Jumat, 5 Desember 2025
  • Login
No Result
View All Result
identitas
  • Home
  • Ulasan
    • Civitas
    • Kampusiana
    • Kronik
    • Rampai
    • Editorial
  • Figur
    • Jeklang
    • Biografi
    • Wansus
    • Lintas
  • Bundel
  • Ipteks
  • Sastra
    • Cerpen
    • Resensi
    • Puisi
  • Tips
  • Opini
    • Cermin
    • Dari Pembaca
    • Renungan
  • identitas English
  • Infografis
    • Quote
    • Tau Jaki’?
    • Desain Banner
    • Komik
  • Potret
    • Video
    • Advertorial
  • Majalah
  • Home
  • Ulasan
    • Civitas
    • Kampusiana
    • Kronik
    • Rampai
    • Editorial
  • Figur
    • Jeklang
    • Biografi
    • Wansus
    • Lintas
  • Bundel
  • Ipteks
  • Sastra
    • Cerpen
    • Resensi
    • Puisi
  • Tips
  • Opini
    • Cermin
    • Dari Pembaca
    • Renungan
  • identitas English
  • Infografis
    • Quote
    • Tau Jaki’?
    • Desain Banner
    • Komik
  • Potret
    • Video
    • Advertorial
  • Majalah
No Result
View All Result
identitas
No Result
View All Result
Home Opini

Apakah Kita Tidak Belajar dari Sejarah? Ancaman Krisis di Balik Kebijakan PPATK

20 Agustus 2025
in Opini
Alumni Ilmu Sejarah Unhas, Naldi

Alumni Ilmu Sejarah Unhas, Naldi

Editor Muhammad Nur Ilham

Akhir Juli hingga awal Agustus 2025, masyarakat Indonesia kembali diguncang oleh kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan publik secara menyeluruh. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membekukan sekitar 140 ribu rekening bank yang dikategorikan sebagai tidak aktif atau dormant, dengan total dana mencapai Rp428 miliar. Langkah ini diklaim sebagai bagian dari upaya pencegahan tindak kejahatan keuangan, seperti judi online, penipuan, hingga kriminal lainnya.

Namun, yang menjadi persoalan bukanlah semata tujuannya, melainkan pelaksanaannya yang cenderung sepihak, tidak selektif, dan minim transparansi. Akibatnya, bukan hanya pelaku kejahatan yang terdampak, melainkan masyarakat umum yang menggunakan rekening sebagai sarana menabung atau menyimpan dana jangka panjang, turut merasakan kerugian yang nyata. Dalam praktiknya, banyak nasabah bank yang merasa terkejut dan kebingungan karena mendapati rekening mereka diblokir tanpa pemberitahuan sebelumnya.

BacaJuga

Mencari Jeda di Antara Hiruk Pikuk Mimpi dan Lelah

Perihal Masa Depan

Prosedur reaktivasi yang disediakan juga tidak sederhana. Beberapa nasabah harus menunggu hingga 20 hari kerja hanya untuk mengakses kembali dana milik pribadi mereka. Situasi ini menimbulkan keresahan yang meluas.

Kekhawatiran akan akses terhadap dana pribadi mendorong sebagian masyarakat untuk mulai mempertimbangkan menarik dananya dari bank sebelum mengalami nasib serupa. Ketika kepercayaan publik terhadap sistem perbankan mulai goyah, yang terjadi bukan sekadar keluhan administratif, tetapi potensi krisis ekonomi yang jauh lebih besar.

Sejarah telah mencatat beberapa peristiwa besar yang semestinya menjadi cermin dan pengingat bahwa menjaga kepercayaan publik terhadap sistem perbankan adalah hal yang mutlak. Salah satu contohnya terjadi pada 1929 di Amerika Serikat, saat dunia mengalami depresi besar (Great Depression). Kejatuhan pasar saham menyebabkan gelombang kepanikan.

Masyarakat menarik dana mereka dari bank secara besar-besaran karena takut kehilangan seluruh simpanannya. Bank tidak mampu memenuhi permintaan penarikan uang tunai dalam jumlah besar, sehingga terjadi kebangkrutan massal. Krisis tersebut bukan hanya menghancurkan sistem perbankan Amerika, tetapi juga menyeret perekonomian global ke jurang resesi selama bertahun-tahun.

Peristiwa serupa juga terjadi di Argentina pada 2001. Ketika pemerintah memutuskan untuk membatasi penarikan uang melalui kebijakan yang dikenal sebagai “corralito”, masyarakat merespons dengan protes dan kepanikan. Banyak orang kehilangan akses terhadap dana pribadi mereka. Akibatnya, sektor keuangan kolaps dan ekonomi Argentina mengalami kontraksi hebat.

Tingkat kemiskinan melonjak, inflasi tak terkendali, dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan hancur total. Kejadian-kejadian tersebut memiliki satu kesamaan mendasar, (runtuhnya kepercayaan publik terhadap sistem keuangan). Begitu kepercayaan itu hilang, tindakan rasional pun berubah menjadi kepanikan.

Jika situasi ini tidak dikelola secara hati-hati dan berperspektif publik, Indonesia bisa menghadapi ancaman serupa. Kebijakan pemblokiran rekening yang tidak transparan dan tidak komunikatif bukan hanya melukai individu, tetapi juga menggoyahkan pondasi sistem keuangan nasional. Sebagai negara yang pernah mengalami krisis ekonomi pada 1998, Indonesia semestinya lebih mawas diri dan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan.

