Pemuda adalah jembatan untuk meneruskan perjuangan bangsa. Perjuangan itu tidak sebatas mengangkat senjata untuk mencapai kemerdekaan, melainkan juga dalam memerangi kebodohan maupun kemalasan. Momentum peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2025 ini bisa digunakan sebagai refleksi atas perjuangan para pemuda-pemuda terdahulu dalam memerangi penjajah.
Perjuangan pemuda di masa kini tidak lagi melulu soal angkat senjata, tetapi juga berkaitan dengan girah untuk berpikir lebih kritis dan tidak terlalu bergantung pada teknologi. Pikiran hanya bisa kritis jika selalu digunakan. Sebaliknya, pikiran bisa tumpul jika dibiarkan mengenaskan dengan mengurangi intensitasnya.
Pemuda dan Ironi Pengunaan AI
Tidak dapat dipungkiri bahwa kecerdasan buatan (AI) telah terintegrasi dalam kebutuhan hidup tiap-tiap manusia. Bahkan, hampir semua kalangan sudah mencicipi segala kemudahan yang ditawarkan oleh AI. Sebenarnya, tidak ada masalah jika setiap orang menggunakan AI untuk memenuhi kebutuhannya.
Hanya saja, banyak hal harus diperhatikan ketika hendak menggunakannya, termasuk aspek privasi. Apatah lagi, akhir-akhir ini banyak orang tergiur dengan mode AI yang mampu mengedit foto dengan hasil yang luar biasa. Segala foto diunggah ke dalam prompt AI untuk dimodifikasi sedemikian rupa. Ini menjadi perhatian khusus, karena tidak banyak masyarakat yang paham mengenai dampak buruk dari penggunaan AI secara berlebihan.
Ratusan perusahaan di dunia kini melarang penggunaan chatbot DeepSeek AI asal Tiongkok, karena dianggap membawa risiko serius terhadap keamanan data. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, karena sejumlah perusahaan keamanan siber, termasuk Armis Inc dan Netskope Inc melaporkan meningkatnya permintaan pemblokiran akses ke platform tersebut. Bahkan, lebih dari separuh klien Netskope memilih memblokir DeepSeek demi mencegah potensi kebocoran informasi sensitif ke pihak asing, terutama pemerintah Tiongkok.
Tempo melaporkan, penggunaan AI di Indonesia terus meningkat signifikan. Berdasarkan riset Kantar, sekitar 59 persen masyarakat Indonesia telah mencoba teknologi AI dalam beberapa tahun terakhir. Direktur Kantar Indonesia, Ummu Hani menyebut tingginya tingkat penggunaan AI menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya menggunakan AI untuk hiburan, tetapi juga untuk meningkatkan produktivitas, belajar hal baru, dan mengembangkan karir.
Studi tersebut juga menemukan adanya perbedaan pola pemanfaatan antar generasi. Tercatat sekitar 74 persen generasi Z memakai AI untuk mengekspresikan kreativitas, membuat konten, dan membangun citra diri, sementara 80 persen generasi Milenial dan gen X lebih banyak menggunakannya untuk menunjang pekerjaan dan efisiensi aktivitas profesional.
AI sebenarnya memiliki sisi gelap yang perlu dipahami, khususnya bagi kaum pemuda dan mahasiswa. Di mana akses digital bagi kawula muda sangatlah masif, bahkan sulit dibendung. Pemuda, termasuk mahasiswa pada dasarnya memiliki andil yang cukup besar dalam penggunaan AI, bahkan dalam mengerjakan tugas-tugas baik itu untuk keperluan sekolah atau kampus telah banyak menggunakan AI.
Secara sederhana hal itu tidak masalah, tapi kalau ditelisik lebih jauh, penggunaan AI secara terus menerus untuk kebutuhan mengerjakan tugas seperti paper, makalah, esai dan sebagainya akan menimbulkan kebiasaan baru bahkan ketergantungan.
Penelitian yang dilakukan oleh Institut Teknologi Massachusetts (MIT) menunjukkan bahwa mahasiswa yang mengandalkan AI justru memperoleh nilai lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang menulis tanpa bantuan teknologi.
Sebagaimana dilaporkan oleh Harian Kompas, dalam studi yang melibatkan 54 mahasiswa yang dibagi menjadi tiga kelompok, kelompok yang menulis secara mandiri memperlihatkan aktivitas otak paling optimal serta kemampuan analisis dan argumentasi yang lebih baik. Sebaliknya, kelompok yang menggunakan mesin pencari internet mengalami penurunan fokus karena perhatian mereka terpecah. Sementara kelompok pengguna ChatGPT memperoleh nilai terendah karena tidak mampu menjelaskan isi maupun referensi esai yang mereka hasilkan.
