Mulai tanggal 02 hingga 31 Mei setiap tahun dikenal di Indonesia, sebagai Bulan Buku Nasional (BBN) yang tahun 2020 lalu dan 2021 ini, berlangsung dalam Era Pandemi Covid-19. Bahkan BBN itu hampir bersamaan Nus’ul Qur’an (turumnya bacaan/kitab) tanggal 29 April 2021. Yang hanya diperingati dalam bentuk pidato-pidato dan pujian-pujian, tanpa gerakan subtansial strategis.
Bacaan atau kitab yang dimaksud itu berisi firman Allah swt, sabda dan akhlak Nabi Muhammad saw, serta karya-karya manusia sebagai khalifah Tuhan dimuka bumi dalam bentuk ilmu. Sedangkan indeks aktivitas literasi baca (Alibaca) di Indonesia hanya 37,32 (rendah). Provinsi DKI Jakarta berada diposisi pertama (58,6) dan Provisi Sulsel, diposisi ke-12 (38,82).
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak awal 2020, telah memaksa pendidikan tatap-muka diganti menjadi pendidikan daring, dengan menerapkan pembelajaran jarak jauh, yang membuat Alibaca generasi muda (pelajar dan mahasiswa) menurun dratis. Hal itu sangat terasa di Indonesia, yang kekurangan buku. Seperti tahun-tahun lalu BBN tidak pernah disikapi dengan gerakan penerbitan buku besar-besaran untuk menolong generasi-muda dari ancaman kebodohan.
Sejak tahun 1995 telah muncul dibeberapa koran “iklan layanan masyarakat” berbunyi, “Indonesiaku Kurang Buku” yaitu hanya 0,0009% dari total penduduk. Artinya hanya sembilan buku, untuk sejuta orang, atau 09 buku untuk 1.000 orang.
Setelah melalui durasi 25 tahun, kini ada kenaikan sedikit menjadi satu buku untuk 1.000 orang, jauh dibawah Singapura (1 buku untuk 2 orang). Penerbitan buku di Indonesia hanya, 10 buku/sejuta penduduk, jauh dari China (629/sejuta), Korea Selatan (237/sejuta), Malaysia (200/sejuta), India (161/sejuta), Thailand (138/sejuta), Brunai (93/sejuta), dan Iran (81 buku/sejuta penduduk).
Data tersebut menunjukkan Alibaca kita sangat rendah, sehingga bangsa kita: miskin, bodoh, dan sakit-sakitan (MBS), yang dibuktikan hadirnya tiga kartu Presiden Joko Widodo, yaitu: Kartu Indonesia Sejaktera, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat. Tingkat kecerdasan (IQ) bangsa kita hanya rata-rata 82. Sedangkan bangsa Singapura yang tercerdas di dunia, IQ-nya 108, disusul Korea Selatan (106), Jepang (105), China (104), dan Taiwan (102).
Tak salah jika, UNESCO (2015) menempatkan budaya baca penduduk Indonesia pada posisi ke-60 dari 64 negara (2015). Bahkan “Central Connecticut State University” di Amerika Serikat (2016), menempatkan Literasi Nasional kita diposisi ke-60 dari 61 negara. Indonesia hanya unggul dari Botswana di Afrika. Sebaliknya negara-negara Nordic, seperti Finlandia, Norwegia, Denmark, dan Swedia berada diperingkat lima besar dunia.
Demikian juga PISA (Programme for International Student Assesment), mengumumkan di London (6-12-16) bahwa meskipun literasi anak Indonesia meningkat, namun masih diposisi ke-64 dari 72 negara. Sedangkan urutan lima besar terbaik dunia adalah: Singapura, Jepang, Taiwan, dan Firlandia.
Kondisi sosial kulutral dan eknomi tersebut, menggambarkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta lembaga pendidikan dan masyarakat, sepertinya tak memiliki kepedulian terhadap “petaka kemanusiaan” yang kita alami. Padahal penduduk Indonesia yang 88% Muslim, diwajibkan membaca (surat Al-Alaq) dan menulis (surat Al-Qalam) dari Tuhan kepada Rasulullah Muhammad swt dan ummatnya. Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk terbaik dan menjadikan khalifah-Nya dibumi, dengan memberi otak untuk berpikir dan bernalar melalui Alibaca.
Artinya manusia itu makhluk pembaca dan penulis yang otaknya memiliki memori 30–70 triliun giga dan 30 miliar saraf yang bekerja untuk melahirkan kecerdasan, emosional, spiritual, sosial, dan kecerdasan intelektual dalam wujud iman, takwa, akhlak mulia, dan amal saleh, serta ilmu dan teknologi untuk memakmurkan bumi dan memajukan peradaban.
Iqra (bacalah) merupakan kata kerja tanpa objek, sehingga objeknya bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dijangkau pancaindra, baik ‘bacaan suci dari Allah’ atau ayat-ayat tertulis (kauliah), maupun yang tak tertulis (kauniah). Iqra bermakna membaca, menganilisis, dan menulis fenomena alam dan fenomena masyarakat untuk membangun peradaban.
***
Pada masa pandemi Covid-19, dengan pembelajaran jarak jauh tanpa buku cetak bagi setiap mahasiswa, dapat dipastikan minimnya ilmu yang diperoleh generasi muda kita. Alibaca generasi-muda harus diselamatkan dengan gerakan menerbitkan bacaan (buku/kitab). Misalnya Zusan Mubarak di Mesir (istri Presiden Mubarak) dahulu, melakukan gerakan penerbitan buku, melalui yayasan dan menjual dengan murah tanpa mencari laba ke seluruh Mesir, karena harga sebatas biaya produksi saja. Sedangkan Yayasan Al-Markaz Islami di Makassar, melakukan gerakan wakaf buku sejak tahun 2015. Tapi gerakan itu sangat terbatas jumlah buku yang dapat dibagikan kepada generasi-muda.
Selain itu, ada beberapa negara telah melakukan gerakan “membeli buku” kepada penerbit untuk membantu penerbit dan menolong generasi muda dari kebodohan, akibat berkurangnya Alibaca saat pandemi. Hal itu dilakukan juga Perpustaakaan Ceko membeli buku (literatur) senilai 370.000 euro. Demikian juga Inggris memberikan dana kepada perpustakaan umum senilai 1 (satu) paund-sterling untuk membeli buku. Irlandia juga mengeluarkan dana tambahan 200.000 euro untuk 50,000 buku bagi perpustakaan dalam mempermudah akses membaca.
Upaya seperti negera-negara tersebut, hingga kini belum terdengar di Indonesia. Bahkan yang terdengar adalah pengurangan dana Alibaca sejumlah perpustakaan di daerah. Kita berharap dalam Bulan Buku Nasional, pemerintah (pusat dan daerah), rektor, dekan dan dosen serta masyarakat, menyadari bahwa Alibaca mahasiswa selaku generasi muda wajib diselamatkan, dengan melakukan gerakan infak dan atau wakaf buku, secara besar-besaran terutama dalam pandemi Covid-19 yang kini masih eksis, untuk mencegah terjadinya pembodohan mahasiswa sebagai elite generasi-muda kita.
Penulis Prof Dr H Anwar Arifin
adalah Guru Besar Ilmu Komunikasi, dan
Penasihat Ahli PK identitas Unhas.