Asian Law Students’ Association (ALSA) Local Chapter (LC) Universitas Hasanuddin (Unhas) mengadakan Alsa Study Club #1. Bertajuk “Kedudukan Hukum Justice Collaborator dalam Perundang-undangan di Indonesia,” kegiatan berlangsung di Aula Manggau Fakultas Hukum (FH) Unhas, Senin (13/3).
Dimoderatori Mahasiswa Ilmu Hukum Angkatan 2021, Rifki Alfian, kegiatan menghadirkan Alumni Unhas Lulusan 2016, Dhian Fadhlan Hidayat SH sebagai narasumber.
Pada kesempatannya, Fadhlan menjelaskan, Justice Collaborator pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar 1970-an. Secara umum, Justice Collaborator merupakan perlindungan hukum bagi seseorang, baik dia sebagai korban ataupun pelaku yang mau memberikan informasi untuk membantu dan memperlancar proses persidangan.
“Justice Collaborator tercipta karena banyaknya mafia yang selalu menutup mulut dan tidak mau memberikan keterangan,” lanjut Fadhlan.
Ia menegaskan, Justice Collaborator berfokus pada pemberian perlindungan bagi seseorang selama kasus pidana berlangsung dengan tujuan menuntaskan kasus pidana seadil-adilnya berdasarkan berbagai keterangan yang dikumpulkan.
“Berdasarkan sejarahnya, inti dari Justice Collaborator ada empat, yaitu adanya kejahatan yang terorganisir, merupakan saksi sekaligus pelaku, bertujuan memudahkan aparat penegak hukum dalam melihat suatu peristiwa, dan membuka terang suatu kasus pidana,” jelas Fadhlan.
Lebih lanjut, Fadhlan mengatakan, di Indonesia, Justice Collaborator lebih dikenal pada tindak pidana tertentu yang memiliki sanksi hukum berat, seperti korupsi, terorisme, narkotika, perdagangan orang, dan sebagainya.
“Saat ini di Indonesia ada empat dasar hukum Justice Collaborator, yaitu dua peraturan perundang-undangan, satu surat edaran Mahkamah Agung, dan terakhir peraturan bersama (Kemenkumham, Jaksa Agung, Polri, KPK, dan LPSK),” ungkap Fadhlan.
Otto Aditia