Baharuddin Lopa, namanya begitu familiar bagi mahasiswa Hukum Unhas. Tokoh nasional ini diabadikan pada salah satu gedung di Fakultas Hukum (FH) Unhas, Aula Prof Baharuddin Lopa. Lopa, begitu ia disapa, juga merupakan lulusan Strata 2 Hukum Pidana pada tahun 1962 dan Guru Besar FH Unhas.
Selain itu, Lopa juga dipercayakan sebagai Kepala Jaksa baik tingkat regional maupun nasional. Seperti di Kejaksaan Negeri Ujung Pandang, Sulawesi Tenggara, Aceh, Kalimantan, Sulawesi Selatan, hingga Kepala Pusdiklat Kejaksaan Agung, Jakarta. Ia juga berkesempatan menjadi bupati di tanah kelahirannya, Majene dan Staf Ahli Menteri Kehakiman di Jakarta.
Menjalani profesi sebagai penegak hukum, Lopa dikenal dengan sifat jujur dan berani. Berdasarkan informasi dari tirto.id, ketika baru diangkat sebagai Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Selatan, seseorang pernah mencoba menyuap Lopa untuk menyelesaikan masalahnya. Namun, ia begitu teguh dengan pendiriannya dan menolak tawaran itu.
“Jangan berikan uang kepada para jaksa. Jangan coba-coba menyuap para penegak hukum, apapun alasannya!” kata Lopa ingatkan publik melalui surat kabar,” dikutip dari halaman tirto.id(22/07/2016).
Cerita lain bukti sifat berani Lopa pada usia 25 tahun. Kala itu, lelaki kelahiran Desa Pambusuang, Balanipa, Polewali Mandar ini pernah berhadapan dengan orang paling ditakuti di sekitar Sulawesi Barat dan Pare-pare, yaitu Andi Selle. Andi Selle adalah Komandan Batalyon 710 yang terkenal kaya karena melakukan penyelundupan. Sementara, Lopa menjabat sebagai Bupati Majene pada tahun 1960. Dalam menghadapi kasus ini, Lopa begitu gigih melawan penyelewangan itu tanpa melihat kekuasaan rivalnya.
Kasus yang paling besar pernah ditangani Lopa ialah korupsi mantan presiden soeharto dan sahabatnya, Bob Hasan. Dilansir dari laman jendelapost, meski ia tidak bisa menyeret mantan Presiden Soeharto yang selalu absen dari sidang dengan alasan sakit, setidaknya Baharuddin Lopa berhasil meringkus beberapa kroni Soeharto, seperti Bob Hasan Si raja hutan yang dijebloskan ke Lapas (Lembaga Permasyarakatan) Nusakambangan. Selain Bob Hasan, Guru Besar Fakultas Hukum Unhas ini menyeret pengusaha besar yang terkenal kebal hukum, Tony Gozali, dengan kasus dana reboisasi sebesar Rp 2 miliar.
Setelah menyelesaikan persoalan itu, Lopa dianggap berbahaya oleh pemerintah karena berani melawan kebenaran. Maka, setelah menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Kehakiman Bidang Perundang-undangan di Jakarta pada tahun 1986, Ia lalu diberi jabatan sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Lembaga Permayarakatan (Lapas) dari tahun 1988 – 1995. Sehingga, ia tak lagi disibukkan dengan menghadapi berbagai kasus.
Adapun, kala kepresidenan BJ Habibie, Lopa dilantik sebagai anggota Komnas HAM Duta Besar Republik Indonesia pada tahun 1999. Setelah lengser dari jabatan sebagai Dubes RI untuk Saudi, Lopa diketahui memiliki gangguan pada jantungnya.
Kala itu, Lopa dan istri serta sejumlah pejabat Kedubes melaksanakan ibadah umrah dari Riyadh ke Mekkah lewat jalan darat selama delapan jam pada 28 Juni. Besoknya, Ia melaksanakan shalat subuh di Masjidil Haram. Malamnya, Lopa dan rombongan kembali ke Riyadh, juga lewat jalan darat. Tanggal 30 Juni pagi, Lopa mual-mual, dan siang harinya dilarikan ke Rumah Sakit Al-Hamadi.
Baharudin Lopa meninggal dunia pada usia 66 tahun pukul 18.14 waktu setempat atau pukul 22.14 WIB 3 Juli 2001, di Arab Saudi.
Berdasarkan wikipedia.org, Pada tanggal 5 Juli 2001 pukul 14.25 Pesawat Garuda Indonesia dari Riyadh membawa jenazah Lopa pulang ke tanah air. Kesokaan harinya, Jenazah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan Upacara Militer yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politk, hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Agum Gumelar.
Kesederhanaan Baharuddin Lopa
Dilansir dari tirto.id , Lopa adalah sosok yang sederhana. Seperti yang dikatakan Jusuf Kalla, “Lopa bukan tipe pejabat yang suka menerima upeti. Dia tidak suka memeras.” Suatu waktu, Lopa ingin membeli mobil, namun berbeda dengan pejabat pada umumnya yang memilih mobil mewah, Lopa malah membeli merek Corona seharga 30 juta.
Selain itu, ia juga tidak mencampurkan kepentingan pribadi dengan urusan dinas. Suatu hari, ketika menghadiri undangan pernikahan dari Riri Amin Daud, Lopa beserta istri datang menggunakan pete-pete (sebutan angkot di Makassar).
Mantan ajudan Lopa, Enang juga mengenang ayah dari tujuh anak ini sebagai atasan yang sederhana. Saat itu, ketika Lopa menghadiri suatu acara, ia lupa membawa sepatu dan kaos kaki. Ia pun tak sungkan meminjam sepatu milik Enang.
Dari beberapa cerita orang-orang yang mengenal Lopa, diketahui bahwa ia sosok yang sederhana, jujur, dan berani. Mereka pun merindukan penegak hukum seperti Lopa. Siapakah yang bisa melanjutkan keteladanannya dalam menegakkan hukum di Indonesia?
Fitri Ramadhani