Sebagai salah satu perintis Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Indonesia, Unhas punya banyak cerita tentang KKN hingga beragam polemik penyelenggaraannya.
Sejak KKN diterapkan di Unhas tahun 1973/1974, hampir tiap tahun ada agenda kunjungan ke lokasi KKN. Munculnya KKN Unhas di tengah-tengah masyarakat untuk mendorong mahasiswa mengenal desanya.
Menilik dari sejarahnya, KKN berawal dari Proyek Perintis yang dilaksanakan tahun 1971 oleh tiga Perguruan Tinggi (PT). PT tersebut di antaranya, Universitas Gajah Mada, Universitas Andalas dan Universitas Hasanuddin. Proyek tersebut dikenal dengan nama “Pengabdian Mahasiswa kepada Masyarakat”.
Dirjen Pendidikan Tinggi kala itu melaksanakan Seminar Nasional di Yogyakarta pada tanggal 17-18 November 1972. Seminar tersebut untuk membahas Proyek Perintis dan diikuti 10 perguruan tinggi. Akhirnya pada tahun akademik 1973/1974, disepakati pengabdian masyarakat tersebut diberi nama “Kuliah Kerja Nyata”.
Untuk pertama kalinya, pada tahun akademik 1973/1974 Unhas, bersama 12 perguruan tinggi melaksanakan KKN. Kemudian diperluas menjadi 15 perguruan tinggi di tahun 1974/1975. Sejak tahun 1976/1977, sebagian besar perguruan tinggi baik negeri maupun swasta telah menyelenggarakan KKN.
Menurut terbitan identitas No 71 tahun 1977, KKN adalah usaha untuk mengikutsertakan para mahasiswa untuk berproses belajar di desa. Para mahasiswa diajak untuk mengkhayati proses sosial yang bergejolak dan dipangku oleh masyarakat. Serta melihat problematika yang muncul di desa kemudian berusaha mencari jalan keluar pemecahannya.
Pada tahun 1985 pernah tersiar kabar burung di kalangan mahasiwa bahwa KKN akan dihapuskan. Kabar tersebut muncul, lantaran adanya pengurangan waktu KKN dari tiga bulan menjadi dua bulan. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud Prof Dr Sukaji Ranuwiharjo yang kala itu mengungjungi mahasiswa peserta KKN, berdialog dengan salah satu mahasiswa dan menjawab kabar burung tersebut. “Tidak akan dihapuskan karena kegiatan ini merupakan kegiatan intrakurikuler, sementara mengenai pengurangan waktu itu hanya karena persoalan dana saja,” ucap Prof Dr Sukaji Ranuwiharjo yang dikutip dalam terbitan Identitas tahun 1985.
Memang, sejak awal diterapkannya di Unhas, jangka waktu yang harus dijalani mahasiswa dalam ber-KKN adalah tiga bulan. Namun, sejak tahun akademik 1978, KKN mahasiswa Unhas dilaksanakan hanya sebanyak dua kali setahun. Hal itu sesuai dengan pengumuman Rektor Unhas 8 Juni 1978.
Pengurangan waktu tersebut dimaksudkan untuk menyerasikan KKN dengan pelaksanaan semester yang berlaku di Unhas, mengingat status KKN sebagai kegiatan Intrakurikuler wajib bagi setiap mahasiswa.
“Yang menjadi pelopor KKN adalah Unhas, di samping dua lainnya UGM dan Universitas Andalas. Jadi amat disayangkan kalau apa yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu-pendahulu Unhas, malah Unhas sendiri yang menghapus,” ucap Ir Amrullah Bostan selaku kepala P2KKN kala itu (dikutip dalam terbitan Identitas tahun 1991).
Lika-liku penyelenggaraan KKN
Tidak dapat dipungkiri, sejak diterapkannya, permasalahan kerap kali mewarnai penyelenggaraan KKN di Unhas. Dari persoalan nilai hinggga dana yang macet pun pernah dialami mahasiswa yang ber-KKN. Jika awal diterapkannya, hanya tersedia KKN Reguler, saat ini sudah ada KKN Tematik dan KKN Profesi.
Sebut saja, pada tahun 2008, ada 13 mahasiswa Fakultas Peternakan (Fapet) yang harus menunggu lama lantaran nilai KKN-nya ditahan oleh pihak fakultas. Mahasiswa tersebut mengikuti KKN Tematik jenis Pemberantasan Buta Aksara. Pihak fakultas kala itu, menolak nilai KKN mahasiswanya, lantaran hanya KKN Profesi yang bisa diikuti oleh mahasiswa Fapet.
KKN yang disepakati pihak fakultas kala itu ada dua muatan, 60 persen menyangkut profesi peternakan dan empat puluh persen bersifat umum. Atas komposisi ini, maka praktek kerja lapang (PKL) di Fapet sejak tahun 2002 dihapus.
Persoalan tersebut muncul lantaran kurangnya koordinasi antara pihak fakultas dengan P2KKN yang lagi-lagi korbannya harus mahasiswa.
Lain lagi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unhas, dimana nilai mahasiswa tidak kunjung keluar dari P2KKN. Masalah tersebut muncul, lantaran Ilmu Hubungan Internasional Fisip menerapkan KKN Profesi tanpa koordinasi dengan P2KKN. Padahal, Fisip tak termasuk dalam SK Rektor No 214/J04/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang KKN profesi, tulis Sri dalam terbitan identitas tahun 2008.
Selain itu, di tahun 2016, persoalan dana macet pernah dialami oleh mahasiswa KKN Poso. Kuliah Kerja Nyata Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut terlaksana atas kerjasama dengan Kementerian Sosial RI. Dana yang dijanjikan oleh Kemensos hingga akhir masa KKN belum juga cair. Hal tersebut mengakibatkan proker mahasiswa terlantar dan tak satu pun yang terealisasi.
Begitulah lika-liku penyelenggaraan KKN dari tahun ke tahun. Semoga saja permasalahan seperti itu tidak lagi terjadi dan mahasiswa dapat mengabdikan diri dengan lancar di masyarakat sesuai tri dharma perguruan tinggi.
Nurmala