Dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi, mahasiswa tidak hanya dituntut untuk mengembangkan diri dalam ruang kelas dengan mata kuliah yang disajikan. Namun, juga tersedia lembaga-lembaga kemahasiswaan yang eksistensinya sangat penting sebagai ajang pengembangan kemampuan para mahasiswa.
Lembaga Mahasiswa adalah sebuah wadah untuk menyalurkan aspirasi dan kreatifitas serta sebagai tempat untuk menambah ilmu dan wawasan diluar dari bidang ilmu. Selain itu, keberadaan lembaga mahasiswa juga penting bag kampus.
Oleh karena itu, untuk menjalankan roda organisasi dengan peforma yang memuaskan, diperlukan sosok pemimpin yang kompeten dalam memimpin lembaga. Maka pemilihan ketua umum lembaga mahasiswa menjadi kegiatan yang esensial dilakukan setiap tahunnya.
Demi mendapatkan ketua yang cakap dalam memimpin,maka dalam mekanisme pemilihan ketua lembaga haruslah berlangsung dengan hati-hati dan adil, sesuai dengan harapan sivitas akademia. Lantas, bagaimanakah dengan sistem pemilihan ketua umum lembaga mahasiswa di Unhas berevolusi dari masa ke masa?
Berdasarkan bundel Identitas 1978 edisi awal Juni, sistem pemilihan ketua umum lembaga dipilih oleh pimpinan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM). Tidak hanya bertugas untuk memilih pimpinan lembaga, dalam hal ini senat mahasiswa, BPM juga bertugas merumuskan garis-garis besar kebijaksanaan lembaga. Aturan-aturan dalam pemilu ketua lembaga, dibawahi panitia BPM yang kemudian ditandatangani oleh rektor Unhas kala itu, Prof Dr A Amiruddin dan ketua panitianya M Anwar Ibrahim.
Proses pemilihan ketua lembaga yang diterapkan pada masa itu, yakni mahasiswa yang mencalonkan diri diteliti terlebih dahulu, dengan status calon sementara. Kemudian diumumkan berhak tidaknya mahasiswa tersebut menjadi calon tetap. Adapun syarat yang ditetapkan bagi calon ketua, selain integritas dan berbudi luhur, calon ketua disyaratkan berprestasi tinggi, serta didukung minimal sepuluh mahasiswa di fakultas.
Dalam perjalanannya, fakta menarik datang dari Fakultas Hukum. Dikutip dari bundel Identitas tahun 1986 edisi Oktober, Fakultas Hukum nyatanya kerap memelopori pelaksanaan dan pemilihan pimpinan BPM dan senat mahasiswa.
Semula, pihak mahasiswa Fakultas Hukum ingin mengubah sistem pemilihan dengan cara pemilihan umum langsung oleh mahasiswa, dengan proses pemilihan per angkatan. Mengingat Fakultas Hukum kerap memelopori pelaksanaan dan pemilihan pimpinan BPM dan senat mahasiswa, maka rencana tersebut diizinkan oleh keputusan rapat kerja senat Univesitas Hasanuddin. Dalam sidang istimewanya, BPM pun mendukung sepenuhnya keputusan ini.
Namun seiring berjalannya waktu pada pemilu ketua umum lembaga mahasiswa 1990, sistem pemilihan umum Ketua Lembaga nyatanya menimbulkan konflik di beberapa fakultas. Saat itu proses pemilihan umum berlangsung panas, walau masih dalam batas wajar.
Pembantu Dekan III Fakultas Sastra, Drs Alwy Rahman, membenarkan hal tersebut. “Malah sekarang ini ada semacam stagnasi dalam penyaluran aspirasi politik mahasiswa”, ujarnya.
Pada waktu yang bersamaan, terungkap kebenaran bahwa sistem yang digunakan setiap fakultas beragam. Hal ini dikarenakan, belum ada petunjuk yang dijadikan pedoman dalam pemilihan umum ketua lembaga mahasiswa, sehingga setiap fakultas berimprovisasi dalam pelaksanaannya.
Pembantu Rektor III Unhas, Drs A Kahar Idu, kala itu menjelaskan sebenarnya ada sistem yang diatur dalam Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) sesuai dengan keputusan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tetapi, banyak fakultas yang memodifikasi peraturan itu sesuai kesepakatan dengan pimpinan fakultas.
“Kita belum menerima peraturan baru yang memuat secara rinci mengenai petunjuk pelaksanaan pemilu mahasiswa berdasarkan UU No. 2 Tahun 1989 itu,” ujarnya dalam rubrik laporan khusus Identitas 1990.
Dari fakultas-fakultas yang telah menyelesaikan pembentukan pengurus baru lembaga kemahasiswaannya, terlihat bahwa legitimasi BPM sudah seperti mandul. Peran BPM yang cukup besar dalam menentukan ketua lembaga dan senat mahasiswa kian bergeser. Pasalnya, pangkal permasalahan yang terjadi di beberapa fakultas justru timbul dari BPM itu sendiri.
Mantan aktivis 70-an Unhas, Zohra A Baso pun turut memberi tanggapannya. Menurutnya, keberadaan BPM sama sekali tidak kelihatan lagi. “ Memang sekarang sudah sebaiknya kembali ke model yang dulu,” katanya, saat diwawancarai awal April 1990.
Sistem pemilihan ketua umum lembaga mahasiswa di Unhas melalui perubahan yang progresif setiap tahunnya. Dilansir dari website identitasunhas.com, pada April 2021, pemilihan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tingkat Universitas menggunakan sistem keterwakilan.
Sistem ini menerapkan mekanisme pemilihan dengan mengirim masing-masing lima orang perwakilan dari setiap BEM fakultas, yang selanjutnya dipilih melalui musyawarah mahasiswa (MM). Walaupun keterwakilan BEM fakultas masih minim, tetapi pemilihan tetap dilaksanakan dengan sistem ini.
Yaslinda Utari