Suara riuh rendah memenuhi Gelanggang Olahraga (GOR) Sudiang setiap Minggu pagi. Kerumunan orang berdesak-desakan, bergerak dari satu lapak ke lapak lainnya mencari barang incaran. Pemandangan tersebut merupakan hal biasa di tempat yang areanya dipenuhi lapak penjual pakaian bekas. Inilah potret thrifting di Makassar, sebuah fenomena yang menjamur di masyarakat. Namun, bagaimana sebuah tradisi lama yang dikenal dengan sebutan ‘cakar’ ini bisa bertransformasi menjadi gaya hidup modern yang begitu diminati?
Kebiasaan ini tumbuh sekitar lima tahun lalu, ketika dunia dilanda pandemi Covid-19. Pembatasan aktivitas dan ketidakpastian ekonomi memaksa masyarakat untuk lebih selektif dalam berbelanja. Di tengah situasi sulit itu, banyak orang mulai menoleh kembali ke tradisi lama yang hampir terlupakan, seperti membeli pakaian bekas.
Mahasiswa Sosiologi Unhas, Maryam, salah satunya yang tertarik akan fenomena ini. Sebagai mahasiswa yang berasal dari Kalimantan, ia tidak pernah menemukan fenomena seperti ini sebelumnya di kampung halamannya. Menurutnya, membeli pakaian bekas cukup membantu di kala harus menghemat pengeluaran.
Tidak berhenti pada pengalaman pribadi saja, sebagai seorang mahasiswa Sosiologi, Maryam melihat ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tren berbelanja. Ada perubahan sosial, terbentuknya komunitas, dan dampak ekonomi yang perlu diteliti lebih lanjut. Hal itulah yang mendorong Maryam menulis skripsi dengan judul “Thrifting sebagai Pilihan Berbelanja di Kota Makassar”. Penelitian tersebut membawanya menyelami lebih dalam bagaimana sebuah praktik sederhana berbelanja barang bekas bisa berkembang menjadi fenomena sosial yang kompleks.
Dalam penelitiannya, Maryam menggunakan teori pilihan rasional Coleman untuk memahami mengapa orang memilih thrifting. Teori ini menganggap setiap orang membuat keputusan berdasarkan pertimbangan logis tentang apa yang paling menguntungkan bagi mereka.
Yang membuat Maryam semakin tertarik adalah kenyataan bahwa thrifting tidak hanya bertahan setelah pandemi berakhir, tetapi justru terus berkembang. Lapak-lapak thrifting bermunculan tidak hanya di Makassar, tetapi juga merambah ke kabupaten sekitar.
Salah satu hal paling menarik yang ditemukan Maryam adalah dampak perubahan nama dari cakar menjadi thrifting. Perubahan ini ternyata memengaruhi cara pandang masyarakat dalam mengonsumsi pakaian bekas. “Sekarang orang menganggap thrift itu seperti toko baju biasa, bukan lagi menganggapnya sebagai barang bekas dalam konteks negatif,” tambahnya dalam wawancara, Minggu (10/08).
Perubahan istilah ini juga diikuti dengan transformasi cara penjualan yang lebih kekinian. Lapak-lapak yang dulunya seadanya, kini ditata agar lebih menarik. Ada pencahayaan yang baik, sistem pembayarannya nyaman, bahkan beberapa tempat sudah menyediakan ruang ganti.
Namun, perjalanan thrifting tidak selalu mulus. Beberapa pembeli masih khawatir dengan kondisi barang bekas, terutama soal kebersihan. Ada juga yang ragu dengan keaslian barang bermerek yang dijual dengan harga murah. Belum lagi soal harga yang kadang tidak konsisten, karena bisa berbeda-beda tergantung siapa yang menawarnya.
Meski demikian, para pelaku usaha thrifting mulai merespons tantangan ini secara positif. Mereka menjadi lebih selektif dalam memilih barang dagangan, lebih jujur dalam memberikan informasi produk, dan lebih konsisten dalam penetapan harga.
Maryam tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa fenomena thrifting dapat membentuk ruang sosialisasi yang unik. Di GOR Sudiang, ia menyaksikan bagaimana orang-orang dari berbagai latar belakang berbaur dengan natural. Mahasiswa bertegur sapa dengan ibu rumah tangga, bahkan anak SMA berbincang dengan pekerja kantoran.
Fenomena ini juga merambah ke dunia digital. Banyak grup WhatsApp dan Facebook dibentuk untuk berbagi informasi tentang lapak-lapak baru, tips thrifting, atau sekadar memamerkan hasil buruan mereka.
Thrifting juga mendorong kreativitas dalam berpakaian. Dengan pilihan yang tidak selalu lengkap dalam hal ukuran dan model, orang-orang menjadi lebih kreatif dalam memadukan pakaian. Ada yang belajar mix and match untuk menciptakan gaya unik sampai belajar menjahit untuk mengubah ukurannya.
Semakin dalam Maryam menggali, semakin ia menyadari bahwa thrifting memiliki dampak yang jauh lebih luas dari yang terlihat di permukaan. Dari sisi lingkungan, thrifting membantu mengurangi limbah tekstil dengan memperpanjang masa pakai pakaian. Ini sejalan dengan konsep ekonomi sirkular yang kini menjadi perhatian global.
Dari sisi ekonomi, thrifting menciptakan ekosistem bisnis baru. Tidak hanya penjual langsung, tetapi juga jasa laundry khusus pakaian bekas, jasa modifikasi, bahkan jasa membantu orang berbelanja (personal shopper) untuk thrifting.
Di penghujung penelitiannya, Maryam merumuskan beberapa rekomendasi agar thrifting di Makassar berkembang lebih baik lagi. Ia menyarankan adanya standar kebersihan yang lebih baik, transparansi informasi produk yang lebih jelas, serta edukasi konsumen tentang cara memilih dan merawat barang thrifting.
Maka dari itu, Sobat iden, di tengah menjamurnya fenomena ini, kita juga perlu menjadi pembeli yang bijak dalam menjajal barang-barang thrifting, mengingat masih lemahnya regulasi yang mengatur sumber dari barang-barang hasil jualan thrifting ini.
Adrian
