Kamis, 18 Desember 2025
  • Login
No Result
View All Result
identitas
  • Home
  • Ulasan
    • Civitas
    • Kampusiana
    • Kronik
    • Rampai
    • Editorial
  • Figur
    • Jeklang
    • Biografi
    • Wansus
    • Lintas
  • Bundel
  • Ipteks
  • Sastra
    • Cerpen
    • Resensi
    • Puisi
  • Tips
  • Opini
    • Cermin
    • Dari Pembaca
    • Renungan
  • identitas English
  • Infografis
    • Quote
    • Tau Jaki’?
    • Desain Banner
    • Komik
  • Potret
    • Video
    • Advertorial
  • Majalah
  • Home
  • Ulasan
    • Civitas
    • Kampusiana
    • Kronik
    • Rampai
    • Editorial
  • Figur
    • Jeklang
    • Biografi
    • Wansus
    • Lintas
  • Bundel
  • Ipteks
  • Sastra
    • Cerpen
    • Resensi
    • Puisi
  • Tips
  • Opini
    • Cermin
    • Dari Pembaca
    • Renungan
  • identitas English
  • Infografis
    • Quote
    • Tau Jaki’?
    • Desain Banner
    • Komik
  • Potret
    • Video
    • Advertorial
  • Majalah
No Result
View All Result
identitas
No Result
View All Result
Home Sastra Resensi

Bagaimana Jadinya Jika Indonesia adalah Negara Koboi?

16 Desember 2025
in Resensi
Bing Slamet Koboi Cengeng (1974). Foto: Tangkapan Layar

Bing Slamet Koboi Cengeng (1974). Foto: Tangkapan Layar

Editor Nurfikri

Pernahkah kita membayangkan, situasi Indonesia seperti  di negara Texas? Sheriff menjadi penegak hukum, kuda berlalu-lalang menggantikan mobil, bar koboi di sepanjang jalan, serta masyarakat lokal berpenampilan seperti suku Indian?

Pertanyaan tersebut akan terjawab ketika kita menyaksikan Bing Slamet Koboi Cengeng (1974) karya Nya Abbas Akup yang dibintangi oleh grup lawak terkenal di era 70-an, Kwartet Jaya. Mereka beranggotakan Bing Slamet, Eddy Sud, Ateng, dan Iskak yang masing-masing memiliki peran di negara koboi itu.

BacaJuga

Desa yang Tak Lagi “Jaya” dalam Abadi Nan Jaya

Antara Tradisi, Konflik, dan Dunia Arwah dalam Puya ke Puya

Film ini menyajikan beberapa integrasi unik antara budaya western dengan budaya Indonesia, misalnya istilah sheriff yang diperankan oleh Ateng, diplesetkan dengan sangat brilian menjadi Syarif. Selain itu, pada latar-latar lain, seperti kampung suku Indian, tenda kepala sukunya diberi plang “RT 007 RW 001” yang jenaka.

Film Bing Slamet Koboi Cengeng tidak hanya sekadar menghadirkan tontonan komedi-musikal khas era 70-an, tetapi juga mencoba menangkap sisi unik seorang koboi yang rentan dan penuh perasaan, jauh dari gambaran koboi macho dalam imajinasi populer. 

Perjalanan kisahnya disajikan dengan sentuhan jenaka sekaligus hangat, sehingga penonton tidak hanya tertawa, tetapi juga merasakan sisi manusiawi yang melekat pada sosok utama, sang jutawan Bing Slamet nan cengeng.

Film ini bercerita tentang koboi jutawan, Bing Slamet yang dikirimi surat ancaman agar menyerahkan harta bendanya kepada Cicak bin Kadal. Ketakutan tersebut membuatnya meminta bantuan kepada koboi misterius jago tembak bernama Eddy Sud untuk mengajarinya bela diri. 

Namun, di tengah perjalanan, Bing Slamet sungguh dibuat dongkol oleh Eddy Sud karena selalu meminta tambahan biaya pada apa pun yang tidak sesuai dalam kontrak mereka.

Dalam cerita tersebut, kita tidak hanya menyaksikan kehidupan jenaka para tokoh di kampung koboi, tetapi juga akan dihantam dengan plot twist yang sangat mengejutkan untuk ukuran film di era itu.

Bing Slamet Koboi Cengeng ini menjadi karya terakhir Bing Slamet sebelum dirinya meninggal dunia karena penyakit liver di usia 47 tahun. Hal tersebut juga menandai bubarnya grup lawak terkenal yang sempat merajai pementasan Indonesia di era 70-an.

