Fenomena overtourism kembali ramai dibahas belakangan ini usai terjadinya kemacetan parah di kawasan Puncak Bogor pada pertengahan September lalu. Kondisi ini membuat para pengendara yang berniat berwisata dan menghilangkan penat justru terjebak selama belasan jam di jalanan.
Overtourism (wisatawan berlebih) merupakan kebalikan dari undertourism atau kurangnya jumlah wisatawan. Fenomena ini terjadi ketika terlalu banyak pengunjung pergi ke suatu tempat atau destinasi wisata yang sama. Overtourism menyebabkan munculnya dampak buruk pada lingkungan, masyarakat lokal, dan pengalaman pengunjung.
Fenomena ini bukanlah hal baru, destinasi wisata di Bali misalnya disebut-sebut memiliki masalah overtourism. Bali telah masuk ke 15 daftar tempat yang terjadi overturism di dunia menurut Conde Nast Traveler. Hal tersebut seakan memberikan sinyal kepada kita untuk mulai mewaspadai fenomena yang tidak disadari itu.
Lalu bagaimana overtourism bisa menjadi sebuah ancaman? Bagaimana hal ini dapat berdampak pada aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat di wilayah pariwisata? Simak wawancara khusus Reporter PK identitas Unhas, Andika Wijaya, bersama Dosen Destinasi Pariwisata Fakultas Vokasi Unhas, Nur Lisani SSTPar MSc, Rabu (25/09).
Bagaimana pedapat Anda mengenai tren pariwisata saat ini dari tingkat internasional hingga ketingkat lokal?
Dalam skala global, sektor pariwisata sedang dalam fase bangkit kembali dengan presentase produk domestik bruto yang meningkat dari sebelum pandemi Covid-19 dan setelahnya. Begitu juga dengan kondisi di Indonesia. Saat ini kita sedang memasuki masa new normal. Sektor pariwisata menjadi penyokong utama dalam perekonomian negara.
Tren pariwisata dapat dilihat sebagai aspek yang dimaknai sebagai sebuah peningkatan, jika dilihat dari orientasi dan budaya masyarakat dalam berwisata. Hal ini juga dapat dilihat dari sisi negatif, yaitu ketika kita melihat ada banyak usaha-usaha yang terpaksa gulung tikar imbas dari pandemi kemarin.
Menurut Anda, apa yang dimaksud dengan overtourism?
Fenomena overtourism berarti terdapat suatu tempat yang mungkin telah tereksploitasi. Jadi sebenarnya ukuran dari overtourism itu kalau di pariwisata kita menyebutnya ada daya tampung dan daya dukung atau biasa disebut carrying capacity. Secara sederhana, terdapat tiga hal yang dapat diukur untuk sebuah tempat dikatakan overtourism yaitu alam yakni seberapa kuat faktor ekologi dapat menampung wisatawan, sosial atau seberapa toleran komunitas warga terhadap tingkat kunjungan, dan ekonomi yang berarti seberapa bisa menampakkan fenomena gentrifikasi.
Fenomena overtourism ini mencuat karena beberapa faktor. Salah satunya adalah karena seringkali kita terlalu agresif dalam mengkomersialisasikan sesuatu, baik itu kebudayaan ataupun destinasi pariwisata.
Komersialisasi ini sebenarnya bisa dibawa ke ranah positif atau ranah negatif. Dia positif ketika bisa tertakar, yakni bisa terjaga dengan baik. Dia akan menjadi negatif kalau misalnya komersialisasinya itu sudah menghilangkan nilai-nilai yang se-idealnya.
Apakah Indonesia dapat dikatakan dalam kondisi overtourism?
Beberapa tempat di Indonesia bisa saja dikatakan sedang mengalami situasi ini. Bali salah satunya. Terkait Bali itu sendiri sudah banyak kajian-kajian terkait hal itu dan indikator-indikator untuk mengatakan Bali sedang dalam situasi overtourism sudah sangat jelas. Mulai dari warga negara asing yang overstay, membludaknya jumlah wisatawan, dan indikator paling jelas jika kita melihat dari sisi daya tampung dan daya dukung tadi. Itu dapat kita lihat saat duduk di pantai, idealnya itu berapa meter jarak antara pengunjung satu dengan lainnya yang bisa diukur secara matematika. Indikator lainnya yaitu ketergantungan ekonomi terhadap pariwisata di Bali.
