Jika Anda adalah seorang pecinta anime jepang, atau mungkin pernah menonton serial anime Bungou Stray Dogs. Maka Anda pasti kenal dengan karakter perempuan bernama Yosano Akiko dalam anime tersebut. Berperan sebagai seorang dokter pribadi dari Badan Detektif Bersenjata dengan kemampuan penyembuhan yang langka. Memiliki pembawaan yang tenang namun mematikan. Dan digambarkan sebagai seorang feminis yang menjunjung tinggi kesetaraan gender. Yosano Akiko menjadi salah satu karakter unik di serial manga karangan Kafka Asagiri ini.
Namun tahukah Anda? Yosano Akiko sebenarnya merupakan nama pena dari seorang penulis wanita terkenal pada masa akhir Meiji bernama Shō Hō. Dia adalah salah satu tokoh perempuan yang paling terkenal, dan paling kontroversial pada zaman pasca-klasik Jepang. Hal ini dikarenakan dirinya yang sering kali melakukan kritik sosial lewat puisi-puisi yang ia tulis. Ia juga seorang feminis generasi awal dan seorang reformis pendidikan yang mendirikan Bunka Gakuin, sebuah sekolah perempuan, pada tahun 1921.
Di masa mudanya ia ikut berkontribusi menulis tanka (puisi Jepang) untuk “Myojo”. Sebuah majalah yang berdedikasi pada puisi. Di sana ia bertemu dengan Tekkan Yosano yang merupakan pendiri majalah tersebut sekaligus seorang penulis dan penyair se-zaman Akiko. Berawal dari pertemuan tersebut keduanya pada akhirnya menjalin ikatan pernikahan pada tahun 1901.
Di tahun yang sama, Akiko juga menyusun volume Tanka pertamanya yang terdiri dari 400 Tanka bernama “Midaregami” yang berarti “Rambut Kusut”. Karyanya tersebut menuai kontroversi di kalangan sastrawan Jepang kala itu karena penggambarannya yang jujur tentang gairah wanita serta cinta seksual dan spiritual lewat puisi-puisi di dalamnya. Namun, di sisi lain banyak orang menganggap karyanya tersebut justru menjadi sebab lahirnya banyak pemikir liberal di Jepang (Poetryfoundation).
Midaregami sendiri adalah tanka yang terdiri dari tiga puluh satu suku kata dengan pola 5-7-5-7-7. Di dalamnya Akiko mengekspresikan cinta, seksualitas, dan keceriaan masa mudanya dengan menggunakan penggambaran seperti Yawahada (badan yang lembut), dan Chishio (darah yang berdesir). Akiko juga menggambarkan wanita sebagai sosok yang ceria, seksual bebas, dan tegas dalam antologinya tersebut (Shara, 2015).
Walaupun karya pertamanya tersebut banyak dikritisi karena tidak sesuai dengan norma sosial masyarakat Jepang, Akiko tidak lantas berhenti menulis. Sebaliknya ia justru terus melahirkan banyak antologi tanka baru setelah Midaregami. Seperti “Mahime” atau dalam bahasa Inggris, “Dancer“, dan “Koigoromo” atau “Robe of Love“. Karya-karya tersebut ia tulis dengan dukungan penuh dari suaminya, Tekkan Yosano dan didorong tekad kuat untuk mendobrak berbagai norma yang menurutnya justru mengungkung masyarakat Jepang kala itu.
Di masanya, Jepang mengalami modernisasi dan mulai membuka pintu masuk untuk budaya Barat. Namun banyak dari kalangan wanita masih tunduk dengan cara lama. Di mana mereka harus menerima pernikahan yang diatur oleh keluarga dan melakoni peran sebagai seorang istri dengan melahirkan seorang penerus keluarga. Khas budaya feodal.
Berangkat dari alasan itulah, Yosano Akiko memulai gerakan feminismenya yang hendak membuka jalan demi tercapainya kesetaraan gender di Jepang. Dan ia menempuh jalan tersebut melalui puisi-puisinya yang terkesan sarkastik. Yosano Akiko sendiri memiliki kemampuan menulis tanka yang luar biasa. Ia diketahui mampu menulis puluhan puisi hanya dalam sekali duduk. Jika dijumlahkan, maka Akiko setidaknya telah menulis belasan ribu puisi sepanjang hidupnya. Ini belum termasuk sebelas buku yang ia tulis dalam bentuk prosa.
Di antara ribuan puisi dan banyaknya tulisan yang ia buat, “Kimi Shinitamou Koto Nakare” menjadi karyanya yang paling kontroversial sepanjang karier kepenulisannya. Puisi ini ia tulis tepat ketika Perang Rusia-Jepang sedang bergolak. Dalam bahasa Inggris, tanka ini lebih dikenal sebagai “Thou Shalt Not Die“.
Bagi Anda yang mengikuti serial Bungou Stray Dogs pasti familiar dengan nama di atas. Karena Yah, itu adalah nama ability yang dimiliki karakter Yosano Akiko dalam serial anime tersebut. Yang mana memungkinkan dirinya melakukan teknik penyembuhan luar biasa, namun dengan syarat si pasien harus dalam keadaan sekarat terlebih dahulu.
Tampaknya Kafka Asagiri sangat terinspirasi dengan sosok Yosano Akiko hingga menjadikannya sebagai salah satu karakter dalam komiknya dan menamai kemampuan spesialnya dari nama karya paling terkenal milik Akiko.
Kembali ke topik, Thou Shalt Not Die ditulis oleh Akiko untuk adiknya yang merupakan seorang tentara di Angkatan Darat Kekaisaran. Lewat puisinya tersebut, Akiko menceritakan kesedihan mendalam yang dialami keluarganya akibat kematian saudara laki-lakinya di pertempuran Port Arthur.
Menurutnya, kematian adiknya itu sebenarnya tidak perlu dan merupakan sebuah tindakan bodoh. Melalui goresan tinta ia mempertanyakan alasan adiknya tersebut harus pergi ke medan perang. Akiko pun menentang dogma masyarakat yang menganggap perintah Kaisar untuk berperang adalah hal yang mulia serta menggambarkan betapa buruknya peperangan. Ia bahkan secara tersirat mengkritik kebijakan kaisar yang telah mengirim anak muda Jepang menjemput ajalnya di medan pertempuran hanya untuk berperang melawan Rusia sebagai sebuah upaya mencari kejayaan yang semu.
“Kimi Shinitamou koto nakare” membuat nama Yosano Akiko sebagai seorang penyair kian melambung, namun di lain sisi juga membuat banyak petinggi istana jengkel. Serta membuat beberapa sastrawan saat itu menganggap tulisan Akiko sebagai bentuk penghinaan dan pengkhianatan terhadap kaisar. Namun hal tersebut tetap tidak membuat Akiko berhenti. Ia tetap konsisten menulis banyak puisi dengan gaya tulisannya yang beraliran campuran antara romantis, feminis dan sensual.
Kegigihan Yosano Akiko pada akhirnya menjadikan dirinya sebagai salah satu penyair perempuan paling terkenal sekaligus seorang pelopor gerakan feminisme awal di Jepang. Sosoknya yang eksentrik akan terus dikenang demikian. Tapi tentu saja, puisi-puisinya akan tetap memiliki tempat tersendiri di hati orang-orang yang telah membacanya. Dulu dan nanti.
Penulis: Muhammad Fadhel Basri,
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas,
Angkatan 2022.