Pada waktu itu, kehancuran ekonomi dipicu oleh kombinasi krisis moneter, utang luar negeri, dan kegagalan sistem keuangan domestik dalam merespons tekanan global. Banyak bank runtuh, dan masyarakat kehilangan tabungannya. Apakah kita ingin mengulangi sejarah itu hanya karena kebijakan yang tergesa-gesa dan tidak komunikatif?

Idealnya, PPATK harus lebih selektif dan transparan dalam menerapkan kebijakan ini. Pemblokiran rekening tidak seharusnya dilakukan secara masif tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Diperlukan sistem peringatan awal yang memberikan kesempatan kepada nasabah untuk mengaktifkan kembali rekening mereka atau memberikan klarifikasi sebelum tindakan tegas diambil.

Selain itu, kategori rekening “tidak aktif” perlu didefinisikan dengan jelas dan dikomunikasikan secara masif agar masyarakat bisa memahami risikonya. Proses reaktivasi juga harus dibuat lebih sederhana dan cepat. Menyimpan uang di bank adalah bentuk kepercayaan masyarakat kepada negara dan sistem keuangan yang sah.

Jika akses terhadap uang sendiri dipersulit oleh prosedur birokratis yang panjang, maka akan muncul persepsi bahwa uang di bank tidak lagi aman. Itulah yang menjadi pemicu utama dalam setiap krisis keuangan besar di masa lalu. Kebijakan publik tidak cukup hanya bermodalkan niat baik. Ia harus dilandasi dengan pendekatan yang matang, komunikatif, dan menghormati prinsip keadilan.

Jika negara ingin mencegah kejahatan keuangan, maka yang dibutuhkan adalah mekanisme pengawasan yang akurat dan terfokus, bukan pendekatan sapu rata yang menyasar seluruh warga negara. Sebab jika masyarakat mulai kehilangan rasa percaya, bukan hanya bank yang terdampak, tetapi juga stabilitas ekonomi nasional yang menjadi taruhannya.

Dilansir dari Tempo pada 1 Agustus 2025, pihak PPATK telah membuka kembali rekening dormant yang diblokir. Namun, apakah langkah ini bisa membalikkan keadaan di tengah kepanikan massal masyarakat. Sudah banyak masyarakat yang khususnya di kota-kota besar mulai berbondong-bondong mendatangi bank untuk menarik dana mereka.

Selain itu, PPATK juga menyediakan formulir keberatan untuk nasabah yang rekeningnya di blokir. Banyak ahli ekonom yang menyayangkan kebijakan ini dilakukan dengan semena-mena dan tidak sedikit juga yang pro terhadap kebijakan ini. Dalam konteks ini, pertanyaan mendasarnya adalah apakah kita tidak pernah belajar dari sejarah?

Mengapa langkah-langkah kebijakan tidak mempertimbangkan secara sistemik efek psikologis dan ekonomi yang bisa timbul di masyarakat? Mengapa rasa aman nasabah justru dikorbankan atas nama pengamanan keuangan dan tindak kejahatan?

Maka dari itu, apakah kebijakan ini betul-betul mengatas namakan rakyat dan mengutamakan keselematan dana rakyat? Ataukah justru langkah ini merupakan langkah bagi pemerintah untuk meraup dana melalui rekening tabungan masyarakat? Mengingat APBN selalu mengalami defisit akhir-akhir ini dan rasio perpajakan juga semakin meningkat yang dalam artiannya apapun tengah diusahakan untuk dipajaki.

Naldi

Alumni Ilmu Sejarah, FIB Unhas

Angkatan 2021

Tags: kejahatanKeuanganKriminalMasyarakatPPATKrekening bank
ShareTweetSendShareShare
Previous Post

Listrik Korslet, UPT PPUK Unhas Imbau Pengelola Kudapan Jaga Kebersihan

Next Post

Dekan FKM Unhas Beri Sambutan pada Kuliah Tamu Kesehatan Lingkungan

TRENDING

Liputan Khusus

Ketika Kata Tak Sampai, Tembok Jadi Suara

Membaca Suara Mahasiswa dari Tembok

Eksibisionisme Hantui Ruang Belajar

Peran Kampus Cegah Eksibisionisme

Jantung Intelektual yang Termakan Usia

Di Balik Cerita Kehadiran Bank Unhas

ADVERTISEMENT
Tweets by @IdentitasUnhas
Ikuti kami di:
  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube
  • Dailymotion
  • Disclaimer
  • Kirimkan Karyamu
  • Tentang Kami
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
© 2025 - identitas Unhas
Penerbitan Kampus Universitas Hasanuddin
  • Home
  • Ulasan
    • Civitas
    • Kampusiana
    • Kronik
    • Rampai
    • Editorial
  • Figur
    • Jeklang
    • Biografi
    • Wansus
    • Lintas
  • Bundel
  • Ipteks
  • Sastra
    • Cerpen
    • Resensi
    • Puisi
  • Tips
  • Opini
    • Cermin
    • Dari Pembaca
    • Renungan
  • identitas English
  • Infografis
    • Quote
    • Tau Jaki’?
    • Desain Banner
    • Komik
  • Potret
    • Video
    • Advertorial
  • Majalah

Copyright © 2012 - 2024, identitas Unhas - by Rumah Host.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In