Sosiologi Hukum ini tercatat sebagai dekan termuda karena baru berusia 46 tahun.
Selama bekerja di bidang hukum, Ali menorehkan berbagai prestasi. Pernah menjabat sebagai Ketua Program S3 Ilmu Hukum, mantan anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor. Dalam menjalani profesinya itu, pria yang sudah menulis 29 buah buku ini terkenal dengan sikap tegas dan konsisten akan penegakan keadilan dan supremasi hukum.
Kalimat yang selalu terucap setiap berbagai kesempatan adalah jangan menyapu dengan menggunakan sapu kotor. Harus dengan sapu bersih. Maksudnya, jika menegakkan hukum harus menggunakan sosok yang bersih dari berbagai kasus hukum.
Selain berkarir di bidang hukum, Achmad Ali juga gemar bela diri. Terbukti, pemilik sabuk hitam dan VII Internasional ini tercatat sebagai Ketua Dewan Guru Nasional Gojukai se-Indonesia. Halaman belakang rumahnya ia jadikan sebagai tempat latihan. Lelaki ini juga menyandang gelar Dan V Gojukai sejak tahun 1990 dan pernah menjadi wasit nasional tahun 1976 di kejuaraan Asia Pasifik.
Pria yang memiliki postur tegap, cakap dan berwibawa ini meninggal pada usia 60 tahun. Ia meninggalkan seorang istri dan dua orang putra. Istrinya bernama Dr Wiwie Heryani dan putranya Muh Musashi Achmad Putra SH MH dan Cikara Ahmad Putra yang saat ini menjadi seorang pengusaha swasta di Jakarta.
Kala itu, setelah menulis buku berjudul restorative justice dan psikologi hukum, kondisi kesehatan Achmad Ali mengalami penurunan. Ia lalu dilarikan ke Rumah Sakit Stella Maris Makassar dan dirawat selama lima hari. Lalu, dipindahkan ke RS Pertamina Jakarta selam dua minggu.
Selanjutnya, guru besar Fakultas Hukum ini dipulangkan dan dirawat di RS Pendidikan Unhas selama seminggu. Penyakit diabetes yang diderita membuatnya menghembuskan napas terakhirnya minggu (17/6/2012) pukul 09.00 Wita. Beliau di makamkan di Pekuburan Unhas Pattene Kabupaten Maros.
Penulis: Muh. Nawir