“Kamu suku apa?” tanya seseorang. “Saya suku Bugis.” Sebuah jawaban yang membuat saya geleng-geleng kepala ketika diajak berdialog dengan bahasa daerah.
Pertengahan bulan Januari lalu, saya dan teman-teman relawan Lembaga Pemberdayaan dan Pendampingan Masyarakat (LPPM) Wanua Panrita berkunjung ke Dusun Holiang, Desa Cenrana, Kecamatan Camba, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Dusun Holiang ini adalah lokasi kedua pendampingan Wanua Panrita. Sebelumnya telah dilakukan di Dusun Cindakko, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.
Berpindah ke lokasi yang baru, kami mengawali langkah dengan bersosialisasi bersama warga dan pemerintah setempat. Kami ingin memperkenalkan diri, juga mengetahui kondisi kehidupan masyarakat. Sebelumnya, memang sudah ada informasi dari teman-teman ekspedisi mengenai kehidupan di Dusun Holiang. Kami sudah tahu tempat ini memiliki beberapa potensi komoditas pertanian, seperti kemiri, kacang tanah, cabai besar dan jahe. Sayangnya, komoditas ini tidak merata ditanam oleh warga.
Informasi awal yang kami dapatkan, masyarakat di RT 3 tidak bisa menanam komoditas unggul karena lahan pertanian kekurangan air. Mirisnya, untuk menanam padi saja warga di RT 2 dan 3 hanya mengharapkan air hujan. Di Dusun Holiang, kondisi tiap RT berbeda-beda, jaraknya pun terbilang jauh karena harus ditempuh selama satu jam dengan berjalan kaki.
Rasanya kurang jika hanya mendengar informasi tanpa turun langsung ke lapangan. Akhirnya, saya, Yuta, Iin, Ikhwan, Nada, Modi, Rahmat, Resky, dan Kak Fadli berangkat menuju Dusun Holiang. Kami disambut baik oleh warga. Di sana mereka masih berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah, Bahasa Bugis. Sedangkan, di antara kami hanya dua orang saja yang bisa berkomunikasi dengan bahasa itu.
Kejadian paling canggung berlangsung saat kami mengunjungi rumah seorang warga yang sama sekali tidak fasih berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Saat itu, teman saya Ikhwan tanpa memberi kode mempersilahkan saya menjadi penerjemah. Sontak, semua mata terpusat pada wajah saya. Mereka bahkan menunggu sesuatu keluar dari mulut ini.
Saya memulai percakapan dengan menanyakan nama pemilik rumah. “Tabe bu, pak ingga aseng ta?” Si bapak menjawab “Dullah,” kemudian disusul si ibu “Setta,” katanya dengan senyum kecil. Saya lalu memperkenalkan diri kemudian menjelaskan tujuan kedatangan kami.
“Jalan-jalan ji ini ibu, pak lao maki silaturahmi,” saya menjelaskan bahwa kami datang untuk bersilaturahmi. Kalimat yang keluar mulai campur aduk, Bahasa Bugis dan Indonesia bersatu padu.
Di momen itu, saya berusaha bicara karena memang tidak fasih bercakap dengan Bahasa Bugis. Otak berpikir keras mencari tema apa yang bisa dibicarakan. Akhirnya keluar ucapan “Poleki dare e pak?” Saya berusaha mengonfirmasi keberadaan bapak sebelumnya, karena kami sempat berkunjung namun tidak ada orang. Pak Dullah menjawab “Galung”. Saat itu, saya masih menerka arti Galung yang dikatakan. Saya membalas “Aga ji tane-taneng ko dare e pak?” Bapak menyambung “Galung mi upunnai. ma’ taneng ase mika,” Saya bingung apa arti dari kalimat yang dilontarkan.
Kosa kata “Ase?” yang diucapkan asing di telinga. Saya mengulang “Ase?” dengan muka bingung sembari menengok semua orang. “Iye ase.” timpalnya. Saya diam tidak mengerti. Tiba-tiba, Fadli, senior saya yang juga bagian dari tim menjelaskan “Ase itu artinya padi Ren,” ujarnya. Astaga, rasanya campur aduk karena berkomunikasi dengan Pak Dullah jadi tidak nyambung. Ia mengatakan ia di “Galung” (sawah), saya malah membalas “Dare” (kebun). Lalu, ia mengucapkan “Ase”, saya malah tidak mengerti apa artinya. Selama ini, saya hanya tahu Berre artinya beras. Ternyata, untuk padi disebut “Ase”.
Sepanjang perjalanan berkenalan dengan warga, saya banyak menemukan kosakata baru dalam Bahasa Bugis. Saya pun ikut berkomunikasi dengan Bahasa Bugis. Yah, meskipun pernah miss komunikasi dengan Pak Dullah dan artikulasi kata yang saya gunakan sering keliru. Namun, senang sekali karena anak-anak di sini membantu saya belajar Bahasa Bugis yang baik dan benar.
Sekarang rasanya saya ingin terus kembali ke Dusun Holiang. Berada di sana seperti kembali ke pelukan ibu. Bahasa Bugis adalah bahasa ibu dan Holiang membangkitkan kesadaran dari mana saya berasal. Meskipun saya besar bersama keluarga di tengah lingkungan Suku Tolaki, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, tapi Bahasa Bugis masih kerap digunakan orangtua. Jika tidak, maka di Dusun Holiang saya pertama kali mengenal bahasa ibu.
Renita Pausi Ardila
Penulis adalah Alumni Unhas
Koordinator Layouter Identitas 2018.
Editor : Fransiska Sabu Wolor