Konflik antara Israel dan Palestina kembali pecah pada Sabtu 7 Oktober lalu setelah pejuang Hamas melancarkan operasi besar-besaran ke arah Israel. Hamas menembakkan ribuan roket yang kemudian disusul oleh serangan darat dan laut yang dituju langsung ke wilayah di bawah kendali Israel. Mereka menyerang instalasi militer dan mengambil alih berbagai pemukiman. Korban tewas di kalangan warga Israel melebihi 1.200 orang, termasuk lebih dari 120 tentara. Puluhan sandera Israel juga dibawa ke Jalur Gaza.
Sebagai balasan, Israel menembakkan 6 ribu roket ke arah pemukiman di wilayah Gaza. Hingga Selasa(17/10) menurut laporan Al Jazeera, serangan Israel ke Palestina telah menewaskan sekitar 3.000 penduduk sipil. Tidak sampai di situ, Israel juga melakukan blokade terhadap jalur Gaza dengan menutup akses vital seperti air dan listrik yang kemudian memicu krisis lebih jauh. Belakangan dikabarkan bahwa Israel juga bersiap melakukan invasi darat ke wilayah Palestina yang semakin memperumit situasi di kawasan.
Sementara itu di sebelah timur, konflik antara Rusia dan Ukraina juga tak kunjung usai. Sudah setahun lebih konflik berkecamuk dengan jumlah korban sipil tak bersenjata yang tewas di Ukraina mencapai 9,6 ribu jiwa menurut data Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, dan jumlah total anggota militer kedua pihak yang tewas dan terluka mencapai 500 ribu orang.
Bergeser ke wilayah selatan Asia, isu Laut China Selatan menjadi isu yang semakin hangat. Klaim sepihak China atas wilayah laut yang dimiliki oleh beberapa negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dianggap tidak sesuai dengan ketetapan hukum laut UNCLOS 1982. Sesekali, terjadi aksi saling senggol di lautan yang dilakukan oleh penjaga pantai China dengan beberapa negara demi mengawal klaimnya yang didasarkan pada sembilan garis putus-putus. Hal ini menaruh potensi konflik yang lebih besar ke depannya.
Utopia Perdamaian
Carl Von Clausewitz seorang ahli perang dalam bukunya berjudul “On War” menyatakan bahwa masa-masa damai bagi sebuah negara adalah masa untuk memanfaatkan dengan baik penggunaan militer. Dalam hal ini, Clausewitz menekankan pentingnya persiapan militer bagi sebuah negara ke depannya. Baginya, tidak ada taktik khusus untuk meraih perdamaian. Perang adalah siklus yang tidak pernah berakhir, sebagaimana yang ditulisnya bahwa “Menginginkan perdamaian berarti mempersiapkan perang”.
Apa yang terjadi belakangan ini adalah bukti bahwasanya perang tidak akan pernah berakhir. Selalu saja ada benturan kepentingan antar-negara yang memicu timbulnya konflik dan eskalasi yang lebih jauh.
Hamas menyerang Israel misalnya. Mereka melancarkan serangan setelah beberapa tahun belakangan berdiam diri. Serangan Hamas ke Israel sendiri dimotivasi oleh 3 hal, yakni semakin meningkatnya kekerasan di Tepi Barat dan Yerusalem oleh Israel, adanya potensi normalisasi hubungan Saudi dan Israel, serta semakin baiknya hubungan Hamas dengan Iran.
Perang telah menjadi konsekuensi dari dunia anarki, dunia di mana tidak adanya tatanan yang mampu mengatur negara. Dalam pandangan seorang pemikir realis Thomas Hobbes, konflik disebut telah menjadi sifat alamiah (state of the nature) dari sebuah negara untuk mempertahankan eksistensi dan kekuatannya.
Munculnya PBB pasca Perang Dunia II sebagai aktor yang dianggap memainkan peranan penting dalam upaya perdamaian dunia bahkan gamang dan terdiam ketika dihadapkan pada serentetan isu. Organisasi besar ini tak mampu berkutik melihat perang yang terjadi di dunia internasional saat ini. Berbagai resolusi telah ditetapkan namun penyelesaian konflik di beberapa negara juga tak kunjung berhasil dicapai.
Pada konflik Israel-Palestina contohnya di mana hingga tahun 2016, sudah ada sekitar 225 resolusi yang ditetapkan oleh Dewan Keamanan PBB, namun tidak ada tanda-tanda konflik akan berakhir. Dalam hal ini, PBB sama sekali tidak memiliki kemampuan lebih untuk mengatur negara. Hukum internasional bahkan turut mengalami impunitas bagi beberapa negara kekuatan utama.
Belakangan, isu reformasi PBB semakin gencar disuarakan. Dalam pertemuan pertama Sidang Umum PBB ke-78 pada 19 September lalu, Sekjen PBB Antonio Guterres menyinggung pasal reformasi tersebut. Menurutnya, kelembagaan PBB dan lembaga multilateral terkait lainnya telah kedaluwarsa sehingga memerlukan pembaharuan agar multilateralisme lebih relevan dan efektif dalam menjawab tantangan zaman saat ini dan masa depan (Kompas, 21 September). Namun tetap saja, langkah itu diragukan bisa membendung terjadinya perang di antara beberapa negara di masa yang akan datang.
Mempersiapkan Perang
Konflik yang berkecamuk belakangan ini bisa saja hanya sebuah permulaan dalam abad ke-21 ini. Saat ini, dunia dihadapkan pada serangkaian isu yang dapat memicu konflik berkelanjutan di masa yang akan datang. Perubahan iklim yang memicu krisis pangan, serta peningkatan populasi manusia yang tidak sebanding dengan sumber daya akan memicu konflik lebih jauh dan lebih besar lagi. Dengan perebutan sumber daya, perang benar-benar bukan suatu hal yang mustahil di masa yang akan datang.
Indonesia juga dengan demikian, selain daripada mempersiapkan serangkaian tindakan pencegahan dan mitigasi pada isu-isu di atas, seharusnya juga dapat mempersiapkan diri menghadapi perang yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Dengan demikian, penguatan kekuatan militer sangat dibutuhkan pada tiga matra, yakni laut, darat, dan udara.
Zidan Patrio
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas 2020
Sekaligus Reporter PK identitas Unhas