Apakah Sulawesi Selatan juga sedang mengalami overtourism?
Jika berkancah pada provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), sampai saat ini belum dapat dikatakan mengalami kondisi overtourism. Sebab, kapasitas penerimaan wisatawan juga masih memadai dengan jumlah kedatangan wisatawan di Sulsel.
Namun, walau belum termasuk daerah yang mengalami kondisi overtourism, Sulsel perlu memperhatikan hal-hal terkait hal itu. Yang saat ini menjadi sorotan adalah kawasan karst yang ada di dusun Rammang-Rammang yang telah diresmikan sebagai cagar budaya warisan UNESCO. Kawasan ini menjadi sangat beresiko terjadinya kondisi overtourism yang karena telah berhasil masuk menjadi salah satu global geopark terbesar di dunia.
Overtourism tentu memberi dampak, apa saja dampak yang ditimbulkan oleh fenomena ini?
Dampak yang utama dari fenomena ini adalah terhadap alam dan lingkungan. Meningkatnya volume wisatawan yang datang juga akan meningkatkan volume sampah yang dihasilkan. Jika pengelolaan sampai di kawasan wisata tidak terlaksana dengan baik, alam menjadi korban utama dalam hal ini.
Ini juga akan berdampak kepada cagar cagar budaya dan artefak-artefak kuno yang ada di kawasan wisata terancam rusak. Seperti yang terjadi di Candi Borobudur di mana terdapat pengikisan yang terjadi setiap tahun akibat tingginya volume wisatawan yang ingin naik ke candi atau stupa di Borobudur tersebut.
Hal ini juga akan berdampak terhadap aspek sosial. Ketika volume wisatawan meningkat dan tidak dibatasi maka kenyamanan yang dirasakan masyarakat akan menurun. Hal ini kemudian memberikan pola perilaku yang akan ditunjukkan oleh masyarakat. Ada yang memilih untuk mendukung dan ada pula yang akan menunjukkan sifat judes dengan kehadiran wisatawan yang akhirnya menggangu aktivitasnya sebagai komunitas lokal.
Menurut Anda, solusi seperti apa yang sesuai untuk mengatasi fenomena ini?
Kita dapat memulai sebuah kebiasaan baru dalam hal pariwisata. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai prinsip dalam menjaga kestabilan pariwisata pun dalam hal berwisata. Mulai dari mengutamakan quality tourism yang mementingkan kualitas dari pariwisata dibandingkan dengan kuantitas. Meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya keberlanjutan terhadap destinasi wisata tidak hanya mementingkan kuantitas dalam jangka pendek, namun mencoba memikirkan rencana jangka panjang. Serta, ikut mengakselerasikan pariwisata untuk menunjang Sustainable Development Goals. Hal lain juga yang dapat dilakukan yakni mengusahakan tercapainya sebuah pemerataan ekonomi dengan berwisata ke tempat-tempat lain selain dari tempat yang telah banyak dikunjungi.
Apa hal yang mungkin diharapkan kepada masyarakat dan pemangku kebijakan dalam menanggapi hal ini?
Sebagai harapan ke depannya, seluruh pemangku kebijakan diharapkan memulai memikirkan yang revolusioner dalam mencanangkan dan juga merencanakan sebuah konstelasi pariwisata yang lebih inklusif, nyaman, dan berkelanjutan. Dan juga mengupayakan kolaborasi bersama masyarakat dan komunitas yang berada di wilayah pariwisata tersebut untuk memajukan taraf ekonomi dan membangun daerah pariwisata.
Keberlanjutan pada sektor pariwisata merupakan tanggung jawab semua elemen masyarakat maupun pemangku kebijakan. Oleh karena itu, pengawasan terhadap hal ini perlu guna membangun kembali sektor pariwisata Indonesia ke masa jaya untuk juga menjadi penyokong dalam pembangunan ekonomi negara.
Informasi Narasumber:
Nur Lisani SSTPar MSc
Dosen Destinasi Pariwisata Universitas Hasanuddin
Dosen Politeknik Pariwisata Makassar
Riwayat pendidikan:
D4 Manajemen Pariwisata – Politeknik Pariwisata Makassar (2015)
S2 International Hospitality, Events and Tourism Management – Oxford Brookes University (2019)