Meskipun masih dalam peninjauan sejawat dosen, temuan ini menjadi peringatan penting terhadap risiko ketergantungan AI dalam dunia pendidikan apabila penggunaannya tidak diatur dengan jelas dan disertai panduan yang mendidik mahasiswa untuk tetap berpikir kritis dan memahami substansi pengetahuan yang mereka tulis.
Sebenarnya, Ditbelmawa Ditjen Diktiristek Kemendikbudristek pada 2024 telah menerbitkan Buku Panduan Penggunaan Generative AI pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Di dalam panduan itu, dijelaskan pemanfaatan AI di lingkungan akademik harus dilakukan secara etis dan bertanggung jawab agar tidak mengikis integritas akademik dan kemampuan berpikir kritis mahasiswa.
Panduan ini menegaskan pula mengenai salah satu risiko utama penggunaan AI (seperti ChatGPT) adalah munculnya ketergantungan yang dapat melemahkan proses analisis mandiri serta menurunkan kejujuran akademik.
Karena itu, mahasiswa perlu memiliki literasi AI yang baik guna memahami batasan penggunaan teknologi ini, serta mampu mengevaluasi kebenaran dan bias dari hasil yang diberikan mesin pencari. Penggunaan AI seharusnya diarahkan untuk memperkuat kreativitas, analisis, dan refleksi pribadi, bukan menggantikan proses berpikir.
Filterisasi versus Mode Malas Pemuda
Sebagai bangsa berdaulat, hak setiap warga negara Indonesia yang ingin menggunakan AI sebagai instrumen dalam mengumpulkan informasi perlu dihargai. Tapi, penggunaan AI yang berlebihan bisa menjadi ancaman keberlangsungan kecerdasan pemuda.
Hal ini diperparah dengan adanya rasa malas dan ketergantungan yang biasanya menyerang sebagian besar pemuda. Semakin dibuai dengan kemudahan, daya nalar semakin menurun. Termasuk juga kebiasaan copy paste tanpa verifikasi semakin menjalar.
Salah satu contoh menarik datang dari Jocelyn Leitzinger, dosen di Universitas Illinois Chicago, Amerika Serikat. Dalam tugas menulis esai bertema diskriminasi sosial, ia mendapati hampir semua mahasiswa menulis tentang sosok fiktif bernama “Sally” sebagai korban diskriminasi. Dari keseragaman itu, Leitzinger menyadari bahwa para mahasiswa menggunakan ChatGPT untuk menyusun tugas mereka.
Menukil dari Harian Kompas, Leitzinger menuturkan, sistem AI tersebut kerap menggunakan nama Sally dalam teks yang dihasilkannya. Lebih ironis lagi, sekitar 180 mahasiswa diketahui mengandalkan AI untuk setiap tugas kuliah termasuk ketika diminta menulis esai tentang penyalahgunaan AI dalam dunia pendidikan tinggi.
Dapat dibayangkan, jika kampus yang berperan sebagai tempat lahirnya insan cerdas justru menghasilkan lulusan yang cenderung berpikir instan dan pragmatis. Maka hal itu tentu menjadi sinyal bagi dunia pendidikan tinggi untuk kembali meninjau arah dan kualitas pembelajarannya agar tetap sejalan dengan nilai-nilai akademik yang sejati dan luhur.
Metode pembelajaran yang lebih modern kini diperlukan tapi tidak kebablasan dalam penggunaan AI. Kampus tidak boleh menolak kemajuan teknologi (termasuk AI). Namun, dengan adanya AI diharapkan bisa membantu menciptakan sistem pembelajaran yang lebih kreatif dan tetap mengedepankan nalar kritis dari setiap individu.
Selain itu, fakta fenomena penggunaan DeepFake untuk kejahatan perlu dicermati dengan saksama dan juga dihindari. Mekanisme filterisasi yang kokoh dibutuhkan untuk menangkal efek buruk dari akal imitasi tersebut. Tanpa penyaring yang jelas, teknologi berpotensi menjadi ancaman mulai dari penyalahgunaan data, plagiarisme, bahkan hilangnya kemampuan berpikir kritis.
Karena itu, lembaga pendidikan, institusi publik, dan dunia industri perlu menerapkan mekanisme pengawasan, verifikasi, serta kebijakan etis yang memastikan AI digunakan dengan penuh tanggung jawab.
Filterisasi bukan berarti menolak kemajuan, melainkan membingkai inovasi agar tetap berpihak pada nilai kemanusiaan, keamanan, dan intelektualitas. Dengan langkah ini, AI dapat berfungsi sebagai mitra cerdas yang memperkuat daya pikir manusia, bukan menggantikannya.
Pada akhirnya, kita berharap kepada seluruh kampus di Indonesia untuk senantiasa menjaga marwah akademik dengan mempertimbangkan penggunaan AI dalam sistem pembelajaran. Hal ini untuk menjaga kemurnian pikiran dan menjaga nalar ilmiah sebagai insan akademis.
M Aris Munandar
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
