Tak dapat dipungkiri bahwa perkuliahan memerlukan biaya yang besar, mulai dari pembayaran UKT, tempat tinggal, perlengkapan, hingga kebutuhan sehari-hari mahasiswa. Tak ayal, banyak mahasiswa yang mengejar beasiswa untuk menutupi berbagai biaya tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, pilihan beasiswa bagi mahasiswa semakin beragam. Bagi yang kurang mampu dapat mendaftar beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) dari pemerintah. Beasiswa berbasis prestasi juga ada bagi yang berprestasi seperti Beasiswa Generasi Baru (GenBI) dari Bank Indonesia dan banyak lainnya. Tersedianya banyak pilihan beasiswa tentunya memberikan lebih banyak kemudahan untuk duduk di perguruan tinggi.
Tetapi, bukan berarti pemberian beasiswa ini tanpa celah. Di Kampus Merah sendiri, banyaknya kasus keterlambatan penyaluran, kesalahan penginputan data, hingga pungutan liar (pungli) di tingkat fakultas menambah daftar dosa-dosa berkaitan beasiswa di Unhas
Menyelami terbitan identitas edisi akhir Mei 2006 lalu, mahasiswa Fakultas Sastra (sebelum berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya) mewajibkan mahasiswanya membayar untuk pengurusan beasiswa. Pembayaran dilakukan di bagian kemahasiswaan fakultas dengan besaran yang bervariasi, mulai dari Rp5.000 hingga Rp30.000.
“Biaya lima ribu ini dikenakan untuk pengurusan rekomendasi, formulir, surat keterangan berkelakuan baik, transkrip nilai, serta map,” ujar Drs Agus Diran selaku Kepala Sub Bagian Kemahasiswaan FS saat itu.
Selain pembayaran tersebut, penerima beasiswa juga harus merelakan sebesar lima persen dari jumlah beasiswanya. Hal demikian terjadi berdasarkan kesepakatan antara Pembantu Dekan (PD) Bidang Kemahasiswaan dengan Badan Eksekutif Mahasiswa dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa.
Dana tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan mahasiswa di organisasi mahasiswa FS karena kurangnya dana kemahasiswaan fakultas. “Dana kemahasiswaan kami hanya 12 juta sementara himpunan dan unit kegiatan kami banyak,” ungkap PD Bidang Kemahasiswaan kala itu, Drs Fathur Rahman MHum.
Bagai jatuh tertimpa tangga, mahasiswa juga harus berhadapan dengan pegawai nakal meminta potongan yang lebih besar dari jumlah kesepakatan awal bahkan mengambil separuh beasiswa tersebut. Terbitan identitas awal Agustus 2010 lalu mencatatkan adanya kejadian dana beasiswa mahasiswa diambil oleh oknum pegawai.
Meutya (nama samaran), mahasiswa Fakultas Farmasi yang menjadi korban menjelaskan bahwa dana beasiswa pertama yang seharusnya diterimanya diambil oleh oknum pegawai yang akan diberikan kepada mahasiswa lama yang lebih berhak.
Permintaan dana tersebut tidak hanya dilakukan pada awal perkuliahan tetapi hingga memasuki semester selanjutnya. AR yang merupakan oknum pegawai gencar meminta bagian beasiswa kepada beberapa mahasiswa.
Menanggapi tuduhan ini, AR mengungkapkan bahwa pemberian uang hanya sebatas ‘ucapan terima kasih’ yang diberikan mahasiswa kepada dirinya semata. “Tidak enak juga kalau ditolak, Tidak ada intervensi. 25 ribu – 50 ribu itu pun jarang. Paling satu dua orang yang memberi. Bahkan, pernah juga tidak ada,” ungkapnya.
Selain itu, kesalahan administrasi juga ditemukan dalam pemberian beasiswa di Unhas. Terbitan identitas awal Agustus 2010 menyebutkan Arman, salah seorang mahasiswa Fakultas Hukum yang mendapatkan beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa hanya dapat menerima satu kali dari yang seharusnya dua kali akibat kesalahan administrasi.
Lain hal dengan Siska (nama samaran), mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi tersebut malah menerima beasiswa yang tidak didaftarkannya dan menurut aturan tidak dapat lagi diterimanya karena telah berstatus sebagai mahasiswa akhir.
Menanggapi hal itu, Kepala Administrasi Kemahasiswaan Unhas kala itu, H Massapeary SH MH mengatakan penginputan data didasarkan pada surat rekomendasi dari masing-masing fakultas. “Kalau ada kesalahan penginputan data itu terjadi di bagian staf, kedepannya tidak akan terjadi lagi dan akan menjadi masukan untuk kami,” ujarnya.
Mirisnya lagi, ada pula kasus kerja sama antara mahasiswa dengan pegawai untuk memuluskan penerimaan beasiswa. Mahasiswa yang sebelumnya tidak memenuhi syarat untuk menerima beasiswa dapat disulap oleh pegawai agar dapat lolos dengan mudah.
Nisa (nama samaran), seorang mahasiswa profesi Apoteker yang mendapatkan beasiswa khusus Strata satu menceritakan intrik tersebut terjadi dengan mendekati seorang pegawai untuk memperoleh simpati sekaligus memberikan uang ‘pelicin’ sehingga terbentuk hubungan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) antar keduanya.
Kasus-kasus seperti pembayaran untuk pengurusan beasiswa, pemotongan dana beasiswa oleh oknum pegawai, kesalahan administrasi, dan kerja sama yang hina menunjukkan bahwa sistem pemberian beasiswa tidak selalu berjalan dengan benar dan adil. Hal demikian dapat merugikan mahasiswa secara finansial dan menunjukkan adanya kebobrokan sistem administrasi kampus.
Dalam menghadapi masalah ini, tindakan yang terarah dalam pengelolaan dan penyaluran beasiswa amat diperlukan. Termasuk perihal transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang super ketat. Penting untuk memastikan bahwa proses pemberian beasiswa dilakukan secara adil dan tidak memihak serta membasmi praktik tercela seperti pungli dan kolusi antara mahasiswa dan pegawai.
M. Ridwan