Ada duka yang mesti direnungi kemudian disyukuri, sebab duka sumber belajar kemanusiaan dan kearifan. Bangkit pascabencana menjadi keharusan yang mesti diupayakan bersama.
Sepanjang 2021, berbagai musibah dan bencana satu persatu muncul di tanah air. Mulai dari banjir, gempa bumi, erupsi, hingga pesawat jatuh. Gempa berkekuatan 5,9 SR dengan kedalaman 10 km meluluhlantakkan Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat, sekitar pukul 14.35 Wita Kamis, 14 Januari 2021.
Bukan sekali saja, kedua kota tersebut kembali diguncang gempa berkekuatan 6,2 SR, sekitar pukul 02.28 Wita. Pusat gempa terjadi di wilayah Kecamatan Malunda, Majene. Telah membangunkan manusia dari tidurnya. Berlari mencari tempat aman, tak peduli guyuran air hujan di tengah gelapnya malam.

Di tambah deru kendaraan dan bunyi klakson yang lalu lalang, memecah heningnya malam. Begitulah warga berhamburan menyelamatkan diri. Meninggalkan kerusakan hingga korban jiwa.
Gempa bumi ini bukanlah pertama kali menimpah Sulbar, namun yang terbesar sejak berdirinya sebagai satu provinsi 2004 silam, sekaligus bencana kelima sejak Indonesia Merdeka. Rentetan peristiwa gempa yang pernah terjadi bahkan beberapa memicu lembong tallu atau gelombang tsunami.
Bencana gempa yang pernah terjadi sebelumnya yakni 11 April 1967 gempa M: 6,3 SR berpusat di Polewali Mandar memicu gelombang tsunami. Kedua, 23 Februari 1969, gempa M: 6,9 SR berpusat Majene memicu gelombang tsunami juga. Ketiga, 6 September 1972, gempa M: 5,8 SR berpusat di Mamuju. Dan keempat, 8 Januari 1984, gempa M: 6,7 SR berpusat di Mamuju (diakses dan diolah dari berbagai sumber).
Melihat jejak peristiwa tersebut, tiga hari pascagempa, dan memenuhi keinginan hati, niat menjadi relawan. Walaupun turun langsung ke lokasi bencana adalah hal baru bagiku. Tentu ada kekhawatiran, namun keyakinan semuanya akan baik-baik saja. Apalagi kemauan menengok keadaan keluarga.
Aku pun berangkat bersama tiga kawan, Senin siang (18/1). Tiba di lokasi tengah malam dan langsung bergabung di posko PLN Peduli. Tiga hari berikutnya, aku bergeser ke posko Aliansi Relawan Peduli Gempa Sulbar yang diinisiasi oleh Tho Mandar Institute, SPPT (Alumni IPA 2 SMA Neg. 1 Majene 2012), Sibaliparriq, Relawan Pendidikan Indonesia, dan individu yang dengan sukarela bergabung untuk bergerak atas nama kemanusiaan.

Sebelum menyalurkan donasi, kami berdialog untuk sasaran bantuan. Aku terkesan, dalam diskusi tersebut ternyata ada dua relawan yang keluarga intinya menjadi penyintas gempa, tapi masih memberikan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk bergerak bersama.
penyaluran donasi kami lakukan di beberapa titik dengan sasaran utama keluarga relawan yang terdampak dan pengumpulan data awal menggunakan metode aduan yang kemudian diolah. Model ini kami sepakati bersama sebagai tahap awal, mengingat survei langsung ke lapangan belum bisa kami lakukan sebelum penyaluran.
Bantuan untuk keluarga relawan yang menjadi prioritas pada penyaluran awal adalah bentuk penghormatan dan dukungan moril bagi mereka yang masih rela bergerak bersama. Menyedihkan rasanya jauh-jauh membicarakan korban untuk dibantu, sementara di lingkaran pergerakan kami ada orang terdekat yang ternyata membutuhkan juga. Mereka tidak akan pernah mengutarakan kondisi keluarganya, maka relawan lainnya mesti menyadari itu.
Para penyintas mestinya hadir di tengah-tengah keluarga untuk memberikan semangat menghadapi luka yang melanda ini. Justru sebaliknya, mereka rela bergerak bersama. Mereka tidak pernah mengeluhkan kondisi keluarga, sedih mereka tutupi dengan senyuman di antara kami. Sungguh semua itu menjadi suntikan semangat untuk terus menebarkan kebaikan.

Donasi pertama ini, kami manfaatkan pula untuk survei persiapan penyaluran donasi selanjutnya. Mengidentifikasi kebutuhan para penyintas agar bantuan dapat di sesuaikan, dan lokasi untuk melakukan kegiatan pendampingan pascabencana atau trauma healing.
Selain itu, pernah terdengar kabar angin, tentang penjarahan oleh para penyintas. Ketika di lapangan, aku justru takjub, bukan penjarahan tapi sebaliknya, dipertemukan dengan orang-orang baik, memiliki rasa berkecukupan dan kepedulian kepada sesama. Sungguh mereka para penyintas adalah manusia-manusia yang berjiwa besar.
“Kasih naik mi kembali itu air di mobil ta dek, berikan untuk korban yang lebih membutuhkan. Ada ji sumber air kami yang dekat,” ucap salah seorang pengungsi yang kami jumpai di Kasambang, Kec. Tappalang, Mamuju. Ini hanya satu dari banyaknya bukti kebaikan para penyintas yang kami jumpai.
Hal baik akan selalu menemui jalannya. Mari berdoa bersama untuk kebangkitan Sulbar. Lekas pulih, lekas membaik litaq Mandar.
Penulis Abdul Masli
Mahasiswa Antropologi FISIP Unhas, angkatan 2015.