Pemerintah pernah mengeluarkan aturan tentang Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada tahun 1978. Adanya regulasi ini, mahasiswa tidak dapat lagi menyuarakan aspirasinya secara bebas. Selain itu, Dewan Mahasiswa (Dema) dan Senat Mahasiswa dihapuskan. Hal ini sontak mendapat penolakan dari aktivis waktu itu.
Aminuddin Ram, salah seorang aktivis yang pernah menjadi anggota Dema dan Ketua Senat FIB (kini BEM FIB), menceritakan kembali kepada reporter identitas, Renita Pausi Ardila akan suasana tegang kala itu. Mantan Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unhas itu juga memberikan pandangannya soal lembaga mahasiswa kini. Pendiri UKM Pantun Seni Kreatif Unhas itu juga berkomentar mengenai kosongnya perwakilan mahasiswa di kursi Majelis Wali Amanat (MWA). Berikut hasil wawancaranya:
Anda kan salah satu aktivis mahasiswa tahun 70-an, bisa diceritakan sifat kritis mahasiswa era itu?
Dulu ada namanya Dewan Mahasiswa tingkat universitas, kemudian ada juga Senat Mahasiswa (Sema) tingkat fakultas dan jurusan bernama himpunan. Kala itu, suara mahasiswa kuat sekali. Kalau ada yang mau menyampaikan aspirasinya, harus lewat himpunan dulu, baru ke senat mahasiswa dan terakhir di dewan mahasiswa. Selanjutnya, Dema yang putuskan dan itu adalah hasil suara dari mahasiswa. Semua mahasiswa terhimpun dan persaudaraannya kuat-kuat.
Saat Pemerintah menetapkan NKK/BKK, Dema pun dibekukan, bagaimana gejolak yang terjadi saat itu?
NKK kebijakan peraturan pemerintah yang mengatur organisasi mahasiswa dan sebagainya. Latar belakang munculnya regulasi ini adalah reaksi dari banyaknya demonstrasi mahasiswa. Mereka sering unjuk rasa mengkritik pemerintah, baik masalah ekonomi atau politik yang dilakukan di luar kampus. Munculnya NKK, semacam terjadi depolitisasi, mahasiswa hanya di kampus.
Peraturan normalisasi kampus ini bertujuan untuk mengarahkan mahasiswa agar terfokus pada kegiatan akademik saja. Dampak dari aturan ini juga mengharuskan penataan ulang lembaga kemahasiswaan di lingkungan perguruan tinggi. Saat itulah dewan mahasiswa dihapuskan dan kami semua tidak bisa berbuat banyak. Karena biar bagaimana pun kami (mahasiswa) adalah anak didik juga.
Setelah Dema dihapuskan, apa dampak yang terjadi setelahnya, pak?
Dampaknya sangat besar. Solidaritas mahasiswa tidak lagi seperti dulu, jangankan antara universitas, antara fakultas saja sudah tidak seperti dulu lagi, seperti misalnya komunikasinya yang sudah berbeda. Dampak lainnya adalah lindapnya demokrasi di kalangan mahasiswa. Mahasiswa juga sudah tidak bersatu lagi.
Pandangan mahasiswa hanya berhenti sampai di senat fakultas saja, tidak ada tindak lanjut yang lebih jauh, sehingga hasil sesuai yang diharapkan. Bahkan semua itu terjadi sampai sekarang.
Setelah Unhas menyandang status PTN-BH, ada yang namanya Majelis Wali Amanat (MWA), mahasiswa disediakan satu kursi di MWA untuk mewakili suara mahasiswa dalam pengambilan kebijakan universitas, namun hingga saat ini kursi itu masih kosong, dalam artian belum ada mahasiswa yang bersedia. Bagaimana tanggapan Anda dengan itu?
Iya, sekarang sudah PTN-BH ada MWA yang terdiri dari mahasiswa. Ini bagus, karena mahasiswa diberi kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya dalam setiap keputusan yang dilakukan birokrat. Tapi itulah dilemanya mahasiswa karena solidaritas mahasiswa tidak lagi seperti dulu. Mereka kesulitan dalam mengambil keputusan yang bulat. Akhirnya suara mahasiswa tidak bisa tersaring, itu karena adanya rasa ingin unggul sendiri antar fakultas.
Beberapa universitas berstatus PTN-BH justru yang menjadi wakil mahasiswa di MWA itu dari ketua BEM Universitasnya pak, kalau di Unhas sendiri belum ada BEM U untuk sekarang. Bagaimana bapak melihat itu?
Bagusnya sih ada BEM U, itu kalau mau suaranya mahasiswa didengar. Memang harus bulat dan besar, sebab kalau pribadi-pribadi saja tidak bisa dilayani, jangan sampai mahasiswa hanya jadi pendengar saja. kita ini kan sivitas akademika, jadi aspirasi mahasiswa juga penting untuk didengarkan. Itulah sebabnya penting rasa solidaritas di kalangan mahasiswa, karena kalau tidak aspirasi mereka hanya ibarat api kecil, biar banyak tapi kalau kecil tetap mudah dimatikan. Untuk itu, mahasiswa harus bersatu dalam menyampaikan aspirasinya agar tak mudah mundur.
Menurut bapak, bagaimana cara menyampaikan aspirasi yang baik?
Aspirasi itu bisa diterima kalau representatif dari semua suara mahasiswa yang solid. kalau orang per orang itu kecil, dan jangan sembarang-sembarang juga dalam menyampaikan aspirasi. Mahasiswa harus mengikuti tahap, jangan langsung main aksi saja, jangan langsung seperti mengunci pintu. Sampaikan dulu secara baik-baik, tidak boleh main loncat saja untuk demo.