Selamat datang tahun 2025. Ternyata sudah sekian bulan kita lalui. Tahun di mana segala kompleksitas hidup mulai menghadang dengan level yang berbeda-beda di setiap individu manusia. Begitu pula dengan diriku yang tidak jauh dengan rintangan yang menghadang sebagai manusia pada lazimnya. Acap kali disebut sebagai cobaan.
Kali ini, aku sudah menginjak semester akhir dan tak dinyana di identitas, aku didaulat sebagai Redaktur Pelaksana untuk periode 2025. Di momen itu petir seakan-akan menyambar diriku. Bukan apanya, apa yang aku rencanakan jauh-jauh hari menuju semester akhir terpaksa aku rombak.
Tahu apa artinya? Semester tua sudah menanti dan tantangan di semester akhir bisa saja lebih keras untuk ditekuk. Onde mande…
Dikata menyesal jadi orang nomor wahid di identitas, tidak juga. Jujurlah, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk setahun ke depan. Karena itulah cermin ini hadir sebagai refleksi pribadiku. Setidaknya ini bisa menjadi suatu pembelajaran di masa yang akan datang.
Semua orang pasti mengalami kebingungan dan kadangkala merasa hampa dalam hidup. Lazimnya karena capek dan/atau stres setelah menghadapi suatu realita. Jika tidak disikapi dengan tepat dan tenang, umumnya bisa menjadi petaka.
Petaka bisa datang dalam berbagai bentuk. Bisa jadi kehabisan uang saku, ngalor-ngidul, bahkan terburuknya adalah… aish… sulit untuk kutuliskan. Petaka tersebut bisa mengancam kewarasan seseorang kapan saja.
Menurutku, kewarasan seseorang tidak tentu sekuat yang diharapkan. Semakin bertambah usia kita, semakin rawan kewarasan kita ‘terjun bebas’. Menjaga kewarasan sebetulnya diperlukan untuk menjaga ritme hidup sekaligus menjaga keselamatan orang-orang di sekitar kita.
Sekarang, aku pun seringkali kebingungan dalam keseharianku. Dari pagi hingga pagi, apa yang harus kulakukan?
Membiarkan masa berlalu dengan begitu saja tanpa melakukan sesuatu atau berupaya mencoba sesuatu untuk menghindari kekosongan hidup? Amit-amit kewarasanku terjun bebas, duh!
Menjadi dewasa adalah keniscayaan dan mustahil untuk kembali menjadi anak-anak seperti sebelumnya. Adegan dewasa─bukan film biru─kita harus lalui selayaknya orang tua sebagai contoh terdekat kita. Perlahan tapi pasti, salah satunya adalah kita dihadapkan dengan pilihan yang bisa saja terlihat enteng, tapi dibuat pusing hingga menguras emosi akibat benturan kepentingan.
Aku pun sebenarnya tidak siap untuk menjadi dewasa, tapi waktulah yang menuntut diriku untuk siap. Siap atau tidak siap sama dengan siap, untuk menerjang apa saja meski di tengah jalan harus menangis sesenggukan.
Tak ada yang salah dari pernyataan itu. Mungkin satu pertanyaan besar berputar di dalam pikiran kita dan nampaknya perlu disikapi dengan segera, tanpa terlihat tergesa-gesa adalah…
“Aku mulai dari mana ya?”
Salah satu cara untuk menjaga kewarasan diri kita, menurut pribadi adalah mengetahui ke mana kita harus memulai.
“Ah… sok bijak kau…”
Aku tahu kalimat itu pasti ada, setidaknya aku mencoba lebih dulu.
“Aku mulai dari ini atau… itu?”
Seringkali kita dihadapkan lagi dengan opsi yang beragam untuk memulai sesuatu. Tidak semuanya membuat kita dituntut untuk memikirkannya, di antaranya bisa saja diputuskan dengan taktis.
Apakah ini terkait dengan kehidupan kita sebagai manusia? Iya, itulah jawabannya.
Kita mulai dengan memahami diri sendiri dan realita di sekitar. Dahulukan mengenal diri, bisa saja melihat diri sendiri. Boleh juga meminta teman kamu untuk ceritakan dirimu selama ini.
Ada satu trik yang aku pikir cukup membantu dalam mengenali diri sendiri. Itulah metode Johari Window. Metode ini pernah dipraktikkan dalam salah satu mata kuliah wajib di departemenku semester lalu. Metode tersebut dilakukan dengan mendeskripsikan seseorang yang hendak dinilai dengan kata-kata yang disiapkan sebelumnya untuk menggambarkan kepribadian orang itu.
Blind spot pada manusia tentu ada dan berupa sesuatu yang tidak disadari oleh diri sendiri, melainkan diketahui oleh orang lain. Metode Johari Window inilah menjadi salah satu cara untuk menyadarkan orang yang kita deskripsikan.
Berikutnya adalah melihat realita. Tentu tidak sebanding dengan ekspektasi dan jarang berbanding lurus. Tugas kita adalah mencoba mengimbanginya, jika tidak bisa berbanding persis dengan diharapkan, cukup yang mendekati saja.
Selanjutnya apa? Tentukan apa yang harus dilakukan untuk mencapai suatu hal atau menjawab atas realita yang dihadapi. Ini kembali pada kehendak masing-masing disesuaikan pada situasi yang dihadapi. Jangan kaku.
Seterusnya adalah merenung. Ini bukan ajakan gagal move on atau meratapi kegagalan atau kesialan yang menimpa, melainkan memikirkan apa saja yang telah terjadi dan adakah yang perlu diperbaiki ke depannya.
Cerita di atas sepertinya mudah, tapi kenyataannya pasti beda cerita. Hal-hal yang kusebutkan tadi hanyalah dasar bagi diri kita untuk memulai sesuatu demi tujuan yang diinginkan.
Hidup ibarat sintaks komputer IF dan ELSE. Tidak selamanya yang direncanakan pasti terjadi, ada saja batu sandungannya dan di situlah kita dituntut untuk ‘banting setir’ dengan cepat dalam melakukan sesuatu.
Tak salah hidup dibawa santai saja, tapi jangan sampai kehilangan arah. Soalnya kualat. Kalau bukan uang menipis, amit-amit kewarasan terjun bebas.
Yah… Semoga hidup kita senantiasa terarah dan tidak latah ikut arus kehidupan.
Muhammad Nur Ilham
Mahasiswa Fakultas Teknik 2021
sekaligus Redaktur Pelaksana PK identitas Unhas 2025