Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian (Faperta) Universitas Hasanuddin (Unhas) menggelar diskusi terbuka bertajuk “Wujudkan Reforma Agraria Sejati” dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional 2025. Kegiatan berlangsung di Pelataran Peternakan Senin (22/09).
Kegiatan menghadirkan aktivis agraria Sulawesi Selatan yang akrab disapa Ijul, sebagai pemateri. Dalam pemaparannya, ia membahas sejarah kebijakan agraria di Indonesia sejak masa kolonial Belanda hingga persoalan kontemporer mengenai implementasi reforma agraria.
Menurutnya, sistem tanam paksa, Undang-Undang Agraria kolonial, hingga intervensi lembaga internasional seperti IMF dan World Bank meninggalkan jejak panjang ketimpangan di Indonesia.
“Ironisnya, setelah Indonesia merdeka pun, cita-cita reforma agraria sejati belum benar-benar terwujud. Banyak kebijakan justru lahir untuk memprivatisasi sumber daya alam dan menguntungkan kepentingan asing,” jelasnya.
Di samping itu, Ijul menekankan bahwa ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia bukan hanya warisan kolonial, tetapi akibat kebijakan sektoral pasca-Orde Baru hingga sekarang. Ia menelusuri sejarah panjang kebijakan agraria mulai dari tanam paksa, Undang-Undang Agraria kolonial 1870, hingga lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.
Ada juga program reforma agraria yang dijalankan pemerintah, seperti Tora (Tanah Objek Reforma Agraria) dan Perhutanan Sosial. Melihat hal itu, Ijul menilai rencana tersebut tidak menyentuh akar persoalan ketimpangan tanah.
Reforma agraria palsu terjadi ketika tanah rakyat sudah lama dikelola justru disertifikasi ulang dan diklaim sebagai keberhasilan negara. “Padahal yang sejati adalah mengambil alih tanah-tanah besar, baik swasta maupun negara, lalu membagikannya kepada petani kecil dan tak bertanah,” tegas Ijul.
Kegiatan ini menjadi momentum refleksi bagi mahasiswa Faperta Unhas untuk memperkuat kesadaran kritis terkait isu-isu agraria.
Mutia Aulia