Keunggulan Bing Slamet Koboi Cengeng tidak hanya terletak pada akting para tokoh yang totalitas, tetapi juga pada komedi-komedi receh yang terselip di setiap adegannya. 

Pembuat set, Ahmad Abidin, berhasil menghidupkan suasana kampung koboi dengan detail dan cermat. Penonton seakan dibawa ke arena rodeo, menyaksikan busana khas, kendaraan berbasis kuda, bar minum, dan jalanan berpasir tandus yang terasa otentik.

Meski sudah dirilis sejak lima dekade lalu, Bing Slamet Koboi Cengeng tetap renyah untuk ditonton. Alih-alih tampak usang, komedi segar serta satire sosialnya justru membuatnya terasa abadi.

Pengakuan atas kualitas film ini terbukti saat ia memenangkan dua kategori nominasi pada Festival Film Indonesia 1975. Bing Slamet Koboi Cengeng berhasil meraih Film Komedi Terbaik diajang Piala Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) untuk kategori Film Terlaris tahun 1974-1975. 

Penokohan dalam Bing Slamet Koboi Cengeng membuat film ini menonjol. Sang karakter utama tidak digambarkan sebagai koboi tangguh nan sempurna, melainkan sebagai sosok cengeng, polos, dan penuh kelucuan. 

Ia justru tampil sebagai orang biasa yang terseret dalam situasi absurd, bukan sebagai pahlawan perkasa. Selain itu, terdapat pula tokoh lain pemberi warna tersendiri seperti Iskak, koboi pesuruh yang ternyata menjadi MVP, pengembangan karakter “Syarif” Ateng dari sheriff pemalas nan acuh tak acuh menjadi penegak hukum yang bertanggung jawab, serta ada pula Eddy Sud, si koboi misterius nan tampan.

Menonton Bing Slamet Koboi Cengeng hari ini bukan hanya sekadar menikmati komedi klasik, tetapi juga membaca ulang satire sosial yang diselipkan di balik kelucuan. Kritik terhadap gaya hidup konsumtif, hiruk-pikuk modernitas, hingga absurditas masyarakat kota tetap relevan hingga kini.

Film tersebut juga mengajak kita merenung, melalui dialog “Syarif” Ateng yang menuturkan “Mau disogok lima ribu, lima juta, kita ini adalah negara hukum. Ada ketentuannya,” saat warga desa mendesak Bing Slamet untuk membayar tebusan kepada bandit demi menyelamatkan Vivi. 

Ironisnya, adegan parodi koboy tahun 1974 ini, masih terasa akrab dengan realitas Indonesia sekarang. Hukum yang kerap dijadikan jargon mulia, kerap berubah menjadi praktik suap dan bisa untuk kompromi. 

Apakah kita benar-benar telah belajar dari ironi itu, atau justru masih terjebak dalam komedi getir yang sama dengan kostum dan nilai rupiah yang berubah?

A Annida Mukaddas

Tags: Abbs AkupBing SlametEddy SudKoboi Cengengresensi
ShareTweetSendShareShare
Previous Post

Koperasi Merah Putih, Mampukah Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Desa?

Next Post

Kenang Langit, Kisah Persahabatan Anak Kampung dengan Berbagai Cobaan

TRENDING

Liputan Khusus

Ketika Kata Tak Sampai, Tembok Jadi Suara

Membaca Suara Mahasiswa dari Tembok

Eksibisionisme Hantui Ruang Belajar

Peran Kampus Cegah Eksibisionisme

Jantung Intelektual yang Termakan Usia

Di Balik Cerita Kehadiran Bank Unhas

ADVERTISEMENT
Tweets by @IdentitasUnhas
Ikuti kami di:
  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube
  • Dailymotion
  • Disclaimer
  • Kirimkan Karyamu
  • Tentang Kami
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
© 2025 - identitas Unhas
Penerbitan Kampus Universitas Hasanuddin
  • Home
  • Ulasan
    • Civitas
    • Kampusiana
    • Kronik
    • Rampai
    • Editorial
  • Figur
    • Jeklang
    • Biografi
    • Wansus
    • Lintas
  • Bundel
  • Ipteks
  • Sastra
    • Cerpen
    • Resensi
    • Puisi
  • Tips
  • Opini
    • Cermin
    • Dari Pembaca
    • Renungan
  • identitas English
  • Infografis
    • Quote
    • Tau Jaki’?
    • Desain Banner
    • Komik
  • Potret
    • Video
    • Advertorial
  • Majalah

Copyright © 2012 - 2024, identitas Unhas - by Rumah Host.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In