“If you’re not paying for the product, then you’re the product” – Daniel Hövermann
Kutipan tersebut diambil dari sebuah karya bertajuk The Social Dilemma, sebuah film dokumenter yang membahas dampak besar media sosial dan sisi negatif internet sehingga memunculkan sebuah dilema di masyarakat.
Film ini pertama kali ditayangkan pada tahun 2020, yang saat itu merupakan masa puncak pandemi covid-19. Hal tersebut kemudian menjadi sangat relevan karena orang-orang di seluruh dunia diharuskan untuk tetap tinggal di rumah, sehingga internet dan media sosial menjadi teman terbaik untuk tetap terhubung satu sama lain.
Hal-hal yang coba dibahas The Social Dilemma adalah bagaimana sistem internet dan media sosial bekerja, pengaruhnya dengan interaksi antar individu, makin mudahnya informasi tersebar, hingga kesehatan mental.
Saat ini, bisnis internet menjadi bisnis terkaya sepanjang sejarah. Bagaimana tidak, jika bisnis-bisnis lain pada umumnya hanya menjual barang mati, bisnis internet merupakan pasar yang dalam tanda kutip memperdagangkan manusia.
Shoshana Zuboff, seorang pensiunan guru besar dari Harvard University mengatakan, pebisnis selalu mengimpikan jaminan keberhasilan dari iklan mereka. Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan dalam sebuah bisnis, diperlukan kepastian.
Untuk mencapai kepastian tersebut, perlu prediksi yang baik dan akurat. Sedangkan untuk mencapai prediksi yang baik akurat, diperlukan data yang sangat banyak.
Jika diibaratkan dalam pertambangan, kepastian yang ingin dicari adalah memastikan bahwa sebelum memulai penambangan, diperlukan data-data tertentu untuk memprediksi secara akurat akan adanya komoditas yang ingin dicari di tempat tersebut.
Sama halnya dengan bisnis internet, tujuan mereka adalah bagaimana cara kita untuk bisa betah untuk dapat menatap layar smartphone dalam waktu yang lama, yaitu dengan menyediakan konten-konten yang relevan dengan kita.
Oleh karena itu, data yang mereka perlukan adalah tentunya daftar perilaku kita, kepribadian kita, hal-hal yang kita suka, dan lain sebagainya agar bisa ditampilkan di layar kita saat itu juga.
Dengan semua hal tersebut, kemungkinan keberhasilan pengiklanan sebuah bisnis tentu makin tinggi. Jika berbicara mengenai cara mereka mengambil data, tentunya banyak dari kita sudah tahu bahwa data-data tersebut diambil dari perilaku kita saat pertama kali kita menggunakannya. Bahkan, yang ditampilkan pertama kali pun adalah hasil dari algoritma-algoritma yang sudah ada di sekitar kita sebelumnya.
Di mana lokasi kita tinggal, hal-hal menarik apa saja yang terjadi di lokasi tersebut, reaksi kita akan hal-hal tersebut, apakah kita menekan tombol suka atau tidak, berapa lama kita menatap konten tersebut, dan lainnya. Semua hal itu sebenarnya dicatat oleh sistem untuk menciptakan algoritma untuk menampilkan konten bagi setiap penggunanya.
Walau tidak selamanya konten yang ditampilkan itu disukai atau barang-barang yang dipromosikan akan dibeli, dengan perkembangan teknologi, masalah tersebut dapat sedikit teratasi. Kita memang tidak selamanya membeli barang yang lewat di timeline media sosial kita. Tetapi, jika dipikirkan sekilas, seberapa cocok kita dengan barang yang diiklankan di timeline kita?
Sebuah sistem dirancang untuk menciptakan kenyamanan pengguna menggunakannya. Jadi, agar nyaman ber-media sosial, sistem pun dirancang untuk menampilkan hal-hal yang relate dengan kehidupan penggunanya, baik itu berupa konten maupun produk yang sedang diiklankan.
Bahkan, tidak jarang didapati kondisi saat sedang membicarakan sesuatu tanpa membuka gadget, pembahasan tersebut dapat seketika muncul di timeline media sosial kita.
Entah saat kita sedang membicarakan sepatu, maka akan muncul iklan atau konten-konten seputar sepatu. Atau saat memasuki jam makan, muncul iklan makanan, bahkan terkadang yang muncul iklan mie ayam favorit kita walau kita sebenarnya belum terpikirkan untuk memakannya saat itu.
Jadi, walau mengiklankan sesuatu itu berprinsip “Siapa tahu cocok” atau “Siapa tahu tertarik”, dengan adanya sistem tersebut, kemungkinan kita untuk mengeluarkan uang menjadi cukup tinggi.
Dengan membuat manusia terpaku di dalamnya, membuat “lingkungan sosial” yang baru bagi manusia. Menjual segala sesuatu dengan iming-iming gratis, namun ada target sendiri yang ingin dicapai di belakangnya.
Hal ini pun menjelaskan kutipan dari Daniel Hövermann di awal, kita yang menikmati produk gratis, secara tidak langsung, akan digerakkan sedemikian rupa untuk mengeluarkan uang.
Berbicara mengenai pemikiran dan tingkah laku, kebanyakan konten di media sosial, tentunya hasil dari pemikiran panjang sang pembuat konten untuk memikat hati orang-orang agar betah melihat kontennya.
Saya pun yakin bahwa sebenarnya kita tahu bahwa tidak semua, tetapi kebanyakan hal-hal yang kita lihat di media sosial itu tidak seindah dengan kenyataannya.
Walau telah mengetahuinya, banyak dari konten-konten tersebut yang masih tetap dapat mempengaruhi pemikiran dan tingkah laku kita. Bahkan memunculkan beberapa tren dan istilah seperti “Standar Tiktok” yang dapat menjerumuskan orang-orang menjadi tidak realistis.
Film The Social Dilemma sebenarnya lebih condong menjelaskan hal-hal negatif dari internet dan media sosial, dilema apa saja yang terjadi akibat adanya internet dan penyebab dari dilema tersebut. Hal itu tentunya untuk menyadarkan kita semua untuk tidak mudah terpengaruh dengan hal-hal yang ada di internet.
Bahkan orang-orang yang berada di belakang layar dari media sosial pun mengaku bisa tetap dapat kecanduan dengan produk mereka sendiri. Hal itu dikemukakan Tim Kendall, Mantan Presiden dari Pinterest, dalam serial dokumenter The Social Dilemma.
Walau terdapat hal-hal negatif, tetapi tidak ada salahnya kita menggunakan media sosial. Selama dalam batasan wajar dan tidak berlebihan, kita tentu dapat menggunakannya untuk melakukan hal-hal yang lebih positif.
Sebenarnya, terpengaruh akan media sosial itu tidak selamanya buruk. Semuanya kembali ke diri kita masing-masing, cara kita mencerna informasi, cara kita bertindak akan informasi tersebut, dan lain sebagainya. Selama hal-hal tersebut mengarahkan kita menjadi lebih baik untuk diri sendiri dan masyarakat, tidak masalah bagi kita untuk menggunakannya.
Muhammad Mukram Mustamin
Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 2021
Sekaligus Webmaster PK identitas Unhas 2024