“Bagi saya hidup adalah belajar”.
Kutipan di atas merupakan prinsip sosok jejak langkah identitas Drs KH Nasruddin Razak yang ia beberkan ketika diajak berbincang melalui WhatsApp Call. Setiap kali berbicara, suaranya bergetar, yang menandakan ia tak lagi muda. Memang tak banyak dosen seusianya di Unhas yang masih aktif mengajar.
Sebenarnya dosen kelahiran Rappang ini telah pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil di tahun 2014, namun karena semangat dan dedikasinya yang tinggi terhadap dunia pendidikan, membuatnya dipanggil kembali dan diangkat jadi Dosen Luar Biasa Unhas.
Dosen berumur 84 tahun tersebut, banyak bercerita tentang perjalanan hidupnya yang semata-mata akan dijadikan bekal akhirat. “Orang yang meninggal dunia itu cuman tiga warisannya. Pertama ilmu pengetahuan, kedua etika dan amal jariah dan ketiga anak saleh yang ditinggalkan dan selalu mendoakan kedua orang tuannya,” ujar Nasruddin Razak, mengutip salah satu hadis dalam agama Islam.
Tiga hal itulah yang juga membuat ayah dari delapan anak ini masih semangat mengajar, dan terus membagikan kebaikan kepada sesama. Ia begitu menikmati profesinya sebagai dosen. Sebelum mengabdi di Unhas, Nazruddin lebih dulu mengajar di Universitas Diponegoro sebagai dosen pendidikan agama islam tahun 1967-1976, ia juga mengajar filsafat islam di Universitas Islam Sultan Agung dan IAIN Walisongo Semarang.
Baru pada tahun 1976, ia pindah ke Unhas mengajar dan memegang beberapa mata kuliah yaitu pendidikan agama islam, pemikiran politik islam dan bahasa arab. “Mungkin karena panggilan almamater dan doa orang tua, sehingga saya memilih pindah dan bisa lulus sebagai dosen di Unhas,” kenangnya.
Anak dari pasangan Abd. Razak dan Hj. Fatimah ini begitu menyukai dunia literasi, ia sangat rakus membaca di waktu senggang dan begitu mencintai dunia kepenulisan. Kebiasaan membacanya telah tumbuh sejak berstatus siswa Sekolah Rakyat Negeri, baginya membaca adalah penenang. ‘‘Kalau duduk-duduk di kursi, biasa banyak buku. Enak sekali kalau belajar dan mengambil ilmu dari buku. Jadi membaca itu seperti penenang,” tuturnya.
Kegemarannya membaca, menjadikannya senang menulis buku dan telah menerbitkan enam buku bacaan bertema islam. Diantara karyanya itu, beberapa bukunya yang banyak dikenal adalah Dienul Islam, Ibadah Sunah Menurut Sunah Rasul, Metodeologi Dakwah dan Tuntunan Hidup Umat Islam. Ia berprinsip, ilmu perlu untuk disebar luaskan, salah satunya melalui tulisan “Di otak ini sudah sangat bertumpuk, sehingga kita harus membagikannya kepada orang banyak,” lanjutnya.
Masih segar diingatan Mantan anggota Senat Unhas ini saat pertamakali menulis, ketika usianya 22 tahun. Mulanya, ia hanya tertarik mengikuti lomba, hingga pernah menyabet juara satu di tingkat Provinsi. Dari situ, ia semakin bersemangat menulis. Ia mengaku banyak termotivasi menulis dari tokoh-tokoh islam, salah satunya, Al Ghazali. ‘‘Saya tergoda dari mereka, walaupun ratusan tahun meninggal, tetapi pikiran dan ilmunya masih bisa dibaca sampai sekarang,’’ ungkapnya.
Buku pertama yang ditulisnya bejudul Risalah Perjuangan Islam, yang bahkan jadi salah satu buku kajian di Himpunan Mahasiswa Islam di masanya menjabat sebagai Ketua umum. Dalam proses penulisan bukunya, ia tak hanya cukup membaca, tapi juga banyak mendengarkan ceramah lalu dicatatnya dengan teliti sebagai referensi.
Selain aktif mengajar, menulis dan berdakwah, ia pernah mengikuti Internasional Islamic University. Beberapa jabatan pun pernah diembannya pula, diantaranya sebagai Ketua FIIS BUD Unhas 1980, Ketua Jurusan MKDU FISIP Unhas 1987, dua periode menjabat Kepala UPT Mata Kuliah Umum Unhas 1998-2004 dan menjadi anggota Senat Unhas, 1997-2004.
Selain jabatan di Unhas, ia juga tercatat pernah menduduki jabatan penting di luar diantaranya, Ketua Pimpinan Wilayah Muhamadiyah Sulawesi Selatan 2000-2005, Penasihat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan 2005-2020, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan 2000-2016, dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Sulsel 2016-2021.
Begitulah Nasruddin menyelami hidup, penuh pengabdian dan kebermanfaatan. Ia berpesan agar mahasiswa senantiasa memperluas jaringannya. “Dalam pertemanan kita dapat belajar memberi, dan menerima. Terkadang rezeki datang dari siapa saja, jadi jangan angkuh,’’ katanya menutup wawancara.
Santi Kartini